Keanekaragaman Hukum dalam Islam: Keteladanan Rasulullah dan Kebijaksanaan Para Sahabat

PWMJATENG.COM – Dalam sebuah tausiyah, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah, M. Abduh Hisyam, mengurai dengan lugas dinamika penerapan hukum dalam kehidupan Rasulullah ﷺ. Ia menekankan bahwa meskipun Rasulullah ﷺ berkuasa atas seluruh wilayah Madinah, pusat pemerintahan Islam kala itu hanya seluas area Masjid Nabawi, kira-kira lima hingga tujuh hektare saja. Di luar wilayah inti tersebut, suku-suku lain tetap mempertahankan sistem hukumnya masing-masing.
Menurut Abduh Hisyam, Al-Qur’an tidak sepenuhnya berbicara tentang hukum. “Ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an hanyalah sekitar 10% dari keseluruhan isi kitab suci. Selebihnya adalah ayat-ayat yang berbicara tentang tauhid, iman, dan penciptaan alam semesta,” tuturnya. Ia mencontohkan bahwa ayat-ayat tentang warisan, larangan menikahi mahram, dan hukuman atas perzinaan adalah bagian dari hukum keluarga yang diatur secara rinci.
Beberapa contoh diungkapkan untuk menunjukkan bahwa dalam sejarah Islam, Rasulullah ﷺ tidak memaksakan satu sistem hukum baku yang kaku. Ketika Bani Quraidah berkhianat pada saat Perang Khandaq dengan membuka pintu kota Madinah untuk musuh Quraisy, Rasulullah ﷺ tidak langsung menetapkan hukuman. Beliau meminta Sa’ad bin Mu’adz, pemimpin sekutu Bani Quraidah, untuk menetapkan hukuman. Sa’ad memutuskan hukuman mati bagi laki-laki yang terlibat, dan perempuan serta anak-anak dijadikan tawanan. Keputusan ini selaras dengan hukum Taurat yang berlaku dalam komunitas Yahudi saat itu.
Peristiwa lain yang tak kalah menarik adalah saat Rasulullah ﷺ menginstruksikan agar salat Asar tidak dilakukan kecuali di wilayah Bani Quraidah. Ketika pasukan terpecah dalam dua sikap—sebagian tetap salat dalam perjalanan, sebagian lain menunda hingga tiba di lokasi—Rasulullah ﷺ tidak menyalahkan keduanya. Hal ini menunjukkan bahwa dalam situasi tertentu, pemahaman kontekstual atas perintah Nabi bisa menghasilkan keputusan hukum yang berbeda namun tetap dibenarkan.
Mengenai perzinaan, dalil dari Al-Qur’an sangat jelas melarang perbuatan tersebut. Allah berfirman dalam Surah Al-Isra:
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَىٰ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra: 32)
Dalam Surah An-Nur pun dijelaskan hukuman bagi pezina:
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera…” (QS. An-Nur: 2)
Namun demikian, Rasulullah ﷺ menunjukkan pendekatan yang sangat manusiawi. Ketika seorang laki-laki bernama Maiz bin Malik mengaku telah berzina, beliau tidak langsung menghukumnya. Maiz sempat ditolak berkali-kali, bahkan Rasulullah ﷺ membalikkan wajah darinya dan menyuruhnya pulang untuk bertobat. Baru setelah pengakuannya dilakukan empat kali, dan kasusnya menjadi perhatian publik, Rasulullah ﷺ menjatuhkan hukuman rajam.
Baca juga, Abduh Hisyam: Muhammad Saw. Nabi Agung dan Negarawan Ulung, Teladan Sepanjang Masa
Hal menarik, hukum rajam sebenarnya berasal dari hukum Taurat, bukan Al-Qur’an. Dalam praktiknya, Nabi hanya menerapkan hukuman ini dalam empat kasus yang sangat khusus. Dalam satu peristiwa lain, Rasulullah ﷺ juga memberi keringanan hukuman kepada seorang pria lemah yang berzina, dengan hanya memukulnya sekali menggunakan pelepah kurma yang bercabang seratus.
Fenomena ini menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ tidak bersikap kaku dalam penerapan hukum. Beliau mempertimbangkan kondisi sosial, psikologis, dan bahkan politik dalam menetapkan keputusan. Pendekatan ini menjadi cermin bahwa Islam bukan agama yang hanya berkutat pada teks, melainkan juga pada hikmah dan maslahat umat.
Pasca wafatnya Rasulullah ﷺ, perbedaan pandangan di kalangan sahabat mengenai penerapan hukum pun muncul. Dalam kasus orang-orang yang enggan membayar zakat, Abu Bakar memilih untuk memerangi mereka, sementara Umar cenderung menahan diri. Namun karena Abu Bakar adalah pemimpin kala itu, Umar patuh pada keputusannya.
Hal serupa terjadi dalam kasus Khalid bin Walid. Umar merasa Khalid telah melakukan pelanggaran etika setelah membunuh musuh dan menikahi jandanya. Namun Abu Bakar, sebagai khalifah saat itu, menilai tindakan itu tidak sepadan dengan jasa besar Khalid dalam Islam. Ketika Umar menggantikan Abu Bakar sebagai khalifah, ia langsung mencopot Khalid dari jabatannya, karena khawatir umat menjadi fanatik terhadap individu.
Umar bin Khattab juga dikenal melakukan ijtihad yang berbeda dari ketentuan tekstual Al-Qur’an. Ia pernah menangguhkan hukuman potong tangan kepada pencuri yang mencuri karena kelaparan. Ia juga menghapus golongan “mu’allaf qulubuhum” dari daftar penerima zakat karena menilai umat Islam saat itu sudah kuat dan tidak memerlukan strategi kompromi politik.
Dari berbagai kisah ini, tampak bahwa Rasulullah ﷺ dan para sahabat memahami hukum tidak semata-mata sebagai teks yang saklek, tetapi sebagai sarana untuk menciptakan ketertiban, keadilan, dan kemaslahatan. Penegakan hukum dalam Islam memiliki fleksibilitas tinggi sesuai dengan konteks sosial dan budaya masyarakat.
Kesimpulannya, hukum dalam Islam bersifat dinamis dan aplikatif. Rasulullah ﷺ tidak memaksakan penerapan satu sistem tunggal, melainkan menghormati kearifan lokal, hukum komunitas, dan keadilan substantif. Para sahabat pun meneruskan tradisi ini, memberikan keteladanan dalam menjaga ajaran Nabi dengan ijtihad yang kontekstual dan arif.
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha