Maulid yang Disuka dan Dikritik
Maulid yang Disuka dan Dikritik
Oleh : Rudi Pramono, S.E. (Ketua MPI PDM Wonosobo)
PWMJATENG.COM – Islam dalam konteks sejarah, ruang dan waktu selalu penuh warna dan dinamika, salah satunya tradisi Maulid, memperingati kelahiran Rasulullah setiap 12 Rabiul Awal. Pro kontra selalu mengiringi tradisi kebudayaan Islam klasik ini, tapi tetap terus berjalan dan ramai di mana-mana, bahkan dirutinkan minimal setiap bulan sekali.
Kalau pengajian biasa mungkin tidak masalah, tapi kegiatan maulid selalu integral dengan pembacaan Kitab Mawalid Al Barjanji dan Nur Muhammad dengan salah satu ritualnya mahalul qiyam, puji-pujian kepada Rasulullah dengan para jamaah berdiri ketika dibacakan asrokol badru, karena keyakinan ruh nabi hadir sehingga perlu dihormati dan disambut dengan berdiri, ta’dzim.
Al Imam As Syakowi menuliskan Sejarah Maulid pertama dirayakan di abad 3 Hijriah sekitar 300 tahun setelah Rasulullah wafat oleh Dinasti Fathimiyah (Syiah) dilanjut zaman Shalahudin Al Ayubi untuk menggelorakan semangat jihad melawan kaum kafir.
Kitab Al Barjanji ini disusun oleh Ja’far al Barjanji dan ulama-ulama ahli syair sebagai ekspresi Kecintaan kepada Rasulullah yang terus hidup sepanjang zaman di kalangan Islam Tradisional, sebagai wahana pembinaan umat, seperti masa Wali Songo. Salah satu argumen yang merayakan bahwa bergembira merayakan kelahiran Nabi maka Allah akan berikan Rahmat, seperti Abu Lahab dihentikan siksanya di neraka setiap hari Senin karena dia bergembira dengan kelahiran Rasulullah dengan membebaskan budak.
Baca juga, Demokrasi Prosedural: Antara Formalitas dan Partisipasi Nyata
Ulama-ulama yang menolak di antaranya Ibnu Taimiyah, Muhammad bin Abdul Wahab dan ulama-ulama Saudi karena maulid tidak dilakukan oleh Rasulullah, generasi salaf as shalih, mengandung bid’ah dan tidak ada dalilnya.
Muhammadiyah berusaha bersikap wasathiyah tidak serta merta menolak atau menerima, tapi sikap kritis dan mengkaji dalam perspektif apakah ini persoalan agama (umur addien) atau duniawiyah (umur dunya’) Muhammadiyah melihat kegiatan ini masuk ranah muamalah duniawiyah yang hukum asalnya mubah: boleh sebelum ada dalil yang melarang. Karena memang Maulid tidak ada dalil yang melarang ataupun memerintahkan, namun Muhammadiyah menyoroti praktik pembacaan Kitab Mawalid Al Barzanji itu dengan ritual berdiri taqdim ruh Nabi sambil membaca sholawat bersama yang dipandang mengandung Takhayul, Bid’ah, Churafat, Syirik (TBCS) dan memuat cerita-cerita dari hadis-hadis dhoif dan maudu’
Sikap Muhammadiyah mempersilahkan dalam aspek maslahah, dalam rangka dakwah Islam, amal sosial, meningkatkan keimanan dan meneladani Rasulullah melalui ta’lim shirah nabawi dan mahabbah
Kecintaan kita pada Rasulullah diwujudkan secara rasional dengan meneladani akhlak dan perjuangan beliau dan tidak berbau mistis dan khurafat yang berbahaya dari aspek aqidah Islam. Jadi laksanakan peringatan Maulid Nabi untuk dakwah dan syiar Islam tanpa khurafat, bid’ah, ghuluw dan kultus pada Rasulullah. Wallahu a’lam.
Editor : M Taufiq Ulinuha