Muhammadiyah, Wahabi, dan Pentingnya Literasi dalam Memahami Gerakan Islam

PWMJATENG.COM – Perdebatan mengenai hubungan Muhammadiyah dengan Wahabi kerap muncul di tengah masyarakat. Tidak jarang, muncul tuduhan bahwa Muhammadiyah adalah gerakan Wahabi dengan wajah berbeda. Pandangan ini disampaikan secara kritis oleh Jumari, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah, dalam sebuah ceramahnya. Ia menegaskan, ada irisan dalam ajaran antarorganisasi Islam, namun tidak serta-merta membuat mereka identik.
Menurutnya, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), maupun Wahabi sama-sama melaksanakan salat lima waktu. Kesamaan ini tidak bisa dijadikan ukuran bahwa mereka sama dalam keseluruhan ajaran. “Kesamaan dalam hal tertentu itu bukan berarti sama, bukan berarti identik. Masing-masing gerakan itu memiliki perbedaan,” ujarnya dalam ceramah tersebut.
Jumari mengingatkan masyarakat agar tidak menilai organisasi Islam hanya dari narasi orang per orang atau perilaku individu yang mengatasnamakan Muhammadiyah. Ia menekankan, pemahaman yang benar harus bersumber dari dokumen resmi organisasi. “Kalau ingin memahami Muhammadiyah, bacalah Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, Kepribadian Muhammadiyah, Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah, serta Risalah Islam Berkemajuan,” jelasnya.
Tuduhan Tendensius dan Sikap Muhammadiyah
Tuduhan yang menyebut Muhammadiyah sebagai Wahabi menurut Jumari hanyalah sikap tendensius. Ia menegaskan bahwa tuduhan seperti ini tidak perlu ditanggapi secara emosional. Muhammadiyah lebih memilih membuktikan jati dirinya melalui karya nyata. “Bagi Muhammadiyah, menjawab tuduhan bukan dengan kata-kata, melainkan dengan amal usaha dan kontribusi nyata bagi umat,” katanya.
Ia juga mengingatkan agar masyarakat tidak melihat organisasi atau individu lain dengan dasar kebencian. Jika kebencian menjadi landasan, maka kebaikan sekecil apa pun tidak akan terlihat. Pandangan ini sejalan dengan prinsip Islam agar menilai sesuatu secara objektif dan adil. Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا۟ ۚ اِعْدِلُوا۟ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ
“Janganlah kebencian suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” (QS. Al-Maidah: 8)
Dengan merujuk pada ayat tersebut, Jumari menegaskan bahwa tuduhan yang lahir dari kebencian dan kedengkian tidak akan membawa manfaat, baik bagi penuduh maupun bagi umat secara keseluruhan.
Dakwah Muhammadiyah: Amar Makruf Nahi Mungkar
Jumari kemudian menguraikan identitas Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang berfokus pada dakwah amar makruf nahi mungkar. Dakwah ini ditujukan kepada dua kelompok, yaitu umat ijabah (umat yang sudah beragama Islam) dan umat dakwah (mereka yang belum beragama Islam).
Kepada umat ijabah, dakwah Muhammadiyah diwujudkan dengan pendekatan tajdid atau pembaruan. Menurutnya, tajdid dalam Muhammadiyah mencakup dua aspek: purifikasi (pemurnian) dan dinamisasi (pengembangan).
Baca juga, Bermuhammadiyah: Jalan Takwa, Syukur, dan Menjadi Kekasih Allah
Purifikasi berarti mengembalikan ajaran kepada sumber asli, yakni Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad Saw. Dalam urusan akidah dan ibadah, Muhammadiyah menekankan pemurnian tanpa ruang kreativitas. Hal ini didasarkan pada prinsip bahwa dalam aspek akidah dan ibadah tidak boleh ada penambahan maupun pengurangan dari apa yang dicontohkan Rasulullah. Sebagaimana hadis Nabi:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa mengada-adakan sesuatu dalam urusan kami ini yang bukan darinya, maka ia tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sementara itu, dinamisasi berlaku untuk bidang muamalah duniawiyah. Pada ranah ini, Muhammadiyah memberikan ruang luas bagi kreativitas, akal, dan inovasi. Karena kehidupan manusia bersifat dinamis, maka diperlukan adaptasi terhadap perkembangan zaman. Oleh karena itu, tidak dikenal istilah bid’ah dalam urusan muamalah duniawiyah.
Dakwah kepada Umat Dakwah
Untuk kelompok yang belum memeluk Islam, Muhammadiyah menekankan pentingnya menampilkan Islam sebagai agama yang indah dan memikat. Pendekatan yang dilakukan bukan dengan paksaan, melainkan melalui teladan akhlak. “Tampilan orang Islam harus menggembirakan dengan dua kata kunci: wajah ceria dan akhlak mulia,” tutur Jumari.
Pesan ini selaras dengan sabda Rasulullah Saw.:
إِنَّكُمْ لَنْ تَسَعُوا النَّاسَ بِأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَسَعُهُمْ مِنْكُمْ بَسْطُ الْوَجْهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ
“Sesungguhnya kalian tidak akan bisa mencakup manusia dengan harta kalian, tetapi kalian bisa mencakup mereka dengan wajah ceria dan akhlak mulia.” (HR. Al-Bazzar)
Dengan strategi ini, Muhammadiyah berupaya menjadikan dakwah sebagai jalan untuk menarik simpati, bukan menimbulkan resistensi.
Menegaskan Identitas Muhammadiyah
Jumari menegaskan bahwa memahami Muhammadiyah harus didasarkan pada literasi, bukan sekadar narasi liar. Dalam Kepribadian Muhammadiyah, bahkan disebutkan sepuluh sifat yang menjadi ciri khas gerakan ini, mulai dari menjunjung tinggi ajaran Islam murni, menegakkan amar makruf nahi mungkar, hingga berperan aktif dalam membangun kehidupan bermasyarakat.
Oleh karena itu, jika terdapat kesamaan antara Muhammadiyah dan Wahabi dalam aspek tertentu, hal itu hanya sebatas irisan, bukan identitas. Menyebut Muhammadiyah sebagai Wahabi hanyalah tuduhan tidak berdasar. “Tuduhan tendensius tidak perlu ditanggapi secara serius. Yang lebih penting adalah karya nyata Muhammadiyah bagi umat dan bangsa,” pungkas Jumari.
Kontributor : Septiana Bunga R
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha