Ziarah ke Masjid Al-Aqsa dan Cita Rasa Palestina

Ziarah ke Masjid Al-Aqsa dan Cita Rasa Palestina
Seri 15: Menghadapi Ketegangan Terakhir
Oleh : Dwi Taufan Hidayat (Penasehat Takmir Mushala Al-Ikhlas Desa Bergas Kidul Kabupaten Semarang, Sekretaris Korps Alumni PW IPM/IRM Jawa Tengah, & Ketua Lembaga Dakwah Komunitas PCM Bergas Kabupaten Semarang)
PWMJATENG.COM – Malam itu, suasana di sekitar Masjid Al-Aqsa lebih tenang dari sebelumnya, tetapi ketegangan yang dirasakan rombongan masih belum sepenuhnya reda. Perjalanan mereka yang seharusnya menjadi pengalaman spiritual kini berubah menjadi serangkaian tantangan yang menguji batas kesabaran dan kepercayaan.
Farhan berdiri di dekat pagar luar kompleks masjid, menatap sekelompok orang yang masih duduk berzikir di dalam. Ada ketenangan dalam setiap lantunan doa mereka, sesuatu yang membuatnya bertanya-tanya—apakah dirinya dan timnya telah benar-benar membawa rombongan ini untuk mendekatkan diri kepada Allah, ataukah perjalanan ini hanya menjadi ladang bisnis yang semakin menjauh dari esensi spiritualnya?
Dari belakang, Ika datang menghampiri, suaranya lirih tapi penuh ketegasan. “Farhan, aku baru saja berbicara dengan beberapa klien. Mereka mulai bertanya, kapan kita akan kembali? Ada yang benar-benar ingin pulang lebih cepat.”
Farhan menarik napas dalam. Ini adalah pertanyaan yang sulit. Jika ia memutuskan untuk pulang lebih awal, itu artinya mereka mengakui bahwa perjalanan ini gagal memenuhi harapan sebagian klien. Namun, jika ia tetap bertahan, risiko semakin besar, terutama dengan meningkatnya ketegangan di sekitar wilayah tersebut.
“Sampai saat ini, kita masih aman,” jawab Farhan pelan. “Tapi aku mengerti kekhawatiran mereka. Kita harus menenangkan mereka dulu sebelum membuat keputusan besar.”
Di sisi lain, Rudi, yang bertugas sebagai tour leader, mulai kehilangan kesabarannya. Sejak beberapa hari terakhir, ia merasa posisinya semakin sulit. Tugasnya bukan hanya memastikan perjalanan berjalan lancar, tetapi juga menjaga profesionalisme di tengah situasi yang penuh tekanan.
“Aku bilang sejak awal, kita harus lebih fleksibel,” gerutu Rudi saat berbicara dengan beberapa staf lainnya. “Kalau kita terlalu keras kepala mempertahankan jadwal, kita bisa kehilangan kepercayaan klien.”
Dian, sales yang selama ini berusaha menjaga optimisme dalam tim, menimpali dengan nada lebih tenang. “Tapi kalau kita pulang terlalu cepat, apa kita tidak akan kehilangan kesempatan untuk menunjukkan bahwa perjalanan ini layak? Ini bukan sekadar soal bisnis, ini juga tentang pengalaman yang mereka dapatkan.”
Percakapan itu berlanjut tanpa solusi yang jelas. Sementara itu, beberapa klien mulai mengutarakan kegelisahan mereka dengan lebih terbuka.
Baca juga, Keutamaan Puasa Ramadan dalam Meningkatkan Ketakwaan
“Pak Farhan,” ujar seorang ibu muda bernama Rahma, “saya sangat bersyukur bisa datang ke sini. Tapi saya juga seorang ibu. Anak saya menunggu di rumah, dan saya semakin tidak tenang dengan situasi ini.”
Farhan menatap Rahma dengan penuh pemahaman. Ia tahu, setiap klien datang dengan harapan dan batasan mereka sendiri. “Kami mengerti, Bu Rahma. Keamanan dan kenyamanan Ibu adalah prioritas kami. Kami akan segera mengambil keputusan terbaik.”
Namun, sebelum keputusan final bisa diambil, sebuah kabar mengejutkan datang dari salah satu pemandu lokal yang bekerja sama dengan mereka.
“Farhan, ada peningkatan pengamanan di beberapa titik,” kata pria itu dengan ekspresi serius. “Saya sarankan, jika kalian ingin meninggalkan kota, lakukan dalam waktu dekat.”
Berita itu langsung mengubah dinamika percakapan. Ini bukan lagi soal kenyamanan klien, melainkan keselamatan semua orang.
Rapat darurat pun diadakan malam itu. Semua tim berkumpul, termasuk perwakilan klien yang ingin memberikan pendapat mereka. Ada yang mendesak untuk segera pulang, ada pula yang merasa masih ingin melanjutkan perjalanan dengan lebih hati-hati.
Di tengah perdebatan, Ika menoleh ke arah Farhan. “Keputusan ada di tanganmu.”
Farhan terdiam sejenak, sebelum akhirnya mengucapkan sesuatu yang membuat semua mata tertuju padanya. “Kita akan pulang lebih awal. Tidak ada perjalanan yang sepadan dengan risiko keselamatan.”
Keputusan itu langsung mendapat respons beragam. Ada yang lega, ada yang kecewa. Tapi satu hal yang pasti—mereka tidak bisa mengambil risiko lebih besar lagi.
Malam itu, persiapan kepulangan dimulai. Tiket pesawat diubah, koordinasi dengan pihak keamanan dilakukan, dan seluruh anggota tim bekerja ekstra untuk memastikan semua berjalan lancar.
Farhan berdiri di balkon hotel, menatap langit Palestina yang penuh bintang. Dalam hatinya, ia bertanya-tanya—apakah keputusan ini akan menjadi awal dari sesuatu yang lebih besar? Ataukah ini adalah akhir dari perjalanan yang penuh dengan pembelajaran?
Jawabannya mungkin belum terlihat sekarang, tetapi satu hal yang pasti, perjalanan mereka belum benar-benar berakhir.
Bersambung ke seri 16: Kepulangan yang Tak Terduga
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha