Greenwashing dan Kapitalisme Hijau: Apakah Dunia Benar-benar Peduli Lingkungan?

PWMJATENG.COMย โย Di tengah meningkatnya kesadaran global terhadap krisis iklim, isu lingkungan seakan menjadi primadona baru dalam diskursus publik. Kampanye ramah lingkungan, gaya hidup hijau, hingga produk berlabel โeco-friendlyโ kini menjamur di berbagai lini kehidupan. Namun, di balik tren tersebut, muncul pertanyaan yang mengusik: benarkah dunia benar-benar peduli terhadap lingkungan? Ataukah semua ini sekadar kedok dari praktik greenwashing dalam sistem kapitalisme hijau?
Greenwashing: Kepedulian Semu demi Citra Baik
Greenwashing adalah strategi pemasaran yang dilakukan perusahaan atau institusi untuk menampilkan diri seolah-olah peduli lingkungan, padahal praktik bisnisnya justru merusak lingkungan. Istilah ini pertama kali muncul pada era 1980-an ketika industri perhotelan mulai mengampanyekan hemat handuk sebagai bentuk kepedulian terhadap lingkungan, tetapi sebenarnya bertujuan memangkas biaya operasional.
Saat ini, greenwashing bisa ditemukan di berbagai sektor: dari fesyen cepat saji (fast fashion) yang meluncurkan koleksi โsustainableโ, perusahaan minyak yang mendanai iklan bertema lingkungan, hingga korporasi besar yang menanam pohon sebagai kompensasi emisi karbonnya, sambil terus mengeksploitasi sumber daya alam. Ironisnya, semua itu dilakukan untuk membangun citra hijau yang menipu publik.
Menurut laporan Greenpeace, banyak perusahaan multinasional menggunakan label hijau tanpa adanya audit independen. Mereka mengandalkan kata-kata seperti โalamiโ, โorganikโ, atau โramah lingkunganโ tanpa bukti ilmiah. Label-label ini bersifat manipulatif dan berisiko mengaburkan fakta kerusakan lingkungan yang sebenarnya terjadi.
Kapitalisme Hijau: Transformasi atau Ilusi?
Kapitalisme hijau mengacu pada gagasan bahwa pertumbuhan ekonomi dan pelestarian lingkungan dapat berjalan beriringan. Dalam konsep ini, pasar digerakkan oleh teknologi hijau, energi terbarukan, dan praktik produksi berkelanjutan. Namun, banyak pengamat menganggapnya sebagai ilusi, sebab sistem kapitalis pada dasarnya bertumpu pada ekspansi, eksploitasi, dan akumulasi keuntungan.
George Monbiot, jurnalis dan aktivis lingkungan asal Inggris, menyebut kapitalisme hijau sebagai โsolusi palsu atas krisis iklim.โ Ia menegaskan bahwa mengganti bahan bakar fosil dengan energi terbarukan tanpa mengubah pola konsumsi dan produksi yang eksploitatif hanyalah menunda kehancuran.
Baca juga, Berita Resmi Muhammadiyah Nomor 05/2022-2027/Zulkaidah 1446 H/Mei 2025 M
Contohnya, produksi mobil listrik sering dianggap ramah lingkungan, tetapi faktanya penambangan litium dan kobaltโbahan baku bateraiโmenimbulkan dampak ekologis dan sosial yang besar. Selain itu, perusahaan teknologi besar kerap memanfaatkan narasi hijau untuk menutupi rantai pasok yang eksploitatif di negara-negara berkembang.
Kepedulian Lingkungan yang Tersandera Kepentingan Pasar
Pertanyaan krusialnya adalah: siapa yang diuntungkan dari narasi hijau ini? Dalam banyak kasus, jawabannya bukanlah bumi, melainkan korporasi. Greenwashing dan kapitalisme hijau memberi ruang bagi perusahaan untuk terus meraup untung sembari menciptakan ilusi kepedulian.
Masyarakat yang terbuai citra โhijauโ akan terus mengonsumsi tanpa menyadari dampak lingkungannya. Mereka membeli produk berlabel โecoโ tanpa mempertanyakan proses produksinya. Inilah bentuk pengalihan isu yang halusโkrisis lingkungan berubah menjadi tren konsumerisme baru.
Sementara itu, komunitas adat, petani kecil, dan masyarakat pesisir yang hidup selaras dengan alam justru sering terpinggirkan. Proyek-proyek โenergi hijauโ skala besar, seperti pembangunan bendungan atau perkebunan biomassa, tak jarang menggusur warga lokal dari tanah leluhurnya. Alih-alih menyelamatkan bumi, agenda hijau versi kapitalisme sering menjadi alat baru kolonialisasi sumber daya.
Menuju Kepedulian yang Otentik dan Berkeadilan
Untuk menyelamatkan bumi dari krisis iklim, dibutuhkan lebih dari sekadar retorika hijau. Kepedulian terhadap lingkungan haruslah otentik dan disertai transformasi struktural. Pemerintah perlu membuat regulasi ketat terhadap klaim lingkungan palsu dan menegakkan akuntabilitas perusahaan.
Lembaga independen juga perlu dilibatkan dalam mengaudit jejak karbon dan dampak lingkungan dari setiap aktivitas korporasi. Konsumen pun harus semakin kritis, tidak hanya terpukau oleh iklan hijau, tetapi juga mencari informasi yang transparan tentang asal-usul dan proses produksi barang yang dikonsumsi.
Selain itu, model pembangunan perlu diarahkan menuju ekonomi sirkular yang berbasis pada prinsip keberlanjutan, bukan pertumbuhan tanpa batas. Masyarakat lokal harus diberi ruang dalam pengambilan keputusan lingkungan, karena mereka adalah penjaga pertama bumi yang sering kali diabaikan suaranya.
Ikhtisar: Kepedulian atau Pencitraan?
Greenwashing dan kapitalisme hijau adalah cermin dari dunia yang ingin terlihat peduli, tetapi enggan mengubah akar permasalahan. Kepedulian terhadap lingkungan tidak bisa dijadikan alat promosi atau strategi dagang. Ia harus lahir dari kesadaran kolektif bahwa bumi bukanlah objek eksploitasi, melainkan rumah bersama yang harus dijaga dengan penuh tanggung jawab.
Jika dunia benar-benar peduli terhadap lingkungan, maka perubahan harus dimulai dari sistem, bukan sekadar kemasan. Tanpa itu, semua narasi hijau tak lebih dari dedaunan plastikโtampak asri, namun tak pernah hidup.
Ass Editor : Ahmad; Editor :ย M Taufiq Ulinuha