Membentengi Kader IMM dan Muhammadiyah dari Islamofobia
PWMJATENG.COM – Isu tentang Islamofobia kembali mencuat setelah banyaknya ungkapan atau stigma buruk atas geliat kebangkitan umat. Komunitas masyarakat sipil bahkan para punggawa rezim dengan sewenang-wenang menyebut fenomena hijrah, kemauan mempelajari bahasa Arab misalnya, sebagai pintu masuk terorisme. Sebagaimana yang disampaikan pengamat Intelijen Susaningtyas Nefo Kertopati yang menuding bahasa Arab sebagai ciri teroris. (dilansir di progam Crosscheck yang disiarkan di akun YouTube)
Muhammadiyah, melalui Prof. Dr. KH. Dadang Kahmad, angkat bicara terhadap apa yang disampaikan pengamat Intelijen tersebut. “Adanya pernyataan seperti itu sangat disayangkan, pernyataan yang berbahaya jika Bahasa Arab dikaitkan dengan terorisme. Itu bagian dari Islamofobia,” kata Prof Dadang, dikutip dari Republika.co.id
Islamofobia merupakan ketakutan akan segala sesuatu yang berhubungan dengan Islam. Menurut Rowan Wolf, Islamofobia merupakan bentuk prasangka dan permusuhan yang ditujukan pada umat Islam yang secara umum digeneralisasi oleh kebanyakan bangsa barat kepada bangsa Arab. Jadi dalam konteks stratifikasi sosial, Islamofobia menurut Wolf masuk kepada sifat rasial, karena ketakutan dan kebencian akan Islam ini mengacu pada diskriminasi terhadap orang-orang Islam, baik dalam bidang sosial, ekonomi, dan kehidupan bermasyarakat.
Pada tahun 2011, diadakan pertemuan antara United Nations Alliance Of Civilizations (UNAC) dan Liga Arab, dalam pertemuan tersebut Islamofobia diidentifikasi sebagai bidang perhatian penting. Hal ini dikarenakan dampak buruk dari Islamofobia mulai sangat terasa, terutama bagi masyarakat Muslim yang berada di negara-negara Barat termasuk Amerika Serikat.
Sampai sekarang, terdapat beberapa kelompok Anti-Islam yang mensosialisasikan ketidaksukaannya terhadap Muslim terutama terhadap komunitas dan organisasi Islam di media. Beberapa diantaranya yaitu Robert Spencer dalam situsnya Jihadwatch, dan situs Pamella Geller. Kedua orang ini aktif dalam menyampaikan pendapat-pendapatnya terhadap Islam.
Baca juga, Sukses Memimpin ala Muqaddimah Ibnu Khaldun Al Hadrami
Publikasi kebencian terhadap Islam yang berupa propaganda pemahaman yang salah terhadap nilai-nilai Islam melalui media-media tersebut tentu akan menambah jumlah individu yang berpotensi terjangkit islamofobia. Oleh karenanya diperlukan counter informasi terhadap hal tersebut. Peran-peran aktif masyarakat Muslim di berbagai media sebagai orang yang memiliki pengetahuan akan kebenaran Islam tentu sangat dibutuhkan.
Di Amerika bagian utara, ada sebuah komunitas muslim yang sangat aktif dalam peran-perannya terhadap pemberantasan Islamofobia. Islamic Circle Of North America (ICNA) merupakan salah satu organisasi komunitas Muslim terbesar di Amerika. Salah satu fokus kerja ICNA yaitu membangun hubungan baik antara umat Islam dan masyarakat umum serta penyampaian pemahaman yang benar tentang ajaran Islam.
Di Indonesia sendiri, negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam, yaitu 87,2% penduduknya beragama Islam (indonesia.go.id, 2017), tidak lantas menjadikan Indonesia aman akan dampak dari Islamofobia. Keberadaan Islamofobia di Indonesia dikhawatirkan akan mengganggu stabilitas dan keamanan negara baik dalam bidang politik, sosial, ekonomi, dan lainnya.
Stigma buruk terhadap Islam biasanya muncul karena peristiwa atau aksi-aksi teror yang sering dilakukan oleh kelompok/individu yang mengatasnamakan Islam. Merujuk pada Global Terrorism Database, di Indonesia telah terjadi sekitar 421 tindak terorisme dalam kurun waktu dari tahun 1970-2007. Dari banyaknya tindak teror tersebut, media masa dengan gencar memframing tindakan tersebut dan secara tidak langsung menyudutkan Islam.
Baca juga, Sambut Muktamar ke 48, FAI UMP Gelar Seminar Bertajuk Moderasi Beragama dalam Pespektif Dakwah
Setiap pasca insiden terorisme, pihak yang paling disibukkan seolah dipaksa untuk mawas diri adalah umat Islam, pergerakan Islam, atau lembaga-lembaga Islam. Bahkan ada sinyalemen dari seorang publik figur yang secara mudah menuduh Khutbah Jumat sebagai sumber terorisme sehingga khutbah di masjid-masjid pun perlu diawasi dan khatib perlu ditertibkan. Hal ini juga merupakan pandangan yang sarat akan Islamofobia.
Dalam tataran teori, radikalisme dianggap sebagai pangkal dari terorisme, meski tidak semua radikalisme merupakan teroris. Radikalisme yang dimaksudkan adalah yang digunakan dengan cara mengatasnamakan agama. Radikalisme ditengarai memiliki dua ciri, yaitu mudah memberikan cap kafir kepada kelompok lain, dan memahami jihad secara sempit dalam arti perang semata.
Berkaitan dengan radikalisme tersebut adalah perlu dikritisi apakah tepat istilah “Terorisme Berbasis Agama”. Penggunaan istilah ini menimbulkan kesan pembenaran bahwa seolah radikalisme yang merupakan akar terorisme adalah diajarkan dalam agama. Padahal kita tahu bersama bahwa tidak ada satupun agama yang mengajarkan keburukan, apalagi teror.
Dalam Islam, segala yang baik harus disampaikan dengan cara yang baik. Al-Qur’an menegaskan, mengajak manusia pada kebaikan harus dengan hikmah, nasehat yang baik dan dialog dengan cara yang lebih baik. Dakwah Islam harus dilakukan secara komprehensif dalam arti menyentuh dimensi kesejahteraan rohani dan kesejahteraan materi.
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.” (QS. An-Nahl Ayat 125)
Dalam upaya mencegah paham terorisme yang menjadi musuh negara dan juga musuh umat beragama, Pemerintah atau pihak keamanan juga harus banyak berkoodinasi dengan para ulama, da’i dan tokoh-tokoh umat agar masyarakat dan negara semakin jauh dari kemungkaran. Pemerintah dan masyarakat tidak boleh membiarkan merajalelanya ketidak-adilan dan ketimpangan sosial-ekonomi. Ketidakadilan dan kemiskinan dimana pun dapat menyebabkan timbulnya frustrasi sosial pada orang-orang tertentu; sehingga mudah teperdaya untuk diajakan melakukan tindakan terorisme dan sejenisnya.
Muhammadiyah merupakan gerakan Islam, artinya Muhammadiyah adalah sebuah gerakan berbasis agama, dan bukan gerakan sekularisme, liberalisme dan pluralisme. Agama yang dimaksud adalah agama Islam. Bagi Muhammadiyah, Islam merupakan nilai utama sebagai fondasi dan pusat inspirasi yang menyatu dalam seluruh denyut nadi gerakan. Muhammadiyah berkeyakinan bahwa Islam sebagai risalah yang dibawa para Nabi hingga Nabi akhir zaman Muhammad Saw. adalah agama Allah yang lengkap dan sempurna.
Maka dari itu Muhammadiyah senantiasa berpartisipasi dalam Gerakan Dakwah Amar Makruf Nahi Munkar dan Tajdid, bersumber pada Al-Quran dan As-Sunnah, berasas Islam, dan bertujuan menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. (Pasal 4 dan 6 Anggaran Dasar Muhammadiyah/ADM).
Kedua pasal ini menjelaskan jati diri Muhammadiyah, dan hakikatnya Muhammadiyah harus berperan aktif sebagai gerakan dakwah sosial masyarakat serta penyampaian pemahaman yang benar tentang ajaran Islam; sehingga tidak terjadi kesalahan dalam memahami ajaran agama Islam yang mengakibatkan munculnya persepsi buruk tentang Islam atau Islamofobia.
Penulis : Naufal Abdul Afif (Ketua Bidang Hikmah PC IMM Kendal)
Editor : M Taufiq Ulinuha