
PWMJATENG.COM, Surakarta – Kejaksaan Agung mengungkap dugaan tindak pidana korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina, subholding, serta Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang menyebabkan kerugian negara mencapai Rp 193,7 triliun dalam satu tahun.
Kejaksaan telah menetapkan Riva Siahaan, Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, sebagai tersangka. Setelah penetapan ini, publik menuntut agar Kejaksaan Agung bekerja serius dan transparan hingga tuntas.
Pakar hukum acara pidana Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Muchamad Iksan, menegaskan bahwa kasus ini sangat besar sehingga langsung ditangani Kejaksaan Agung.
“Karena ini dilakukan penyidikan maupun nanti penuntutan oleh Kejaksaan Agung, saya kira kejaksaan harus sangat serius,” ujarnya, Kamis (29/2).
Ia menjelaskan bahwa wewenang Kejaksaan Agung berbeda dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). KPK memiliki kewenangan khusus seperti penyadapan dengan persetujuan dewan pengawas, sedangkan Kejaksaan Agung tidak.
Publik, menurut Iksan, selama ini lebih mempercayai KPK dalam pemberantasan korupsi. Namun, Kejaksaan Agung diharapkan bisa membuktikan kredibilitasnya dengan mengusut tuntas megakorupsi ini.
Untuk memulihkan kerugian negara, Iksan menegaskan bahwa Kejaksaan Agung memiliki wewenang menyita aset tersangka dan terdakwa korupsi. Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), barang yang dapat disita meliputi:
- Benda hasil tindak pidana korupsi.
- Barang yang digunakan dalam korupsi.
- Barang yang menghalangi penyidikan.
- Benda yang secara langsung atau tidak langsung digunakan dalam korupsi.
Namun, jika barang tersebut tidak terkait tindak pidana, penyitaan tidak dapat dilakukan.
“Kejaksaan harus bekerja keras untuk menelusuri aliran uang hasil korupsi ini. Mengingat skala kejahatan yang besar dan berlangsung sejak 2018, kemungkinan pencucian uang sangat tinggi,” jelas Iksan.
Baca juga, Jadwal Imsakiyah Ramadan 2025 se-Jateng
Menurutnya, tugas berat Kejaksaan Agung adalah memastikan aset yang disita benar-benar bisa dikembalikan ke negara. Selain itu, pengadilan bisa menjatuhkan pidana perampasan serta denda kepada terdakwa.
Berdasarkan laporan Kompas.com (29/2), Kejaksaan Agung telah menetapkan dua tersangka baru, sehingga total tersangka menjadi sembilan orang. Iksan yakin jumlah ini masih bisa bertambah.

“Saya yakin Kejaksaan Agung tidak akan berhenti pada sembilan orang. Semakin banyak tersangka yang diungkap, semakin baik penegakan hukum. Jika hanya tujuh atau sembilan orang yang bertanggung jawab atas kerugian Rp 193,7 triliun, tentu tidak masuk akal,” ungkapnya.
Ia menilai, jika hanya segelintir orang yang dijadikan terdakwa, maka pengembalian kerugian negara akan sangat terbatas.
Iksan juga menyoroti batas waktu penahanan tersangka oleh kejaksaan, yaitu maksimal empat bulan. Jika dalam periode itu penyidikan belum selesai, tersangka harus dilepaskan demi hukum.
“Risikonya, jika tersangka memiliki uang dan berada di luar tahanan, kemungkinan melarikan diri ke luar negeri sangat besar. Maka, penyidikan harus cepat dan segera diserahkan ke jaksa penuntut umum,” tegasnya.
Ia juga berpesan agar aparat penegak hukum, termasuk hakim, tetap berintegritas dan tidak tergoda suap atau tekanan politik.
“Aparat hukum harus sadar bahwa mereka adalah wakil Tuhan di bumi. Mereka tidak hanya bertanggung jawab kepada masyarakat, tetapi juga kepada Tuhan,” pungkasnya.
Kontributor : Maysali
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha