Berita

Model Pesantren Muhammadiyah dan Tantangan Kaderisasi Ulama

PWMJATENG.COM, Surakarta – Pondok Pesantren Tradisional pada umumnya memiliki ciri khas yang menjadi pembeda dengan pondok modern, misalnya kitab yang diajarkan turun temurun dan mampu membangun paham agama di lingkungannya. Dibandingkan dengan Pesantren Muhammadiyah pelajaran Al-Quran dan Hadis yang diberikan kepada siswa Madrasah Tsanawiyah (MTs) selama 3.

“Berbeda dengan pondok tradisional hanya pulang membawa safinah (safinatun najah) sudah cukup membangun paham agama. Pertanyaannya Pondok Muhammadiyah pakai kitab apa?” Ungkap Dr. Tafsir, M. Ag., Ketua PWM Jateng saat mengisi materi Rakornas Lembaga Pengembangan Pesantren (LPP) PP Muhammadiyah pada Jumat (1/9) di Ruang Meeting Gedung Edutorium K.H. Ahmad Dahlan Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS).

Model Pondok Pesantren Muhammadiyah

Menurutnya, perlu dirumuskan ciri khas santri Muhammadiyah. Yang kemudian menjadi pertanyaan, santri Muhammadiyah pulang membawa apa? Harapannya, para santri mampu membangun paham agama di sekitarnya dengan standar kitab yang simpel dan sederhana.

“Apa kemudian tarjih dipersingkat dari Kitab Taharah sampai Kitab Jihad misalnya,” imbuhnya.

Kiai Tafsir menambahkan, memang tidak mudah dalam mencari bentuk Pondok Pesantren Muhammadiyah. Selain karena Pondok Pesantren Muhammadiyah adalah milik Persyarikatan bukan perorangan. Namun tantangan yang dihadapi pun dibutuhkan waktu yang panjang untuk menentukan bentuk Pondok Pesantren Muhammadiyah dalam merumuskan model Pondok Pesantren Muhammadiyah.

“Bisa jadi ada perbedaan antara satu pondok dengan pondok yang lain, tapi pada waktunya kita akan menemukan bentuk yang ideal untuk pesantren Muhammadiyah,” tegas Tafsir.

Baca juga, Jadi Tuan Rumah Rakernas LPCRPM, UMP Deklarasikan Beasiswa Dokter untuk Kader Cabang dan Ranting

Selain itu, kemasan dakwah Muhammadiyah yang puritan harus tetap kultural, karna tanpa dukungan kultur maka dakwah akan sulit, Di satu pihak Al-Quran dan Sunah sebagai landasan, tapi di sisi lain apresiasi terhadap budaya sebagai suatu kreatifitas.

Pada gelaran Muktamar ke-48 Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah, Dr. Tafsir, M. Ag., menjelaskan maksud dari pameran keris Muhammadiyah yaitu sebagai bentuk apresiasi terhadap budaya.

“Yang haram bukan kerisnya tapi sakralisasinya, kalau kemudian kita menghilangkan desakralisasi disertai penghilangan keris itu namanya dakwah yang tak berbudaya,” jelasnya.

Purifikasi Tanpa Desakralisasi

Dalam Muhammadiyah, purifikasi adalah gerakan pembaruan untuk memurnikan agama dari syirik yang pada dasarnya merupakan rasionalisasi yang berhubungan dengan ide mengenai transformasi sosial dari masyarakat agraris ke masyarakat industrial, atau masyarakat tradisional ke masyarakat modern.

Purifikasi merupakan desakralisasi yang berkaitan dengan budaya. Saat menjadi pemateri pada Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Dr. KH. Tafsir, M. Ag. Bercerita bagaimana menerapkan desakralisasi pada peringatan sedekah laut pada masyarakat nelayan di Cilacap. Ngelarung kepala kerbau merupakan tradisi masyarakat pesisir sehingga untuk menjalankan tauhid tanpa melawan budaya, maka perlu kita luruskan niat desakralisasi tanpa menghilangkan budayanya.

“Kita niatkan buang kepala kerbau bukan untuk penunggu laut tapi untuk makan ikan,” pungkasnya.

Penulis: Mukhlis
Editor : M Taufiq Ulinuha

Muhammadiyah Jawa Tengah

Muhammadiyah Jawa Tengah adalah gerakan Islam yang mempunyai maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam Jawa Tengah yang sebenar-benarnya

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE