Yuk Pahami Dasar Kriteria Wujudul Hilal!
Yuk Pahami Dasar Kriteria Wujudul Hilal!
Oleh : Prof. Dr. Ahwan Fanani, M.Ag., M.S.*
PWMJATENG.COM – Saat ini muncul pertanyaan tentang apa dasar wujudul hilal. Sebenarnya jika mau membaca putusan Tarjih yang sudah diterbitkan sendiri dengan judul Pedoman Hisab Muhammadiyah, jawabannya sudah jelas. Namun, barangkali tidak semua orang, bahkan warga Muhammadiyah sendiri, sempat membacanya, meski versi pdf buku tersebut juga tersedia online. Belum lagi beberapa terbitan Tarjih lain yang menambah penjelasannya. Akibatnya, fenomena gagal faham tentang hisab sering terjadi.
Orang bertanya, apakah ada dalil nashnya kriteria wujudul hilal. Sebenarnya pertanyaan itu juga aneh, karena kalau ditanyakan balik apakah kriteria imkanur rukyat dan lain-lain, misalnya, ada dalil sharihnya? Tentu mau dicari pada Nash sampai beruban tidak akan ketemu petunjuk sharihnya. Tetapi, kriteria penentuan awal bulan Hijriyah itu merupakan dasar ilmiah untuk melakukan rukyat atau hisab.
Sejak masa klasik, Imam Syafi’i membolehkan bagi pengguna hisab untuk mendasarkan diri pada hisab untuk penentuan Ramadan, sebagaimana disebutkan dalam al-Fiqh ala al-Madzahib al-Arba’ah. Manhaj Tarjih tidak menolak pendapat ulama, melainkan menerimanya sesuai dengan Manhaj Tarjih. Saat ini, kita memang tidak bisa lagi menganut ketat istinbath qauli sehingga muncul fikih manhaji dan ijtihad berdasarkan manhaj.
Di Muhammadiyah, ijtihad dalam bidang sains itu terbuka lebar pintunya. Dalam Manhaj Tarjih ada masalah lima yang jelas mendefinisikan agama, dunia, qiyas, sabilillah, dan ibadah. Kalau urusannya terkait teknis dan sains itu masuk urusan dunia, seperti sabda Nabi Muhammad, antum a’lamu bi umuri dunyakum. Nabi Muhammad saja menyadari bahwa untuk urusan dunia, yang tidak terkait dengan ajaran dasar agama, umatnya banyak yang lebih ahli. Oleh karena itu, di Muhammadiyah, wilayah dunia ini terbuka luas untuk ijtihad saintifik, dan tidak terkena pertanyaan mengenai bid’ah karena bid’ah itu menyangkut urusan ibadah mahdlah.
Jadi konsekuensi dari penggunaan hisab itu membuat Muhammadiyah bekerja lebih jauh untuk mencari kepastian dan keteraturan dalam penentuan awal bulan Hijriyah. Anehnya umat Islam ini adalah berabad-abad belajar astronomi dan hisab, tetapi belum mampu membuat kalender Hijriyah yang jelas dan reliabel yang bukan ditentukan oleh kekuatan politik dan bisa dipakai universal. Kalender Masehi sudah bisa melakukan itu.
Karena itu, kriteria wujudul hilal diajukan untuk operasionalisasi hisab, sebagaimana kriteria tinggi hilal, usia bulan, dan elongasi itu diajukan dalam kerangka imkanur rukyat. Mempertanyakan dasar nash kriteria wujudul hilal sama saja mempertanyakan dasar Nash kriteria imkanur rukyat. Coba mana hadis tentang usia bulan, elongasi, dan tinggi hilal untuk menentukan awal bulan Ramadan?
Hal demikian tidak menjadi masalah karena ini wilayah ijtihad teknis sehingga tidak perlu sharih nashnya sebagaimana juga kriteria imkanur rukyat. Kriteria imkanur rukyat itu hanyalah sarana untuk menjadikan rukyat lebih valid. Demikian pula halnya kriteria wujudul hilal disusun agar hisab bisa membawa kepastian dan kejelasan titik tolak.
Dasar Wujudul Hilal
Terkait pertanyaan mengenai dasar Nash wujudul hilal, perlu sedikit di sini saya kemukakan argumentasi syar’i dari wujudul hilal. Ada empat argumentasi yang bisa dilihat sebagai landasan kriteria wujudul hilal. Pertama adalah isyarat Nash dalam surat Yunus ayat 5, Surat Yasin 39 – 40, dan Ar Rahman ayat 5. Secara kumulatif itu semua menjadi dasar hisab untuk menentukan awal bulan dan tahun karena Allah sudah menentukan manzilah-manzilah.
Setiap bulan matahari dan bulan berada dalam posisi sejajar (ijtima’) dan itu menandai titik 0 derajat penghitungan awal bulan. Saat kriteria imkanur rukyat menggunakan umur bulan sebagai kriteria, secara tidak sadar mengakui bahwa bulan baru sudah berusia. Masalahnya adalah hadis Nabi menjadikan rukyat hilal sebagai penanda awal bulan, bukan ijtima’, meskipun ijtima’ itulah penanda alami pergantian bulan Hijriyah.
Muhammadiyah menjadikan ayat-ayat di atas sebagai i’tibar akan adanya tanda alam mengenai pergantian bulan hijriyah. Namun, Majelis Tarjih juga tidak ingin meninggalkan hadis Nabi Muhammad yang menjadikan hilal sebagai penanda awal bulan Hijriyah. Namun, Majelis Tarjih melihat adanya indikasi bahwa penggunaan rukyat itu terikat dengan hadis sahih, yaitu إنَّا أمَّة أمِّيَّة لا نكتب ولا نحسب (kami adalah umat yang ummi. Kami tidak menulis dan menghisab rembulan). Jadi rukyat dipakai karena umat Islam umumnya belum bisa menghisab. Alasan hukum dalam hadis ini manshushah, atau ditunjukkan langsung oleh Nash.
Kedua kriteria wujudul hilal mendasarkan diri kepada dalil perubahan hukum. Para ulama modern, seperti dalam Tafsir al-Manar, memandang adanya alasan bagi penggunaan rukyat, yaitu umumnya sahabat tidak bisa menggunakan hisab. Kaidah fikih mengatakan bahwa الحكم يدور مع العلة وجودا و عدما. Karena itu, Majelis Tarjih menyimpulkan bahwa hisab sejajar dengan rukyat, dan hisab bisa menggantikan rukyat karena hisab lebih bisa dipakai untuk mencari kepastian kalender.
Inilah yang dimaksud dengan qiyas aulawi oleh Yusuf al-Qardlawi. Jika rukyat yang derajatnya dzanni (kebenarannya antara 55-90%) dianjurkan, maka hisab yang derajatnya qath’i (kebenaran antara 90-99%) tentu lebih dianjurkan lagi meski tidak secara langsung atau mantuq ditunjuk oleh bunyi nash. Kriteria wujudul hilal adalah varian hisab yang mengharmonikan petunjuk hadis dengan petunjuk nash-nash Alquran.
Ketiga, penanda utama datangnya bulan baru Hijriyah adalah hilal di atas ufuk. Ide ini berasal dari berbagai hadis yang memerintahkan untuk melihat hilal untuk mengetahui bulan baru. Intinya, hilal adalah penanda awal bulan Hijriyah. Hanya saja, ketika ijtima’ menjadi tanda alami datangnya awal bulan, sesuai isyarat nash-nash Alquran, maka hilal itu dikaitkan dengan ijtima’. Ketika ijtima’ terjadi sebelum Maghrib, hilal pasti di atas ufuk atau sudah wujud, berapapun tingginya.
Ilmu hisab sekarang bisa mengetahui posisi rembulan dengan tepat dan bisa diverifikasi oleh ilmu pengetahuan sehingga kita tidak perlu melihat langsung posisi matahari untuk menyusun jadwal waktu shalat setiap harinya, demikian pula tidak perlu harus selalu mengintip hilal secara manual untuk mengetahui posisi bulan. Itulah anugerah sains bagi umat manusia.
Keempat, dengan adanya tiga pemahaman di atas, makna rukyat pun mengalami penafsiran ulang. Pengetahuan mengenai adanya hilal itu dasarnya sains dan ilmu hisab. Hilal tidak harus dimaknai sebagai hilal yang terlihat secara kasat mata (mar’i) melainkan bisa hilal yang dilihat dengan ilmu (Ilmi). Perubahan makna rukyat dari pengertian kasat mata menuju ilmu itu dimungkinkan karena adanya dalil-dalil di atas yang membuat makna ihtimal (makna lain yang dimungkinkan oleh teks) itu menjadi lebih kuat. Jadi, hadis tentang rukyah tetap dipakai esensinya bahwa penanda awal bulan Hijriyah adalah pengetahuan mengenai adanya hilal.
Jadi, argumentasi-argumentasi yang dipakai Majelis Tarjih dalam menyusun kriteria wujudul hilal itu sangat sharih dan logis. Bahwa hal itu tidak bisa diterima sebagian ahli, itu wajar saja. Sejak dahulu kala, ikhtilaf itu sudah menjadi fenomena umum dalam hukum Islam. Karena itu Qatadah mengatakan:
من لم يعرف الاختلاف لم يشم أنفه الفقه. Barangsiapa tidak mengetahui ikhtilaf, maka ia tidak mencium aroma fikih.
*Dosen UIN Walisongo, Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PWM Jawa Tengah
Editor : M Taufiq Ulinuha