Keadaban Digital (III)
Oleh: Ikhwanushoffa*
Statuso Ergo Sum
Salah satu penyakit dalam alam digital adalah ingin selalu yang pertama dalam pemberi informasi. Seakan yang pertama menginformasikan suatu berita adalah sebuah prestasi. Sebuah asumsi yang maya, karena tanpa kerja yang nyata. Karena dengar yang pertama suatu kabar hanyalah sinkronisitas dalam ruang waktu. Maka yang dengar terakhir pun tidak masalah, karena bukan hal prestasi.
Di satu sisi, muncul pula penyakit baru yakni status yang mendapat penanggap terbanyak dianggap membanggakan, setidak penting apapun informasinya. Hal seperti itulah yang menumbuh suburkan buzzer.
Muncullah selorohan statuso ergo sum, aku membikin status maka aku ada. Satir era digital. Di mana gerakan jemari lebih cepat dibanding pikirannya. Mungkin pesan moral zaman now adalah lidah orang pintar berada dalam hatinya, sedang lidah orang bodoh berada dalam jempolnya.
Modal WiFi
Demam digital masuk dalam ranah gerakan. Ini memang tidak bisa dipungkiri. Namun kenyataan saat ini realita belum sepenuhnya terwakili oleh digital. Terlalu banyak lini yang harus ada sentuhan fisik. Generasi milenial yang terlahir dalam alam digital masih harus berbagi dengan generasi sebelumnya yang urban.
Baca juga, Keadaban Digital (II)
Bila ini tidak disadari, tentu hanya akan melahirkan olok-olok tak produktif. Belum semua rapat bisa diwakili oleh media digital, juga pembayaran ZIS apalagi pentasarufannya. Pun pengajian-pengajian, apalagi Salat Id.
Maka, menjadi cukup menggemaskan bila para aktivis sudah merasa berjuang dan bekerja hanya melalui WA. Dengan bermodal paket data bahkan sekedar free WiFi. Kita di gerakan tidak cukup hanya mewariskan kesalehan pribadi. Namun musti kesalehan sistemik.
Tidak cukup meratapi penggantinya yang tak bisa sepertinya. Namun, harus meratapi bila tak bisa meninggalkan sistem yang bisa diisi siapapun dengan hasil yang layak diandalkan. Wallaahu a’lam.
*Manajer Area Lazismu PWM Jawa Tengah
Editor : M Taufiq Ulinuha