
PWMJATENG.COM, Pekalongan – Pekalongan kembali menjadi ruang diskusi penting ketika Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Busyro Muqoddas, menyampaikan pandangan tajamnya tentang pentingnya riset berbasis analisa sosial. Dalam acara Pelatihan Ideologi Kepemimpinan Regional yang digelar Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah pada Ahad (7/9/25), ia menegaskan bahwa kalangan akademisi, khususnya dari Perguruan Tinggi Muhammadiyah, memiliki tanggung jawab moral untuk membaca realitas bangsa melalui lensa penelitian yang berpihak pada masyarakat.
Busyro menyebut bahwa berbagai problem di Indonesia sejatinya bermuara pada sisi hulu, yaitu regulasi dan kebijakan yang lahir dari otoritas negara. “Dari berbagai masalah yang kami kaji di Indonesia, muaranya satu, adalah masalah di bagian hulu, artinya perintah yang berada di sisi hulu kehidupan,” ungkapnya. Pernyataan ini menegaskan bahwa kebijakan publik yang tidak dirancang secara matang akan menimbulkan dampak luas di lapisan masyarakat.
Dalam paparannya, Busyro membedakan antara masalah hulu dan hilir. Hulu adalah regulasi dan instrumen hukum yang disusun pemerintah, sementara hilir adalah dampak langsung yang dirasakan masyarakat di daerah. Menurutnya, kasus-kasus sosial yang muncul di berbagai wilayah hanyalah konsekuensi dari peraturan yang lahir tanpa memperhatikan realitas lapangan.
“Selama ini, peraturan yang dibuat lebih banyak berdasarkan asumsi, bahkan kepentingan pemilik modal, bukan berbasis problematika di masyarakat,” jelasnya. Pandangan tersebut sejalan dengan kritik akademisi yang menyebut bahwa kebijakan publik sering kali tersandera kepentingan jangka pendek dan dominasi kelompok tertentu.
Sebagai contoh konkret, Busyro menyinggung Undang-Undang Cipta Kerja dan Undang-Undang Minerba. Kedua regulasi ini, meskipun diklaim sebagai jalan keluar bagi pertumbuhan ekonomi, justru menimbulkan kontroversi di masyarakat. Ia menuturkan pengalamannya saat melihat langsung area pertambangan di Halmahera yang membentang luas dan menimbulkan persoalan lingkungan serta sosial.
Selain itu, ia menyinggung polemik pengembangan kawasan Rempang di Provinsi Kepulauan Riau. Proyek tersebut memicu gelombang penolakan warga karena dianggap mengabaikan hak-hak masyarakat setempat. Kericuhan yang timbul, baik secara fisik maupun nonfisik, menjadi bukti bahwa regulasi tanpa kajian sosial yang mendalam hanya melahirkan konflik baru.
Baca juga, Perjuangan Nabi Muhammad Saw. dalam Menyebarkan Islam
Menurut Busyro, jalan keluar dari masalah ini adalah riset yang mendalam berbasis analisa sosial. Perguruan Tinggi Muhammadiyah diharapkan tidak hanya berfungsi sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga pusat kajian yang mampu mengoreksi kebijakan publik. Dengan demikian, Muhammadiyah bisa memberikan kontribusi nyata dalam mengawal keadilan sosial.
Ia menekankan bahwa riset yang dihasilkan harus berpihak pada masyarakat, terutama kelompok rentan yang sering menjadi korban dari regulasi bermasalah. Hal ini sejalan dengan nilai dasar Islam yang menempatkan keadilan sebagai pilar utama kehidupan sosial. Firman Allah dalam Surah An-Nahl ayat 90 mengingatkan:
إِنَّ ٱللَّهَ يَأۡمُرُ بِٱلۡعَدۡلِ وَٱلۡإِحۡسَـٰنِ وَإِيتَآئِ ذِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَيَنۡهَىٰ عَنِ ٱلۡفَحۡشَآءِ وَٱلۡمُنكَرِ وَٱلۡبَغۡيِۚ يَعِظُكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَذَكَّرُونَ
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”
Ayat ini menegaskan pentingnya keadilan sebagai landasan dalam setiap kebijakan, termasuk produk hukum negara.
Ajakan Busyro sejatinya bukan sekadar wacana, melainkan sebuah panggilan untuk menggerakkan potensi akademisi Muhammadiyah. Dengan ribuan dosen dan peneliti yang tersebar di berbagai perguruan tinggi, Muhammadiyah memiliki modal intelektual yang besar. Mereka diharapkan melakukan kajian kritis, melahirkan rekomendasi, dan mendorong lahirnya regulasi yang adil dan humanis.
Lebih jauh, riset semacam ini bisa menjadi bagian dari jihad intelektual yang membawa maslahat bagi bangsa. Rasulullah ﷺ pernah bersabda:
خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain.” (HR. Ahmad).
Hadis ini menegaskan bahwa kontribusi ilmu pengetahuan yang berpihak pada kemaslahatan masyarakat adalah bentuk nyata kebermanfaatan seorang akademisi.
Kritik terhadap regulasi tidak selalu berarti menolak pembangunan. Sebaliknya, riset yang dilakukan dengan pendekatan sosial dapat menjadi penyeimbang agar pembangunan tidak melahirkan ketidakadilan. Dengan cara itu, demokrasi tetap terjaga dan masyarakat tidak menjadi korban dari kepentingan elite.
Busyro menegaskan, tugas akademisi Muhammadiyah bukan hanya mengajar di ruang kelas, melainkan juga hadir di ruang publik dengan gagasan berbasis riset. Dengan demikian, Muhammadiyah dapat memainkan peran strategis sebagai civil society yang mengawal demokrasi dan keadilan sosial di Indonesia.
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha