
PWMJATENG.COM, Surakarta – Fenomena Not in Education, Employment, or Training (NEET) di kalangan Generasi Z (Gen Z) semakin meningkat di Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sebanyak 20,31% Gen Z di Tanah Air berstatus NEET, yang berarti mereka tidak bersekolah, tidak bekerja, dan tidak mengikuti pelatihan keterampilan.
Mayoritas kelompok NEET berusia 14-25 tahun dengan jumlah yang terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Ketimpangan akses pendidikan, ketidakpastian dunia kerja, serta kurangnya keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan industri menjadi faktor utama meningkatnya angka NEET.
Guru Besar Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Sri Lestari, menilai Gen Z sebenarnya memiliki karakter kreatif dan berpikiran maju. Namun, mereka lebih menyukai pekerjaan fleksibel yang tidak terikat waktu.
“Gen Z ingin bekerja secara bebas, dari mana saja, kapan saja, dan tetap mendapatkan penghasilan yang layak. Ini menjadi tantangan bagi pemerintah dalam menyediakan lapangan kerja yang sesuai dengan kebutuhan mereka,” ujarnya, Senin (24/2).
Ia menekankan bahwa pemerintah tidak hanya perlu menciptakan lapangan kerja, tetapi juga meningkatkan kompetensi tenaga kerja agar mereka mampu bersaing di pasar global. Dari sudut pandang psikologi, Gen Z yang masuk kategori NEET cenderung mengalami hambatan dalam fungsi eksekutif otak, yaitu kemampuan mengelola tujuan, merencanakan langkah-langkah, serta mengatasi tantangan emosional selama proses mencapai tujuan.
“Fungsi eksekutif ini dapat dikembangkan melalui pola asuh yang baik sejak kecil. Keluarga berperan penting dalam membentuk kebiasaan positif, seperti mengajarkan kemandirian dan budaya membaca,” jelasnya.
Ia juga menyoroti risiko sosial dan ekonomi bagi generasi muda yang terjebak dalam status NEET, seperti kesulitan mendapatkan pekerjaan, keterbatasan akses pendidikan, serta marginalisasi sosial.
“Pasar kerja modern menuntut penguasaan teknologi informasi dan soft skills, sementara banyak NEET masih berjuang untuk sekadar bertahan hidup,” tambahnya.
Menurutnya, salah satu solusi mengatasi masalah ini adalah membangun keterampilan 4C (Critical Thinking, Creativity, Collaboration, and Communication).

“Sekolah dan dunia kerja perlu lebih fokus mengembangkan kemampuan berpikir kritis, kreativitas, kerja sama, dan komunikasi agar generasi muda lebih siap menghadapi tantangan global,” pungkasnya.
Sementara itu, Guru Besar Ilmu Manajemen UMS, M. Farid Wajdi, menyatakan fenomena ini sudah terlihat sejak beberapa dekade terakhir. Menurutnya, sistem pendidikan di Indonesia masih memanjakan siswa tanpa menanamkan mental dan keterampilan kerja yang cukup.
“Anak didik menjadi kurang tangguh dan tidak siap menghadapi dunia kerja. Ditambah dengan perkembangan teknologi yang semakin cepat, dunia pendidikan perlu beradaptasi agar tidak semakin tertinggal,” ujarnya yang juga menjabat sebagai Direktur Pascasarjana UMS.
Farid menyoroti dampak ekonomi dari meningkatnya angka NEET, yang berpotensi menambah jumlah Sumber Beban Manusia (SBM) jika anak muda tidak memiliki keterampilan dan pengalaman kerja.
Baca juga, Jadi Khatib di Belanda, Ketua PWM Jateng Tafsir Sampaikan Makna Puasa dan Keberkahan Ramadan
“Human capital terbentuk dari pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman. Jika 20% anak muda Indonesia tidak memiliki ketiga aspek tersebut, daya saing SDM kita akan semakin lemah,” katanya.
Ia mengungkapkan dua faktor utama yang menyebabkan peningkatan angka NEET. Pertama, sistem pendidikan yang belum membekali siswa dengan employability skills, yaitu kemampuan untuk bekerja atau berwirausaha. Kedua, dunia industri yang belum berkembang optimal, di mana banyak perusahaan besar memilih relokasi ke negara lain seperti Vietnam.

Menurut Farid, ketidakpastian hukum dan kebijakan di Indonesia juga menjadi penghambat pertumbuhan industri. Ia mencontohkan sektor pertanian yang mengalami ketidakpastian harga panen, membuat masyarakat enggan berinvestasi di bidang tersebut.
Untuk menekan angka NEET, ia menekankan pentingnya langkah konkret dari pemerintah. Salah satu solusinya adalah meningkatkan reskilling dan upskilling bagi lulusan sekolah dan perguruan tinggi.
“Reskilling bertujuan memberikan keterampilan baru yang relevan dengan dunia kerja, sedangkan upskilling meningkatkan keterampilan yang sudah dimiliki agar lebih kompetitif,” jelasnya.
Dalam sektor pendidikan, konsep project-based learning dapat diterapkan untuk meningkatkan keterampilan praktis mahasiswa. Namun, ia menegaskan bahwa dunia pendidikan harus terhubung dengan dunia industri agar lulusan memiliki pengalaman yang lebih aplikatif.
“Pemerintah harus menjadi fasilitator dalam menciptakan keterkaitan antara dunia pendidikan dan industri. Dengan begitu, dunia usaha dan industri, terutama yang padat karya, bisa berkembang dan menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan,” ujarnya.
Farid juga menyoroti peran UMS dalam membekali mahasiswa dengan pengalaman dan jaringan kerja. Di UMS, mahasiswa tidak hanya mendapatkan gelar akademik, tetapi juga pengalaman dan koneksi yang bermanfaat untuk masa depan.
“Dengan lebih dari 30.000 mahasiswa dari berbagai daerah, interaksi di kampus dapat menciptakan peluang bisnis dan social entrepreneurship,” paparnya.
Ia mencontohkan bahwa social entrepreneurship dapat menjadi solusi bagi mahasiswa untuk mulai berwirausaha sejak dini.
“Awalnya hanya bernilai sosial, tapi karena dibutuhkan banyak orang, akhirnya bisa berkembang menjadi bisnis,” pungkasnya.
Kontributor : Yusuf
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha