Relatifitas dalam Perspektif Islam

PWMJATENG.COM – Dalam kehidupan manusia, banyak hal yang berjalan secara relatif. Relatifitas muncul ketika sesuatu dipahami tidak secara mutlak, melainkan bergantung pada kondisi, ruang, waktu, serta sudut pandang. Misalnya, panjang dan pendek, kaya dan miskin, bahkan bahagia dan sengsara. Konsep relatifitas ini bukan hanya dikenal dalam ilmu pengetahuan modern, tetapi juga dibahas dalam perspektif Islam yang memiliki panduan universal dan abadi.
Islam menegaskan bahwa dalam urusan pokok akidah dan ibadah mahdah, tidak ada relativitas. Prinsip tauhid, kewajiban salat, zakat, puasa, dan haji bersifat mutlak. Namun, dalam ranah muamalah, sosial, budaya, bahkan sebagian aspek hukum, terdapat kelenturan atau fleksibilitas yang memungkinkan relativitas dipertimbangkan. Hal ini menunjukkan keseimbangan antara prinsip mutlak dan relatif dalam ajaran Islam.
Relatifitas dan Keadilan
Al-Qur’an menegaskan bahwa keadilan adalah prinsip universal yang tidak bisa ditawar. Allah berfirman:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan.” (QS. An-Nahl: 90)
Namun, penerapan keadilan dalam kehidupan sosial bisa bersifat relatif. Adil bagi seorang hakim berarti memutuskan sesuai hukum, adil bagi seorang ayah berarti menafkahi keluarganya dengan seimbang, sementara adil bagi seorang guru berarti memberikan penilaian berdasarkan kemampuan murid. Nilai keadilan itu tetap mutlak, tetapi cara penerapannya dapat berbeda sesuai ruang lingkup.
Relatifitas dalam Perbedaan Pendapat
Dalam Islam, perbedaan pendapat ulama juga menjadi contoh nyata relatifitas. Imam Syafi’i pernah berkata, “Pendapatku benar tapi mengandung kemungkinan salah, dan pendapat orang lain salah tetapi mengandung kemungkinan benar.” Sikap ini menunjukkan bahwa manusia terbatas dalam memahami wahyu, sehingga ruang ijtihad terbuka.
Al-Qur’an juga mengisyaratkan bahwa perbedaan adalah bagian dari sunnatullah:
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ
“Sekiranya Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih.” (QS. Hud: 118)
Baca juga, Integrasi Media: Kunci Sukses Reputasi Digital Organisasi
Perbedaan inilah yang membuat hukum-hukum cabang dalam Islam memiliki variasi, sehingga umat dapat menyesuaikan diri dengan kondisi zaman dan tempat.
Relatifitas dalam Kehidupan Dunia
Islam juga menekankan bahwa kenikmatan dan kesengsaraan dunia bersifat relatif. Orang yang merasa cukup dengan rezeki sederhana bisa lebih bahagia daripada orang kaya yang gelisah. Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ
“Kekayaan bukanlah karena banyaknya harta benda, tetapi kekayaan adalah kaya hati.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menegaskan bahwa ukuran kebahagiaan bukanlah materi, melainkan ketenangan jiwa. Pandangan manusia tentang kaya dan miskin sangat relatif, tetapi Islam memberikan ukuran yang lebih hakiki.
Relatifitas dan Nilai Waktu
Konsep waktu dalam Islam juga mengandung dimensi relatif. Allah bersumpah demi waktu dalam Al-Qur’an:
وَالْعَصْرِ إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ
“Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar dalam kerugian.” (QS. Al-‘Asr: 1–2)
Bagi manusia, sehari terdiri dari 24 jam. Namun, dalam pandangan Allah, waktu jauh lebih luas. Allah berfirman:
وَإِنَّ يَوْمًا عِندَ رَبِّكَ كَأَلْفِ سَنَةٍ مِمَّا تَعُدُّونَ
“Sesungguhnya sehari di sisi Tuhanmu adalah seperti seribu tahun menurut perhitunganmu.” (QS. Al-Hajj: 47)
Ayat ini menunjukkan betapa relatifnya waktu bagi manusia dibandingkan dengan ketetapan Allah yang absolut.
Ikhtisar
Relatifitas dalam perspektif Islam mengajarkan keseimbangan. Ada hal-hal yang bersifat mutlak, terutama terkait akidah dan ibadah pokok. Namun, terdapat pula ruang relatif yang memberi keluwesan dalam muamalah, budaya, dan kehidupan sosial. Dengan memahami relativitas ini, umat Islam mampu bersikap bijak, menghargai perbedaan, dan menyesuaikan diri dengan dinamika zaman tanpa kehilangan prinsip dasar yang tetap abadi.
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha