Islam itu Sederhana: Kita di Tengah Tren Mistisisme dan Khilafahisme
Islam itu Sederhana: Kita di Tengah Tren Mistisisme dan Khilafahisme
Oleh : Prof. Dr. Ahwan Fanani, M.Ag. (Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PWM Jawa Tengah. Cendekiawan muslim)
PWMJATENG.COM – Islam itu ajaran sederhana, yang dimulai dengan pembenaran dalam hati, pengucapan dengan lisan dan pengamalan dengan rukun perbuatan. Islam adalah ajaran yang dibawa Nabi Muhammad, berupa perintah, larangan, kabar gembira, dan peringatan untuk berbakti kepada Allah dengan mengikuti sunnah Rasulullah. Rasulullah sudah mencontohkan dan menunjukkan amalan Islam, yang dipilah oleh ulama dahulu ke dalam kewajiban maupun kesunnahan.
Namun sejak dulu, ada sahabat yang merasa kurang dengan teladan amal yang diberikan Rasul. Ada yang ingin sepenuhnya mengabdikan diri pada Allah tanpa menikah, tanpa tidur di malam hari, dan selalu berpuasa hingga malam. Namun Rasulullah mengingatkan bahwa Rasul adalah manusia yang paling bertakwa, tatapi juga makan, tidur, dan menikah. Siapa yang tidak menyukai dengan sunnah Rasul, maka bukan termasuk golongannya. Hadis tersebut mengajarkan umat Islam untuk tidak ghuluw atau berlebihan. Agama itu hanifiyah dan samhah (lurus dan toleran).
Namun, kesederhanaan dan kejelasan itu terkadang tidak memuaskan sebagian orang karena yang sederhana itu kadang tidak mudah dilaksanakan. Akibatnya, ada yang tergoda untuk mencari jalan pintas melalui petualangan ruhani yang eksotis. Banyak orang ingin mencari jalan mudah untuk mendapatkan keselamatan. Daripada mendalami agama dan ittiba’ Rasul, jalan ikut-ikutan kepada orang sakti menjadi pilihan. Jika orang hebat itu memang orang salih dan berilmu masihlah bisa dimaklumi, tetapi tidak jarang jalan pintas itu pintas itu tidak dikawal dengan ajaran Islam yang terang sehingga orang menempuh jalan dengan penerangan yang kurang.
Muncullah fenomena orang sakti, nasab darah biru, atau tokoh ma’rifat (arif) yang belum tentu mendalami ilmu agama, tetapi diakui karena perilaku yang aneh. Terkadang yang terjadi bukan pencerahan spiritual dan pencerdasan kehidupan umat, melainkan pengkultusan makhluk, dan penolakan akal sehat, yang memungkinkan umat mudah dikendalikan dan diambil manfaatnya. Ada yang ingin menjadikan kekuasaan politik, seperti khilafah atau NII, sebagai prioritas keagamaan, meskipun keduanya jelas bukan rukun Islam apabagi rukun iman. Resikonya, agama yang diajarkan Nabi Muhammad untuk.kebsaikan dunia dan akhirat tereduksi menjadi pengejaran kekuasaan dunia.
Epistem Mistisisme Timur
Di kalangan masyarakat Timur, kecenderungan mistis sudah berakar kuat. Kepercayaan pada kekuatan magis dan kesaktian benda, hewan, atau manusia menjadi epistem dunia lama, yaitu dunia mitologi. Di kalangan kraton, kerbau yang berkulit putih atau orang cebol dianggap sebagai pemilik kekuatan sehingga dipelihara sebagai sumber otoritas kekuasaan. Di Afrika, orang Afrika asli yang berkulit bule diburu para dukun untuk dimakan daging atau disimpan bagian tubuhnya untuk kesaktian, mirip dalam kisah Tiongkok di mana Pendeta Tong, guru Sun Go Kong dikejar-kejar para siluman untuk dimakan dagingnya demi kekuatan.
C.C Berg, seorang pakar budaya, menyebut fenomena itu sebagai magi, yaitu keyakinan yang masih terpengaruh dinamisme, yang mengagungkan kekuatan benda, hewan, atau manusia sebagai penolong di tengah kesulitan hidup. Kepercayaan pada kesaktian benda ini disebut fetisisme. Ada lagi pemujaan pada hewan, yang pada taraf tertentu menjadikan hewan sebagai simbol keselamatan dan perlindungan. Meski keyakinan tauhid sudah masuk dan dianut umat Islam, tetapi ide tentang benda sakti, hewan sakti, hingga orang sakti tetap hidup dan mempengaruhi cara memahami agama dan dalam menyikapi hidup.
Dasar pikirnya adalah bahwa kehidupan itu misterius sehingga rahasianya juga hanya bisa dipahami oleh orang yang linuwih (punya kelebihan).
Baca juga, Telah Terbit! Download Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT) 1446 H
Di alam dan di luar manusia dipenuhi kekuatan supranatural yang kompleks yang tidak semua bisa dipahami manusia. Hanya orang tertentu yang punya akses langsung dan mampu menjalin kontak dengan “dunia lain”. Karena “dunia lain” itu misterius maka orang yang bisa berhubungan dengannya pun dipandang punya sifat misterius. Semakin aneh dan misterius orang, maka akan semakin dianggap semakin sakti dan dekat dengan alam misteri.
Akibatnya, nalar saintifik atau akal sehat sering kali diabaikan karena pesona dunia misterius. Bahkan, ajaran agama tentang hal-hal ghaib dianggap kurang memuaskan karena disampaikan dengan cara yang normal dan oleh tokoh yang normal. Oleh karena itu, dunia yang misterius lebih cocok dikaitkan dengan orang yang misterius, atau cenderung aneh. Kadang, semakin aneh orang, menjadi semakin dianggap sakti dan semakin dihormati, meski sulit juga dibuktikan otoritasnya itu. Tidak jarang, orang memanfaatkan celah ini dengan tampil eksentrik, menggunakan idiom aneh, dan pengakuan kesaktian diri untuk menarik minat massa. Tidak jarang pula, modus demikian berhasil!
Menelusup ke Dalam Agama
Dalam agama Islam, kesaktian orang bukan ukuran keselamatan rohani dan kebenaran agama, apalagi sebagai jaminan masuk surga. Kebenaran agama terletak pada ajaran yang bersumber dan selaras dengan wahyu yang dibawa oleh Rasulullah. Ada tokoh sufi yang dengan sadar memperingatkan untuk tidak terpesona kepada orang yang bisa terbang atau berjalan di atas air, jika ia melanggar syariat Islam. Orang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa dengan menjalankan perintah dan larangan-Nya. Pengetahuan manusia tentang hal-hal gaib itu terbatas sehingga hanya beberapa saja yang wajib diyakini, yaitu tentang adanya Allah, Malaikat, Hari Akhir, dan takdir. Namun, keyakinan itu tidak diharuskan untuk didalami secara mendetail sehingga pemahaman akibat secara rinci pun hukumnya fardlu kifayah menurut ulama tauhid.
Namun, dorongan primordial untuk merasakan sensasi misteri dan mencari jawaban dari mitologis atas permasalahan hidup dan keagamaan menjadi obsesi tersendiri bagi sebagian kalangan. Keyakinan mistik ini tidak jarang mengambil inang pada satu ayat atau hadis lalu ditafsirkan secara overdosis. Ada orang Pakistan yang dengan bekal potongan hadis tentang kemungkinan manusia bertemu Nabi Muhammad, lalu ia akui dirinya bertemu Nabi Muhammad dalam mimpi dan menerima sabda langsung dari beliau. Akhirnya, ia menjadi penyampai sabda Nabi Muhammad seperti laiknya sahabat pada masa lampau.
Ada yang hanya dengan penafsiran makna kata “cincin dalam Alquran’ kemudian menafsirkan secara majazi yang memungkinkan pengakuan adanya nabi baru. Muncullah ajaran nabi baru untuk menjabarkan ajaran Islam sehingga sumber Islam tidak lagi Alquran dan hadis. Saat ini, banyak kasus orang yang mengaku telah mendapatkan ilham atau pesan langsung dari Allah, seperti laiknya Nabi.
Ada lagi yang menjadikan nasab sebagai komoditas keagamaan. Ada yang mengklaim keunggulan nasab karena merasa punya hubungan darah dengan Nabi Muhammad atau dengan tokoh suci sehingga agama terasa seperti kekuasaan feudal zaman dulu. Berdasarkan hubungan darah itu, maka keajaiban yang dilakukan Nabi Muhammad pun bisa dilakukan oleh orang sekarang, bahkan secara lebih hebat. Ada orang mengaku sering melakukan Isra’ ke langit ketujuh. Ada yang mengajak untuk memuliakan benda atau makhluk yang sudah meninggal secara berlebihan. Ada yang mengajarkan pada orang awam bahwa bacaan tertentu yang menunjukkan kecintaan kepada Nabi Muhammad akan memberi jaminan keselamatan di akhirat.
Khilafahisme dan Tauhid Politik
Di sisi lain, muncul Gerakan politik yang terobsesi dengan kebangkitan politik umat Islam. Semangat menerapkan ajaran agama dan semangat untuk syiar agama jelas bukan kesalahan, namun ketika semangat itu menjadi obsesi politik yang berlebihan tak urung akan membawa ekses. Jika penganut mistis berfokus kepada alam gaib dan misterius, maka khilafahisme justru menerjemahkan tauhid dalam konteks duniawi. Pencapaian tauhid dipahami secara horizontal, yaitu dominasi kekuasaan politik Islam.
Kekuasaan politik seolah menjadi core of the core agama Islam. Namun, puncak tauhid Islam bukanlah kekuasaan politik, melainkan kesadaran mengenai Yang Esa dengan segala konsekuensinya. Namun, penganut khilafaisme mengerahkan segala kemampan pikiran, waktu. dan kepandaian untuk mewujudkan tauhid politik, sehingga minim apresiasi terhadap pengajaran akidah, syariat, akhlak, dan amal sosial.
Pengikut NII yang ekstrim konon berpandangan bahwa mendirikan negara Islam itu lebih utama dari shalat. Karena itu, saat membrainstorming orang dalam perekrutan anggota, penganut NII tidak memulai pembahasan tentang akidah Islamiyyah atau kesadaran beribadah, melainkan dengan menanamkan kesadaran akan keharusan berdirinya Negara Islam di Indonesia. Tanpa disadari, sebenarnya konsep negara Islam Indonesia itu adalah fenomena baru yang dipengaruhi oleh negara bangsa abad ke-19 sehingga memperjuangkan negara Islam dengan batas kebangsaan pun bukan rumusan otentik Islam, meskipun dengan tujuan untuk menjalankan syariat Islam.
Baca juga, Hijrah ke Kalender Islam Global Tunggal
Di sisi lain, pecinta khilafah meyakini gagasan eskatologis bahwa kekuasaan Islam sedunia adalah keniscayaan dan jalan keluar untuk segala kesulitan hidup umat manusia. Khilafah menjadi pintu bagi kesejahteraan umat manusia dan jaminan penyelesaian masalah dunia. Keyakinan ini dibangun di atas hadis yang meramalkan kedatangan khilafah, meski hadis itu bukan hadis mutawatir. Tidak ada Nash Al-Quran dan hadis yang mendukung keharusan khilafah sebagai persoalan akidah atau ibadah.
Bahkan, Imam Al-Mawardi dalam Al-Ahkam al-Sulthaniyyah hanya mengacu dalil tentang ketaatan pada Allah, Rasul, dan Ulil Amri sebagai dasar imamah (kepemimpinan) dalam Islam. Belum lagi, terjadi perbedaan antar ulama apakah keharusan imamah Islam itu berlandaskan tuntutan syar’i atau tuntutan rasio semata. Namun, karya tersebut menggarisbawahi hal terpenting bagi imamah (kepemimpinan politik) dalam Islam adalah mengatur urusan dunia dan memelihara agama.
Ideologi khilafahisme itu didasari semangat mesianisme. Kerja dakwah diorientasikan untuk memenuhi ramalan tentang masa datangnya dominasi umat Islam dalam politik. Pandangan demikian disebut pula sebagai pandangan mesianisme atau mileniarisme, yaitu keyakinan tentang adanya juru selamat bagi masyarakat dalam kondisi tidak ideal. Ajaran ini dalam keyakinan orang Jawa terwujud dalam Jangka Jayabaya, dengan berbagai varian dan variasinya (seperti Quraisyin Adammakna, Seh Bakir, Pranitiradya, Pranitiwakya, Pralambang dll), yang meramalkan datangnya imam mahdi atau ratu adil sebagai penyelamat umat manusia. Bedanya, sang selamat dalam Jangka Jayabaya adalah penguasa politik yang adil, sedangkan dalam khilafahisme juru penyelamat itu berupa sistem politik Islam. Juru selamat dalam bentuk sistem politik ini tidak mudah dilacak dalam perintah agama, baik dalam Alquran maupun Sunnah karena Khulafaur Rasyidun dipilih atau ditunjuk dengan mekanisme berbeda.
Sikap Kita
Pandangan Persyarikatan mengenai keagamaan mungkin tampak standar, tetapi lebih aman. Manhaj Tarjih sejak tahun 1930-an sudah mengantisipasi persoalan yang bisa timbul dalam relasi antara agama, dunia, ibadah dan syiar Islam. Masalah Lima dalam HPT menjelaskan secara terang apa itu agama, apa dunia, apa ibadah, dan apa sabilillah serta qiyas. Agama adalah apa yang disyariatkan Allah melalui nabi-Nya dalam bentuk perintah, larangan, dan petunjuk sehingga Keyakinan atau amal yang tidak punya acuan pada Nash tidak bisa disebut sebagai agama. Keyakinan ini adalah keyakinan standar ahlussunah wal jamaah masa lalu sehingga kalangan Asyariyyah pun berpendapat bahwa baik buruk yang ditentukan oleh akal semata tidak bisa menjadi patokan dan tidak bisa menjadi sarana ibadah.
Dalam Masalah Lima, ibadah harus jelas petunjuk nasnya, sedang urusan dunia terbuka bagi keahlian dan pemahaman manusia. Hal itu sejalan dengan pembedaan ulama klasik mengenai wilayah ibadah (mahdlah) dan wilayah muamalah dalam syariat Islam. Ibadah mahdlah harus didasarkan dalil, sedangkan muamalah terbuka selama tidak ada larangan. Muamalah bisa menjadi ibadah ghairu mahdlal jika diniati sebagai ibadah dalam kerangka syiar.
Dalam Pokok Tarjih, urusan akidah harus didasarkan dalil mutawatir yang memberi pengetahuan qath’i (pasti) sehingga hanya ajaran akidah yang dasar syar’i-nya kuat saja yang menjadi pedoman untuk menghindari penyimpangan akidah. Namun, jika satu masalah itu terjadi perbedaan pendapat akibat pemahaman dalil, maka itu wilayah ikhtilaf yang butuh toleransi. Dengan demikian, urusan akidah tidak cukup didasarkan satu kemungkinan tafsir yang lemah atau hadis yang petunjuknya tidak qath’i.
Untuk menanggulangi kemungkinan takhayyul dan khurafat atau keyakinan terhadap masalah ghaib yang tidak jelas acuannya serta mengada-ada maka akidah dimurnikan dengan laa ilaaha illallah sehingga kecenderungan syirik terhindarkan. Pemahaman agama dilakukan secara komprehensif, dengan melibatkan nash dan dalil syr’i (bayani), akal sehat dan ilmu (burhani), dan rasa atau hati (irfani). Di sini, purifikasi atau pemurnian akidah tidak menolak akal sehat dan tidak pula mengabaikan aspek rasa. Keyakinan pada Tuhan diarahkan untuk membangun kehidupan manusia yang sejahtera sebagai misi kekhalifahan manusia, untuk memakmurkan dunia, dalam rangka mewujudkan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur (negeri yang baik dan diampuni Tuhan).
Agama tidak dipersulit karena jalan menuju Tuhan itu mudah, yang sulit adalah menjalankannya. Rukun dasar agama itu rukun Islam dan rukun iman. Rukun Islam itu sederhana, tetapi tidak semua orang mampu menjalankannya dan malah mencari jalan lain. Rukun iman itu jelas, namun tidak mencukupi bagi yang belum mendalami dimensinya.
Oleh karena itu, organisasi bagi Muhammadiyah adalah urusan dunia. Organisasi terbuka bagi akal dan ide manusia untuk mengantarkan ke gerbang surga. Namun, kunci surga dipegang oleh masing-masing orang yang meyakini laailaha illallah, muhammadun Rasulullah. Syafaat Nabi Muhammad pun diberikan kepada orang yang beriman.
Jika akidah kita sudah benar dan lurus, ajaran Islam diamalkan untuk berbakti kepada Allah dan untuk memberi manfaat pada sesama, segala larangan agama dijauhi, proses belajar agama dan mengaji terus dilakukan untuk memperbaiki diri, syiar di jalan Allah dilakukan, dan berperilaku yang baik kepada sesama, maka apa lagi wasilah yang kurang untuk menggapai rida Allah? Apakah rida Allah harus dicapai melalui jalan mistis atau jalan politis sebagai core of the corenya? Apakah berendah hati sebagai hamba dan memilih untuk memegang keyakinan standar, namun aman, itu tidak mencukupi? Apakah jalan yang tidak jelas petunjuk agamanya itu lebih selamat? Semua itu sebenarnya mudah dijawab kalau kita memahami Islam dari pokoknya hingga tahu mana cabangnya.
Editor : M Taufiq Ulinuha