Modal Rohani dan Jasmani Umat Islam dalam Pandangan Ketua PWM Jateng Tafsir

PWMJATENG.COM – Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah, Tafsir, dalam sebuah tausiyah, menegaskan bahwa kekuatan umat Islam tidak hanya bertumpu pada aspek spiritual, tetapi juga harus disertai kemampuan jasmani dan intelektual. Ia menyebutkan, “Ashumul Islam tsalatsatun” — saham atau modal Islam itu ada tiga: salat, puasa, dan zakat.
Menurutnya, dua yang pertama—salat dan puasa—merupakan saham rohani, sementara zakat adalah saham jasmani. Ketiganya menjadi modal dasar bagi umat Islam dalam menghadapi tantangan, termasuk peperangan dan kompetisi global. “Kalau ingin berperang, harus punya tiga modal itu: salat, puasa, dan zakat,” ujarnya.
Tafsir menekankan, modal rohani saja tidak cukup. Dalam konteks geopolitik, ia mencontohkan agresi Israel terhadap Palestina. “Kalau hanya rohaniah saja, dibom Israel tidak bisa balas. Masak rudal dibalas dengan hafalan Qur’an?” katanya. Ia mengingatkan bahwa menghafal Al-Qur’an adalah amal mulia, tetapi umat juga perlu menguasai ilmu pengetahuan seperti kimia dan fisika untuk membangun teknologi pertahanan.
Keseimbangan dalam Pendidikan Umat
Dalam pandangannya, dunia Islam membutuhkan pembagian peran yang proporsional. Ada yang menghafal Al-Qur’an, ada yang mendalami ilmu nahwu dan sharaf, ada pula yang menguasai ilmu sains dan teknologi. “Tidak ada yang seragam, semua sesuai kebutuhan umat,” tegasnya.
Bahkan, ia menilai menghafal kaidah nahwu-sharaf bahasa Arab lebih sulit dibanding menghafal Al-Qur’an, karena aturannya tidak selalu konsisten. Ia mengaitkan hal ini dengan pengalaman jamaah haji yang kerap menghadapi ketidakteraturan administrasi di Arab Saudi. “Itulah kultur Arab. Jangan berharap semua berjalan mulus,” ujarnya.
Salat: Modal Rohani Utama
Tafsir menguraikan, salat memiliki fungsi tanha ‘anil fahsya’i wal munkar (mencegah perbuatan keji dan mungkar) serta menjadi sarana memohon pertolongan Allah. Ia mengutip firman Allah dalam Al-Qur’an:
وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ ۚ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِينَ
“Mintalah pertolongan dengan sabar dan salat, dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyuk” (QS. Al-Baqarah [2]: 45).
Menurutnya, banyak orang tidak memahami bahwa salat adalah alat untuk meminta. “Tidak perlu memikirkan nama salatnya, karena semua nama salat adalah istilah yang diformalkan ulama untuk memudahkan fikih,” jelasnya.
Baca juga, Kesabaran Tanpa Batas: Pelajaran Dakwah dari Surat Nuh
Ia juga meluruskan pemahaman umum tentang salat tepat waktu (ash-shalātu ‘alā waqtihā). Tepat waktu bukan berarti selalu di awal waktu, tetapi sesuai rentang waktunya. Misalnya, salat Zuhur bisa dilakukan hingga bayangan lebih panjang dari benda. “Jadi, jangan kaget kalau di Temanggung azan Asar jam lima sore, karena mereka baru pulang dari sawah. Itu masih tepat waktu,” ujarnya.
Larangan Waktu Salat dan Fleksibilitas Ibadah
Tafsir mengingatkan adanya tiga waktu yang dilarang untuk salat sunah, yaitu ketika matahari tepat di tengah, setelah salat Subuh hingga terbit matahari, dan setelah salat Asar hingga matahari terbenam. Hal ini sesuai firman Allah:
أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ
“Dirikanlah salat ketika matahari tergelincir” (QS. Al-Isra [17]: 78).
Selain itu, ia menjelaskan bahwa di Makkah tidak ada waktu haram untuk salat, tetapi di luar Makkah dan Madinah ketentuan ini berlaku. Salat sunah bisa dilakukan sebanyak mungkin, asalkan tidak di waktu terlarang.
Qada Salat: Aspek Fikih dan Psikologis
Dalam pandangan Muhammadiyah, tidak ada qada salat karena waktu ibadah tidak bisa diulang. “Kalau hilang, ya sudah, salah sendiri,” katanya. Namun, sebagian ulama membolehkan qada untuk menghilangkan beban psikologis merasa berutang kepada Allah. “Sebenarnya di daftar Allah sudah expired, malaikat pun tidak mencatat lagi,” tambahnya.
Puasa: Penyucian Jasmani dan Rohani
Berbicara tentang puasa, Tafsir menegaskan bahwa ibadah ini adalah sarana penyucian diri, baik secara fisik maupun rohani. Wudu membersihkan tubuh secara lahiriah, sementara niat ikhlas memurnikan hati. Saat takbiratul ihram, semua hal duniawi menjadi haram dilakukan hingga salat selesai. “Tidak boleh menjawab telepon, bahkan panggilan orang pun tidak boleh dijawab,” jelasnya.
Makna Tahajud dan Perubahan Istilah Ibadah
Tafsir juga membedakan salat tahajud dan salat hajat. Menurut makna aslinya, tahajud adalah salat yang dilakukan setelah tidur. “Kalau dari sore belum tidur lalu salat, itu bukan tahajud,” tegasnya. Di Indonesia, makna tahajud bergeser menjadi salat untuk memenuhi keinginan (hajat). Ia mengingatkan bahwa perubahan makna juga terjadi pada istilah “musala” dan “masjid” yang berbeda fungsi dalam konteks lokal.
Keseimbangan Ibadah dan Kehidupan
Menutup tausiyahnya, Tafsir menekankan bahwa umat Islam harus menjaga komunikasi dengan Allah setiap waktu. Salat menjadi penghubung antara hamba dan Pencipta, sementara ilmu pengetahuan dan kemampuan fisik menjadi bekal menghadapi tantangan dunia. “Kita tidak boleh hanya kuat di rohani, tetapi juga harus kuat di jasmani dan ilmu,” pesannya.
Ia kembali mengingatkan, modal umat untuk bersaing dan bertahan adalah tiga: salat, puasa, dan zakat. Ketiganya harus dijalankan dengan seimbang, agar umat Islam mampu menjalani kehidupan secara utuh, berdaya saing, dan tetap dalam ridha Allah.
Kontributor : Khairun Nisa
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha