
PWMJATENG.COM, Semarang – Dalam Kajian Ramadan 1446 H dan Dialog Ideopolitor PWM Jawa Tengah, Wakil Ketua PWM Jawa Tengah, Ahmad Hasan Asy’ari Ulamai, menyoroti pemahaman sempit tentang moderasi Islam. Ia menyatakan bahwa konsep moderasi sering disalahartikan sebagai upaya mengadopsi nilai-nilai demokrasi Barat yang liberal dan sekular. Akibatnya, moderasi Islam kerap dianggap sebagai proyek liberalisasi yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Di sisi lain, moderasi Islam juga sering dikaitkan dengan program deradikalisasi untuk melawan paham ekstremisme. Dalam konteks ini, moderasi dipahami sebagai upaya menjaga keseimbangan dalam masyarakat yang plural. Moderasi Islam menjadi solusi bagi kelompok-kelompok ekstrem yang cenderung eksklusif dan menolak keberagaman.
Konsep moderasi Islam telah dijelaskan dalam Al-Qur’an. Salah satu ayat yang menjadi landasan adalah firman Allah dalam Surah Al-An‘ām ayat 161:
“Katakanlah (Wahai Muhammad), ‘Sesungguhnya Tuhanku telah membimbingku ke jalan yang lurus, agama yang benar, agama Ibrahim yang lurus, dan dia (Ibrahim) tidak termasuk orang-orang musyrik.'” (QS. Al-An‘ām: 161)
Selain itu, dalam Surah Al-Baqarah ayat 143, Allah menjelaskan bahwa umat Islam adalah umat yang adil dan terpilih:
“Dan demikianlah Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) sebagai umat yang wasath (moderat) agar kamu menjadi saksi atas manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas kamu.” (QS. Al-Baqarah: 143)
Para ulama juga telah membahas konsep moderasi Islam dalam berbagai karya mereka. At-Thabari menegaskan bahwa umat Islam berada di tengah-tengah dalam urusan agama, tidak ekstrem seperti kaum Nasrani yang menjauhi dunia dengan kehidupan rahib, maupun seperti Yahudi yang terlalu materialistis.
Baca juga, Indahnya Berbuka dengan Sederhana dan Penuh Syukur
Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumiddin menjelaskan bahwa sikap zuhud sahabat Nabi tidak berarti menolak dunia, tetapi menjadikannya sebagai sarana untuk meraih kebahagiaan akhirat. Senada dengan itu, Al-Qurthubi menegaskan bahwa umat Islam adalah umat yang berkeadilan dan moderat, sesuai dengan kehendak Allah.
Ibnu Taimiyah menambahkan bahwa Islam adalah agama yang berada di antara dua kutub ekstrem, baik dalam aspek kebersihan, halal dan haram, maupun moralitas. Ia menekankan bahwa musuh-musuh Allah sering kali menjadikan agama ini ekstrem, sementara para wali Allah mengajarkan Islam dengan penuh kasih sayang.
As-Syatibi dalam Al-Muwafaqat menegaskan bahwa syariat Islam selalu berada di jalan pertengahan yang paling adil. Penetapan hukum syariah harus mengikuti prinsip moderasi, menghindari kecenderungan ke arah ekstrem kanan atau kiri.
Muhammad Rasyid Ridha dalam tafsirnya terhadap QS. Al-Baqarah: 143 mengkritik kaum sufi yang terlalu fokus pada penyucian rohani sehingga melupakan pembangunan fisik dan teknologi. Muhammad Abu Zahrah menjelaskan bahwa Islam adalah agama pertengahan yang tidak ekstrem dalam mengagungkan para Nabi seperti Nasrani, tetapi juga tidak mengabaikan mereka seperti Yahudi.
Yusuf Al-Qardhawi dalam Fiqh Al-Washathiyah wa Al-Tajdid menegaskan bahwa moderasi Islam bukanlah pemikiran baru, melainkan bagian dari inti ajaran Islam itu sendiri.
Dengan berbagai pendapat ulama dan landasan dari Al-Qur’an, moderasi Islam dapat dipahami sebagai keseimbangan dalam menjalankan ajaran agama. Islam tidak mengajarkan ekstremisme, baik dalam bentuk radikalisme maupun liberalisme yang kebablasan. Sebaliknya, Islam mengajarkan keseimbangan yang mencerminkan keadilan dan kebijaksanaan. Inilah jalan yang harus ditempuh oleh umat Islam dalam menghadapi tantangan zaman dan menjaga keharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat.
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha