Cuanisme Penjajah Baru Kapitalisme Sosialisme dan Isme-Isme Lain

Cuanisme Penjajah Baru Kapitalisme Sosialisme dan Isme-Isme Lain
Oleh : Rifka Putri Ramadhanty (Mahasiswa S2 Ekonomi Islam Universitas Airlangga)
PWMJATENG.COM – Di zaman dulu, kita mengenal penjajah dengan seragam tentara dan senapan di tangan. Mereka datang dengan kapal, bendera, dan perjanjian yang sarat tipu daya. Kini, bentuk penjajahan itu sudah berganti rupa. Ia tidak lagi memakai bedil, melainkan laporan laba-rugi. Ia tidak lagi membawa pasukan, melainkan draft undang-undang. Dan paham yang memimpin penjajahan modern itu bernama: Cuanisme.
Cuanisme adalah paham yang menganggap segala sesuatu layak diperjuangkan selama mendatangkan cuan, alias keuntungan. Kapitalisme punya pasar bebas, sosialisme punya kebersamaan, komunisme punya kolektivitas—tapi Cuanisme punya satu saja: kantong tebal para pemilik modal. Ia tidak peduli apakah cara mendapatkannya merusak lingkungan, memiskinkan rakyat, atau merampas hak generasi mendatang. Yang penting, saldo terus bertambah, proyek terus berjalan, dan yang protes bisa di-mute dengan slogan “demi pertumbuhan ekonomi”.
Dalam Islam, sudah jelas ditegaskan: “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain dengan jalan yang batil…” (QS Al-Baqarah: 188). Namun Cuanisme justru mengajarkan cara memakan harta sesama dengan penuh kreativitas: lewat riba, manipulasi proyek, hingga investasi bodong berkedok syariah. Ironisnya, ada yang berdoa dengan khusyuk di depan kamera, lalu menghitung margin di balik layar.
Demo di depan DPR baru-baru ini hanyalah puncak gunung es. Masyarakat turun ke jalan bukan hanya karena satu pasal, tapi karena muak melihat paham cuan yang mengatur negeri. Dari penetapan regulasi hingga tender-tender raksasa, aroma Cuanisme tercium pekat: siapa yang punya akses, dia yang menang. Sementara rakyat kebanyakan hanya disuguhi janji manis, potongan-potongan subsidi, dan seruan untuk bersabar.
Baca juga, Hukum Lalai hingga Mengakibatkan Meninggal Dunia dalam Perspektif Islam
Cuanisme juga lihai berkamuflase. Ia bisa menyusup ke dalam label halal, syariah, bahkan wakaf sekalipun, jika itu menguntungkan. Lembaga yang seharusnya menjadi instrumen keadilan kadang dijadikan ladang cuan: zakat tidak optimal, dana wakaf tidak produktif, sedekah dipakai untuk branding politik. Padahal Islam mengajarkan, harta hanyalah titipan yang kelak akan ditanya: dari mana didapat, untuk apa dipakai?
Satirnya, ketika rakyat bicara soal keadilan ekonomi, mereka disebut tidak realistis. Ketika ulama menyerukan kejujuran dalam bisnis, mereka dituding menghambat investasi. Seolah-olah yang logis hanyalah membiarkan Cuanisme merajalela sambil kita sibuk memperbaiki moral lewat ceramah subuh.
Namun, jangan salah: Islam tidak anti keuntungan. Rasulullah SAW adalah pedagang yang jujur, para sahabat pun banyak yang kaya raya. Yang Islam tolak adalah keuntungan yang buta hati, yang hanya memperkaya satu pihak sambil memiskinkan yang lain. Rasulullah pernah bersabda, “Pedagang yang jujur dan terpercaya akan bersama para nabi, shiddiqin, dan syuhada.” (HR. Tirmidzi). Bandingkan dengan pedagang ala Cuanisme: yang dekat dengan penguasa, yang fasih melobi, tapi fakir akhlak.
Cuanisme akan terus mencari tanah subur. Ia hidup di antara apatisme rakyat, kurangnya literasi keuangan, dan lemahnya penegakan hukum. Ia semakin subur ketika dalil agama dijadikan perisai, bukan pengawas. Jika kita ingin melawannya, jalan satu-satunya adalah menghidupkan kembali etika ekonomi Islam: larangan riba, distribusi zakat yang adil, pengelolaan wakaf produktif, dan kejujuran dalam muamalah.
Karena penjajahan hari ini tidak selalu datang dari luar negeri. Kadang, ia lahir dari keserakahan di dalam negeri yang menamakan dirinya investor. Dan penjajahnya tidak selalu membawa meriam—kadang hanya membawa proposal.
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha