Islam dan Isu Mental Health: Antara Tawakal dan Terapi Psikologis

PWMJATENG.COM – Dalam beberapa dekade terakhir, isu kesehatan mental atau mental health menjadi perhatian serius di berbagai belahan dunia, termasuk di kalangan umat Islam. Stigma terhadap gangguan psikologis perlahan mulai luntur, seiring meningkatnya kesadaran akan pentingnya menjaga kesehatan jiwa. Namun, muncul pertanyaan penting: bagaimana Islam memandang isu kesehatan mental? Apakah cukup hanya bertawakal, ataukah terapi psikologis juga menjadi bagian dari ikhtiar yang dianjurkan?
Islam Mengakui Dimensi Psikologis Manusia
Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin tidak hanya mengatur aspek ritual dan sosial, tetapi juga menaruh perhatian besar terhadap kesehatan jiwa. Al-Qur’an dan hadis memberikan banyak isyarat tentang pentingnya ketenangan batin, kestabilan emosi, dan kebahagiaan hati sebagai bagian dari kehidupan yang baik.
Allah Swt. berfirman dalam surah Ar-Ra’d ayat 28:
الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d: 28)
Ayat ini menegaskan bahwa ketenangan hati adalah sesuatu yang sangat penting dalam Islam. Namun, tidak berarti bahwa seseorang yang mengingat Allah akan sepenuhnya bebas dari gangguan mental. Terkadang, masalah psikologis disebabkan oleh faktor biologis, lingkungan, atau trauma masa lalu yang tidak cukup hanya dihadapi dengan ibadah ritual.
Tawakal Bukan Berarti Pasif
Konsep tawakal sering disalahpahami sebagai sikap pasrah total tanpa usaha. Padahal, Rasulullah saw. pernah menegaskan pentingnya ikhtiar dalam setiap keadaan. Dalam sebuah hadis disebutkan:
قَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أُرْسِلُ نَاقَتِي وَأَتَوَكَّلُ؟ أَوْ أَعْقِلُهَا وَأَتَوَكَّلُ؟ قَالَ: «اعْقِلْهَا وَتَوَكَّلْ»
“Seseorang bertanya: ‘Wahai Rasulullah, apakah aku lepaskan untaku dan bertawakal, atau aku ikat dulu lalu bertawakal?’ Rasulullah menjawab: ‘Ikatlah dahulu, baru bertawakal.'” (HR. Tirmidzi)
Baca juga, Syawal: Awal Baru Menuju Hamba yang Lebih Baik
Dalam konteks kesehatan mental, ikhtiar berarti mencari bantuan profesional, seperti konseling, psikoterapi, atau pengobatan medis bila diperlukan. Tawakal tetap menjadi fondasi utama, namun tidak menafikan pentingnya pendekatan ilmiah dan terapi.
Terapi Psikologis Bukan Tanda Lemah Iman
Sebagian kalangan masih menganggap bahwa orang yang mengalami depresi, kecemasan, atau gangguan mental lainnya adalah orang yang imannya lemah. Padahal, para sahabat Nabi pun pernah mengalami kesedihan mendalam. Nabi Ya’qub a.s. bahkan menangis hingga matanya buta karena kesedihan kehilangan anaknya, Yusuf.
Allah Swt. berfirman:
وَتَوَلَّىٰ عَنْهُمْ وَقَالَ يَـٰٓأَسَفَىٰ عَلَىٰ يُوسُفَ ۖ وَٱبْيَضَّتْ عَيْنَاهُ مِنَ ٱلْحُزْنِ فَهُوَ كَظِيمٌ
“Dan dia (Ya’qub) berpaling dari mereka seraya berkata, ‘Aduhai dukacitaku terhadap Yusuf,’ dan kedua matanya menjadi putih (buta) karena sedih, dan dia adalah seorang yang menahan amarahnya.” (QS. Yusuf: 84)
Kesedihan dan tekanan jiwa adalah bagian dari pengalaman manusiawi. Maka, mencari bantuan profesional bukanlah bentuk kelemahan iman, melainkan upaya yang sejalan dengan semangat Islam yang mengajarkan keseimbangan antara batin dan lahir.
Integrasi Spiritualitas dan Sains
Pendekatan ideal dalam menghadapi gangguan mental adalah dengan mengintegrasikan spiritualitas dan ilmu pengetahuan. Terapi psikologis yang disertai dengan pendekatan spiritual terbukti lebih efektif dalam membantu penyembuhan pasien. Zikir, doa, dan bacaan Al-Qur’an dapat menjadi support system yang memperkuat terapi medis dan psikologis.
Kesadaran ini kini mulai diadopsi oleh banyak praktisi kesehatan jiwa Muslim. Mereka menggabungkan terapi kognitif perilaku dengan nilai-nilai Islam, sehingga pasien tidak hanya merasa dipahami secara ilmiah, tetapi juga secara spiritual.
Ikhtisar
Islam tidak menafikan pentingnya perawatan kesehatan mental. Tawakal adalah landasan keimanan, namun ikhtiar melalui terapi psikologis adalah bentuk tanggung jawab terhadap diri sendiri. Umat Islam perlu meninggalkan stigma terhadap gangguan jiwa dan membangun pemahaman bahwa menjaga kesehatan mental sama pentingnya dengan menjaga kesehatan fisik. Karena pada akhirnya, laa yukallifullahu nafsan illa wus’aha — Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya (QS. Al-Baqarah: 286).
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha