Tidak Jadi Pimpinan Muhammadiyah Ora Patheken
Oleh : Achmad Hilal Madjdi*
PWMJATENG.COM – Tulisan (kritikan) Qosdus Sabil, Penasehat PRM Legoso Ciputat Timur tak hanya mengundang perhatian warga dan pimpinan Persyarikatan Muhammadiyah, tapi juga dari teman-teman sebelah. Berbagai narasi negatif menyertai atensi itu dalam diskusi terbuka melalui medsos maupun melalui jagong-jagong tatap muka sambil ngopi. Namun ada juga “positivis thinking” yang diapresiasikan.
Dalam konteks ruh gerakan yang dibangitkan Mbah Dahlan, kegalauan Qosdus memang lumayan menyesakkan dada jika paparan yang beliau sampaikan benar adanya. Sebab jelas bahwa ruh gerakan Muhammadiyah adalah memberi-berbagi-bertombok dengan orientasi membahagiakan dan menyejahterakan ummat, diawali dengan memberi makan, mendidik, menyehatkan dan membangun akhlak.
Cakupan kebahagiaan dan kesejahteraan itu kemudian berkembang menjadi membangun kemandirian ummat yang mampu mensejahterakan sesama. Itulah sebabnya Pimpinan Muhammadiyah ke depan diharapkan memiliki orientasi atau visi dan misi pemberdayaan ummat dengan berbagai kreativitas/ olah keprigelan mengembangkan sumber daya manusia dengan landasan “sudah selesai” dengan dirinya sendiri. Frasa “selesai dengan dirinya sendiri” tentu tak harus dimaknai kaya raya atau hidup berlebihan, tapi lebih pada dimilikinya pemahaman tentang keummatan secara komprehensif.
Tak Berpikir Menjadi Apa atau Dapat Apa
Kekuatan visi dan misi keummatan bagi aktivis Muhammadiyah dapat dilihat dari beberapa indikator sederhana. Yang pertama, bahwa ia tidak pernah mempersoalkan keputusan persyarikatan yang sudah final yang diambil berdasarkan atas ketetapan persyarikatan sebelumnya. Contoh sederhananya adalah tidak adanya kerisauan sama sekali atas misalnya keputusan tentang awal Ramadan, 1 Syawal dan lainnya. Kerisauan seorang pemimpin Muhammadiyah atas keputusan persyarikatan semacam ini menunjukkan “maqom” kemuhammadiyahannya (dan jujur itu masih ada).
Indikator ke dua adalah dapat dilihat dari apakah jargon pencerahan dan kemajuan tercermin dan terefleksikan dalam gerakan-gerakan yang dilakukan. Ketika ummat menghadapi “kebingungan” atas pergolakan pemikiran Islam atau atas munculnya fraksi-fraksi pemahaman kemuhammadiyahan misalnya, integritas seorang aktivis Muhammadiyah dapat dilihat dari posisi dan narasi yang disampaikan. Dalam etika berorganisasi, integritas seorang aktivis Muhammadiyah dapat dilihat dari apakah ia mengambil referensi pada produk-produk persyarikatan (HPT, MKCH, AD/ART, dll).
Yang ke tiga (dan sebenarnya masih banyak yang lain) dapat dicermati dari pola partisipasi yang dilakukan selama berhikmad di Muhammadiyah. Aktivis sejati sebenarnya tidak pernah berpikir menjadi apa di Muhammadiyah, tapi berbuat apa di Muhammadiyah. Ketika seorang aktivis berbuat apa di Muhammadiyah, maka “framework” nya adalah membangun ummat yang berkemajuan. Contoh yang sederhana adalah bagaimana mengemas profesionalisme, industrialisasi dan digitalisasi kehidupan dalam mengembangkan Muhammadiyah, yang memang dalam konteks kekinian, basis perhikmadan “lillaahi ta’ala” tidak boleh menjadi kontraproduktif dengan setidaknya tiga “framework” yang disebut di atas.
Tidak Patheken Tidak Menjadi Pimpinan
Menengok beberapa indikator di atas (dari banyak indikator lain yang tak sempat dipaparkan di sini), jawaban saya atas pertanyaan teman sebelah tentang peluang kepemimpinan di Muhammadiyah adalah “tidak patheken” bagi saya jika tidak menjadi pimpinan di Muhammadiyah.
Tidak patheken dalam diksi Bahasa Jawa dalah “ora patheken”, yang secara “lughowi” bermakna tidak mengalami sakit di kaki sehingga tetap bisa berjalan tegak lurus dan sigap serta tidak terpincang-pincang. Secara diskursus, “ora patheken” memiliki makna tidak sakit hati dan tidak menyisih, tidak melambat serta tidak berhenti. Artinya, jika tidak menjadi pimpinan, perhikmadan di Muhammadiyah tidak terganggu sama sekali.
Jika kemudian muncul sinyalemen tentang pola-pola kompromistis dan mengincar pos-pos tertentu, bisa saja itu memang karena ada perubahan paradigma atau budaya berorganisasi para aktivis, dan bisa saja itu merupakan bagian dari upaya atau strategi untuk mengeintegrasikan “framework” profesionalisme, industrialisasi dan digitalisasi dengan basis “lillahita’ala“. Wallahu a’lam bisshowab.
Editor : M Taufiq Ulinuha
*Ketua PDM Kabupaten Kudus, Wakil Rektor IV Universitas Muria Kudus