Oleh : Dr. H. Ahwan Fanani, M.Ag.*
PWMJATENG.COM – Saat mendengar survei bahwa anggota Muhammadiyah hanya 5.7%, rasanya hati menjadi sedih. Dalam suasana batin yang gembira, melihat ranting-ranting berdiri dan Amal Usaha – Amal Usaha baru sedang berdiri, berita tersebut terasa mengganggu.
Tapi, yah jika itu realitas, lalu apa selanjutnya. Yang jelas, saya selalu bertemu dengan warga-warga Persyarikatan yang bersemangat untuk berjuang. Ada pondok, masjid, sekolah, rumah sakit dengan ratusan ribu pegawai yang aktif. Silih berganti lembaga keuangan mendatangi warga Muhammadiyah.
Dalam pengalaman hidup saya sendiri jarang bertemu massa Muhammadiyah yang banyak. Mungkin pengajian Tarjih di Klaten bisa dihadiri ribuan orang. Tetapi di PCM kami angka 80 orang sudah sangat banyak. Sepuluh tahun lalu bahkan pengajian PCM hanya 15-20 orang. Saat menjelang Muktamar kita bisa menyelenggarakan pengajian dengan 300 -an peserta.
Tujuh tahun lalu, hanya satu ranting yang punya pengajian di PCM kami. Ranting itu pun sudah ada lebih dahulu dibandingkan PCM. Sekarang sudah ada 4 ranting yang menyelenggarakan pengajian, meski masih belum sepenuhnya rutin.
Saat kilas balik, di kampung saya di Jawa Timur, meski kita dari keluarga yang cenderung modern dan tidak suka takhayul, tetapi tidak pernah juga mengaji Muhammadiyah, meski ada satu dusun di desa sebelah yang dihuni warga Muhammadiyah. Tetapi tidak pernah ada info pengajian, meski sekarang punya rumah sakit, sekolah dan pondok tahfiz.
Baca juga, Jihad Budaya Mujahid Kebudayaan, KH. Tafsir
Baru belakangan ini di kecamatan ada pengajian Ahad Pagi Surya. Dari kampung saya, hanya ibu, Bulik dan anaknya, serta dan sepupu lain yang rajin hadir. Di kecamatan lain, sepupu saya dari Pak De juga mendirikan PRA dan rutin mengaji di rumahnya. Padahal dulunya juga tidak ada pengajian Muhammadiyah di sana.
Pada waktu SMA saya diminta guru untuk ikut pengajian ranting Muhammadiyah di salah satu kota di Jatim. Pesertanya dua orang guru dan tiga atau empat siswa saja, tetapi rutin dilakukan. Padahal konon masa Orba Muhammadiyah jaya. Saya ikut pengajian Ahad Pagi IRM, yang pesertanya siswa sekolah kita juga dengan satu orang dari luar. Total 7-10 anak. Kadang mereka juga pindah ngaji ke IPNU pada siang harinya.
Pernah ikut pengajian di masjid Muhammadiyah dengan pembicara tokoh kritis masa Orba yang dicari-cari Pemerintah karena anti asas tunggal. Pesertanya juga hanya 10-15 orang saja. Dahulu sering ngaji di masjid Muhammadiyah, meski yang ngisi kalangan tarbiyah (aktivis kampus). Yah, yang ngaji hanya kita berlima dengan satu murabbi. Saat pergantian tahun baru, diselenggarakan pengajian, dengan pembukaan nasyid dari tim kami. Pesertanya cukup banyak, tetapi juga tidak lebih dari 20 orang. Pesertanya lebih dari kalangan tarbiyah daripada warga Muhammadiyah.
Baca juga, Belajar Hidup Sederhana
Selama menjadi anggota Muhammadiyah, persoalan jumlah bukan menjadi masalah karena sejak awal terbiasa dengan pengajian kecil-kecilan. Namun, kegembiraan selalu tumbuh saat melihat PCM berkembang dan jamaah bertambah. Tapak Suci juga mulai aktif dan membuka cabang lagi sehingga ada dua tempat latihan di PCM.
Berita tentang jumlah Muhammadiyah sejenak membuat hati kita sedih dan sesak. Tetapi kilas balik pengalaman kita sendiri menunjukkan dinamika Muhammadiyah yang terus menggeliat. Saat pindah rumah saya cari rekan-rekan Muhammadiyah. Awalnya ketemu satu keluarga dan sekarang menjadi puluhan keluarga sehingga bisa membentuk ranting, baik PRM maupun PRA.
Ternyata, kisah Muhammadiyah yang saya alami bukanlah kemerosotan, tetapi kemajuan. Dua pesantren baru lahir, masjid dibangun dengan dukungan PDM, MDMC dan Tapak Suci berdiri, dengan Bapak-Bapak yang sangat bersemangat. Saat menengok pesantren atau pembangunan masjid dan bertemu dengan Bapak-Bapak, suasana menjadi hidup. Terasa kegiatan di Muhammadiyah itu menyenangkan.
*Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PWM Jawa Tengah
Editor : M Taufiq Ulinuha