KH Tafsir : Teratai Muhammadiyah; Teruslah Mekar di “comberan”
PWMJATENG.COM, SEMARANG – Tanpa hendak berbangga diri, diseantero Tanah Air ini siapa yang tidak kenal Muhammadiyah. Bahkan Muhammadiyah juga menjadi sorotan mata kelapa publik dunia. Dalam kaitannya dengan dakwah, Muhammadiyah pun layak menyandang model khas dakwah yang berbeda dengan dakwah-dakwah lainnya. Sebut saja, istilah dakwah kultural selama ini sudah akrab dalam Muhammadiyah.
Agar dakwah Muhammadiyah lebih berefek pada kemaslahatan umat dan rahmatan lil’alamin, perlu ada reorientasi dakwah yang salah satunya mampu menembus batas-batas kesenjangan kelas sosial masyarakat. Yakni, menggiring dakwah Muhammadiyah untuk peduli pada kaum akar rumput. Harus diakui, selama ini Muhammadiyah belum begitu kentara kontribusinya terhadap wajah umat diranah akar rumput.
Belajar dari model dakwah ala Walisongo, mengapa tidak Muhammadiyah memetik pelajaran dibalik dakwah Walisongo. Jika Walisongo mampu diterima dan menembus akan rumput masyarakat Jawa, mengapa juru dakwah Muhammadiyah sangat sulit melakukannya. Pastilah ada yang tidak klop antara paham agama yang ditawarkan dengan keinginan mayoritas masyarakat.
Tidak elitis
Misi purifikasi tidak bisa dilepaskan dari wajah Muhammadiyah; kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah. Dalam batas-batas tertentu akan terjadi semacam perbedaan selera dan karakter spiritualitas kaum awam yang merupakan gejala keberagamaan masa akar rumput. Apalagi jika yang dimaksud purifikasi adalah tekstualisasi. Bisa dipastikan tak ada budaya Jawa yang tercantum secara tekstual dalam al-Qur’an dan Sunnah yang muncul di Arab. Lebih parah lagi kita dengan mudah memvonis segala tradisi atau budaya yang secara tekstual tidak terdapat dalam keduanya dianggap bid’ah. Maka, semakin sulitlah bagi Muhammadiyah untuk menembus masa akar rumput.
Menjembatani problem kontradiksi antara purifikasi dan budaya lokal jawa, dalam Muhammadiyah dikenal formulasi dakwah kultural. Sebenearnya, dakwah Kultural yang telah dirumuskan Muhammadiyah dapat menjadi pegangan dalam melayani spiritualitas kaum awam. Bagi saya, takhayul bid’ah dan khurofat atau yang dikenal TBS, selama memberi dakwah negatif bagi kemajuan masyarakat, tentu harus diberantas. Itu artinya, semangat dibalik TBS tidak selalu destruktif dan negatif. Ada sisi-sisi kebermanfaatan dan kemaslahatan yang bisa disari dari praktik-praktik TBC.
Harus dipahami bahwa dakwah adalah aktivitas yang selalu berproses sebagaimana masyarakat yang selalu berproses. Dan harus dipahami juga berapa banyak tradisi Arab pra-Islam yang kemudian diadopsi dan dilegitimasi oleh al-Qur’an dan Sunnah menjadi ajaran Islam. Sebab tidak semua tradisi Arab pra-Islam mengandung TBC.
Disinilah urgensi dakwah Muhammadiyah untuk keluar dari ”jeruji” elitisme dan eksklusif. Yakni, dengan jalan memasifkan pendirian masjid atau musholla. Dominan adanya, basis massa Muhammadiyah selama ini hanya ada di Kampus-kampus, sekolah, rumah sakit, dan panti asuhan. Padahal, media ini lebih tepat dimaknai sebagai lembaga pelayanan ketimbang membangun basis massa. Tak mengherankan jika sedemikian banyak jumlah anak didik, pasien dan anak asuh tetapi hanya dalam jumlah kecil di antara mereka yang menjadi anggota atau simpatisan Muhammadiyah. Mereka sekolah di Muhammadiyah dengan motivasi hanya sebatas ingin belajar, bukan untuk menjadi keder Muhammadiyah.
Oleh karena itu, media strategis dalam membina akar rumput adalah melayani kebutuhan spiritualitas kaum awam melalui masjid atau mushalla. Masjid benar-benar harus menjadi pelayan yang baik terhadap masyarakat mulai dari ibadah sampai pelayanan sosial. Dalam mengurai fungsi masjid, bukan lagi rahasia umum bahwa masjid Muhammadiyah bisa dibilang kurnag maksimal dan tidak mampu memberi pelayanan kepada masyarakat. Salah satu sebabnya adalah peran-peran sumber daya manusia (SDM) yang jauh dari memadai.
Sebut saja; imam, khatib, guru ngaji, muadzin adalah sebagian dari SDM yang harus ada dalam masjid. Keadaan yang hampir merata di masjid Muhammadiyah adalah tidak jelas siapa imamnya dan , maaf, muadzin yang suaranya tidak mengenakan telinga. Maka umat sekitar menjadi tidak mantap ketika akan berjama’ah sebab imam masjid hanya ditunjuk sekenanya dan kadang spontan siapa di antara jama’ah yang mau jadi imam.
Jika pola demikian terus langgeng, lantas bagaimana mungkin komunitas akan terbentuk. Umat akan merasa tidak terlayani oleh masjid milik Muhammadiyah. Bagi masyarakat awam tertentu, bisa makmum dan mengucap amin kadang sudah merupakan kepuasan spiritual tersendiri. Tapi yang minimal seperti ini saja masjid Muhammadiyah sudah tidak mampu melayani. Tidak mengherankan jika kemudian masjid Muhammadiyah diambil alih orang lain.
Liberasi Al-Ma’un
Harus diakui, kaum modernis, termasuk Muhammadiyah belum mampu menciptakan media kultural keberagamaan yang mengakar di masyarakat sebagaimana yang diciptakan kaum tradisionalis. Oleh karena itu diperlukan nedia dakwah yang semakin variatif untuk lebih bisa menembus seluruh lini kehidupan.
Sentuhan Muhammadiyah terhadap kaum marginal telah terekspresikan salah satunya melalui penyantunan terhadap anak yatim melalui lembaga yang bernama PKO (Penolong Kesengsaraan Oemoem). Yakni, sebuah lembaga yang berdiri tahun 1918 untuk menolong para korban meletusnya gunung Kelud. Tahun 1921 lembaga ini menjadi bagian dari Muhammadiyah yang tidak hanya menangani bencana alam tetapi juga anak yatim (Deliar Noer, 1996 : 90).
Dalam perkembangannya, penyantunan anak yatim menjadi lebih dominan dibandingkan penanganan kesengsaraan yang lain. Hal ini bisa jadi karena dalam al-Qur;an maupun Hadits kata yatim paling banyak muncul dalam al-Qur’an bahkan menjadi salah satu nama suratnya, yakni al-Ma’un. Dari sini pula populer istilah Teologi al-Ma’un di Muhammadiyah.
Kini komunitas umat yang bisa kita kategorikan sebagai kaum dlu’afa atau marginal tak lagi sebatas anak yatim, tetapi telah sedemikian luas dan beragam. Sebab banyak komunitas sengsara yang kini mendesak menunggu sentuhan tangan lembut Muhammadiyah. Anak jalanan, pengamen, kaum waria, PSK, narapidana, korban narkoba, adalah sebagian dari mereka yang belum sepenuhnya disentuh oleh dakwah Muhammadiyah. Mereka adalah ”orang-orang sakit” yang memerlukan pertolongan untuk sembuh terbebas dari keterpinggirannya. Mereka tetaplah manusia yang berhak masuk sorga dan Muhammadiyah pasti mampu membawanya dari kegelapan menuju cahaya ilahi.
*Tulisan ini telah terbit dalam buku “Jalan Lain Muhamamdiyah” Penerbit Al Wasath cetakan tahun 2011 dan sudah mendapat ijin dari penulis KH Tafsir – Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah