Relasi Ulama dengan Umara dalam Politik
Oleh : Rudi Pramono*
PWMJATENG.COM – Ulama dengan Umara dua entitas yang berbeda, Ulama sangat mulia dalam Al Quran disebut warasatul ambiya, pewaris para nabi, sedangkan Umara mendapat mandat rakyat untuk mewujudkan kesejahteraan mereka. Ulama merupakan orang yang mengetahui, memahami dan mengamalkan ajaran agama sedangkan Umaro adalah pejabat pemerintah yang melaksanakan kepemimpinan dan pembangunan masyarakat. Ulama di ranah etika dan nilai-nilai agama sedangkan Umara di ranah praksis kepemerintahan dan politik. Dengan demikian ulama memiliki fungsi kontrol moral dalam penyelenggaraan kebijakan publik.
Ulama dan Umara dua ranah yang berbeda tapi harus ‘disatukan’ bukan dalam kekuasaan politik tapi jembatan nilai yang menyatukan keduanya, apalagi dalam politik ada adagium power tends to corrups, absolute power tends to absolute corrupt. Politik cenderung korup dalam aspek yang luas, korup uang, korup kebijakan, korup kekuasaan. Politik Machiavelli diakui keampuhannya : politik bebas nilai, kalau tidak bebas nilai, kalau pakai etika moral, aturan dan pendidikan politik maka jelas tidak akan terpilih. contoh paling mudah dan di mafhumi banyak orang adalah money politic dengan amplop atau barang maka akan dikenal, mengikat pemilih dan akan dipilih. Ulama harus berani mengatakan salah katakan salah meskipun semua orang melakukan dengan berbagai alasan, soal solusinya adalah tugas umaro untuk mengatasinya.
Politik bagi Barat lahir karena protes terhadap sistem teokrasi di abad pertengahan di mana gereja dengan negara ada dalam satu kesatuan yang menjadikan agama sebagai alat legitimasi kekuasaan yang menyimpang, inilah awal sekularisasi dalam politik sampai sekarang bahkan merambah ke ilmu-ilmu pengetahuan yang berwatak sekuler dan atheis.
Baca juga, Meneguhkan Pemikiran Politik Islam Perspektif Sejarah dan MKCH
Sementara Islam tidak mengalami sejarah sekularisasi sehingga dalam Islam politik adalah ibadah menjalankan fungsi sebagai hamba dan khalifah Allah, menjaga agama dan siyasatud dun’ya (kitab Al Hakam Al Sulthaniyah – Al Mawardi) sehingga ada khittah ada nilai-nilai akhlak, moral dan agama dalam praksisme politik. Politik sekuler ini akan menimbulkan ‘daya rusak politik’ yang merambah ke mana saja ke berbagai bidang, ketika politik bekerja melalui pemberian jabatan wapres, komisaris, alokasi anggaran, akses, janji, bansos, infrastruktur, dll maka nilai-nilai profesionalisme, kompetensi, efektif efisien, kerakyatan, demokrasi, aturan, mekanisme, keadilan, kebenaran akan lenyap. Yang paling parahnya ketika para ulama, pemimpin, aktivis, ormas Islam malah justru berharap, mendekat ke kekuasaan dengan berbagai alasan untuk dakwah di pemerintahlah untuk pembangunan umat, dll. Pada saat itu marwah Ulama dan citra Islam rusak justru dihancurkan oleh pemimpinnya sendiri.
Pesan Kyai Dahlan : “Jadilah insinyur, jadilah dokter dan kembalilah ke Muhammadiyah” Kita memahami kehadiran Pemerintah dalam dan kegiatan di Persyarikatan dalam perspektif kita sedang mengamalkan pesan Kyai Dahlan tersebut, bahwa para pejabat itu ‘kembali’ ke Muhammadiyah yang bermakna mereka sowan, silaturahmi dengan tujuan untuk ‘meguru’ agar dapat hikmah, nilai-nilai, ilmu dan kearifan dalam mengemban amanah jabatan dengan baik.
Maqom Muhammadiyah itu lebih tinggi dari para praktisi politik tersebut, Muhammadiyah lebih tua dari Republik, bahkan salah satu owner Republik ini. Para ulama dan kiai selalu berusaha bersandar pada Al Qur’an dan As Sunnah. Para Pimpinan dan Kader juga sudah dipagari oleh paham dan ideologi. Khittah Muhammadiyah sebagai gerakan yang mengusung dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar jelas lebih utama dari para politisi tersebut sehingga posisi mereka adalah santri yang perlu diwejangi, dinasehati dan sami’na wa ato’na nderek petuah kiai agar selalu di jalan yang benar.
Baca juga, Tanggung Jawab dan Etika Pemimpin, Khianat Akan Dilaknat!
Inilah Marwah Muhammadiyah yang harus dijaga dalam berhubungan, bersinergi dan bekerja sama dengan siapapun dan sampai kapanpun apalagi dengan para pejabat, pemegang kekuasaan, pembuat kebijakan dan peraturan harus sering ‘dijewer’ kalau menyalahi nilai etis, amanah keadilan dan kesejahteraan rakyat, pemegang kedaulatan sesungguhnya. Jangan sampai yang terjadi malah sebaliknya, transaksi politik, yang satu punya massa yang satunya lagi butuh massa, akhirnya sepakat untuk saling menguntungkan. Ayat Al Qur’an jadi komoditas politik, jualan ayat untuk dapat posisi dan keuntungan pribadi dengan kamuflase untuk kepentingan umat.
Mengutip tulisan Haedar Nashir di Suara Muhammadiyah, bahwa Muhammadiyah memiliki marwah, kehormatan yang harus dijaga sebagai berikut :
Pertama, Khitah Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah dan tajdid, tidak memiliki hubungan organisatoris dan tidak merupakan afiliasi dengan parpol manapun, Muhammadiyah memberikan kebebasan kepada setiap anggota persyarikatan dan warga menyalurkan aspirasi politiknya sesuai hati nuraninya masing-masing.
Baca juga, Menumbuhkan Sikap Tawadhu untuk Mendapat Rahmat
Kedua, Muhammadiyah senantiasa bekerjasama dengan golongan manapun berdasarkan prinsip kebaikan dan kemasalahatan menjauhi kemudaratan dan bertujuan membangun kehidupan berbangsa dan bernegara ke arah yang lebih baik, maju, demokratis dan berkeadaban.
Ketiga, Muhammadiyah meminta kepada anggotanya yang aktif dalam politik untuk benar-benar melaksanakan tugas dan kegiatan politik secara sungguh-sungguh dengan mengedepankan tanggung jawab (amanah) akhlak mulia (akhlaq al karimah) keteladanan (uswah hasanah) dan perdamaian (Ishlah).
Keempat, Muhammadiyah secara organisasi tidak masalah memperoleh bantuan dari pemerintah atau golongan manapun asal Untuk kepentingan organisasi secara elegan, tanpa merendahkan diri, halal dan tidak mengikat dan tidak ada kepentingan pribadi dan dinasti dan pada saat yang sama para pemimpin Muhammadiyah juga tetap leluasa memberi masukan dan kritikan. untuk mewujudkan kehidupan yang menerapkan sistem nilai Islam dalam negara bangsa menuju baldatun thoyyibatun wa rabbun ghafur masyarakat yang diberkahi dan di ridai Allah Swt.
*Ketua MPI PDM Wonosobo
Editor : M Taufiq Ulinuha