Ketentuan Puasa Ramadan dan Keringanan Bagi yang Berhalangan

PWMJATENG.COM, Surakarta – Empat hari menjelang Ramadan 1446 H, Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) menyelenggarakan Kajian Tarjih yang membahas ketentuan puasa bagi Muslim yang diwajibkan, yang mendapatkan rukhsah (keringanan), serta yang diperbolehkan meninggalkan puasa. Kegiatan ini berlangsung secara daring melalui Zoom Meeting dan disiarkan langsung di kanal YouTube tvMu Channel pada Selasa (25/2).
Kajian ini menghadirkan Yayuli sebagai narasumber utama dengan moderator Agung Siswanto. Dalam pemaparannya, Yayuli menjelaskan berbagai aspek hukum puasa dalam Islam serta persiapan menjelang bulan suci Ramadan.
Menurut Yayuli, kewajiban puasa Ramadan berlaku bagi setiap Muslim yang telah mencapai usia baligh dan mukallaf, yaitu mereka yang memiliki beban hukum syariat. Dasar hukum kewajiban ini terdapat dalam Surah Al-Baqarah ayat 183 yang menyatakan bahwa puasa diperintahkan kepada orang-orang beriman sebagaimana diwajibkan kepada umat-umat sebelumnya. Yayuli juga merujuk pada hadis riwayat Imam Bukhari dan Muslim dari Umar bin Khattab yang menegaskan bahwa puasa Ramadan merupakan salah satu dari lima rukun Islam.
Namun, tidak semua Muslim diwajibkan menjalankan ibadah puasa. Yayuli menguraikan beberapa kategori yang diperbolehkan untuk tidak berpuasa tetapi tetap wajib menggantinya di lain waktu. Perempuan yang sedang haid atau nifas, misalnya, tidak diperbolehkan berpuasa, tetapi diwajibkan mengqada puasanya setelah Ramadan. Para ulama juga sepakat bahwa perempuan yang dalam kondisi nifas memiliki ketentuan yang sama dengan mereka yang mengalami haid.
Selain itu, terdapat kelompok yang memperoleh rukhsah atau keringanan dalam menjalankan puasa. Orang yang sedang sakit dan musafir diperbolehkan tidak berpuasa, tetapi tetap memiliki kewajiban menggantinya di hari lain. Ketentuan ini sesuai dengan Surah Al-Baqarah ayat 184 yang memberikan dispensasi bagi mereka yang mengalami kesulitan dalam menjalankan puasa.
Baca juga, Surat Al-Ghasyiyah: Gambaran Kiamat, Neraka, dan Surga
Lebih lanjut, Yayuli menjelaskan bahwa perempuan hamil dan menyusui juga diberikan kelonggaran untuk tidak berpuasa. Ia merujuk pada hadis riwayat Anas bin Malik yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW membebaskan kewajiban puasa bagi musafir, perempuan hamil, serta perempuan yang menyusui. Namun, terdapat perbedaan pendapat terkait penggantian puasanya, apakah cukup dengan qada atau harus membayar fidyah.
Beberapa kelompok lainnya yang diperbolehkan mengganti puasa dengan fidyah adalah lansia, penderita sakit menahun, perempuan hamil, perempuan menyusui, serta pekerja berat yang tidak memungkinkan untuk berpuasa. Mereka cukup membayar fidyah dengan memberikan satu mud atau sekitar 0,6 kg makanan pokok per hari sebagai bentuk pengganti ibadah puasa, sebagaimana yang dijelaskan dalam Surah Al-Baqarah ayat 184.
Di sisi lain, Yayuli menegaskan bahwa Muslim yang telah memenuhi syarat wajib puasa tetapi dengan sengaja meninggalkannya tanpa alasan yang diperbolehkan akan menghadapi konsekuensi berat secara agama. Ia juga menjabarkan berbagai hal yang dapat membatalkan puasa serta sanksinya.
Menurutnya, makan dan minum secara sengaja di siang hari saat Ramadan termasuk dalam kategori pembatalan puasa. Hal ini telah dijelaskan dalam Surah Al-Baqarah ayat 187. Selain itu, berhubungan suami-istri di siang hari saat berpuasa tidak hanya membatalkan puasa, tetapi juga mewajibkan pelakunya untuk membayar kafarat, yakni membebaskan seorang budak, berpuasa selama dua bulan berturut-turut, atau memberi makan 60 orang miskin.
Namun, bagi mereka yang makan atau minum karena lupa, puasanya tetap sah dan tidak perlu menggantinya. Yayuli merujuk pada hadis riwayat Imam Bukhari dan Muslim yang menyebutkan bahwa seseorang yang makan atau minum karena lupa, maka puasanya tetap berlanjut karena itu merupakan rezeki dari Allah.
Selain itu, ia juga mengingatkan bahwa mengeluarkan sperma secara sengaja dapat membatalkan puasa. Oleh karena itu, menjaga perilaku selama menjalankan ibadah puasa menjadi hal yang sangat penting.
Sebagai penutup, Yayuli menekankan pentingnya menjaga diri dari perkataan dusta serta perbuatan yang tidak bernilai ibadah selama bulan Ramadan. Ia menegaskan bahwa esensi puasa tidak hanya sekadar menahan lapar dan dahaga, tetapi juga mengendalikan hawa nafsu serta meningkatkan kualitas ibadah dan ketakwaan kepada Allah SWT.
Kontributor : Yusuf
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha