Dr. Anjar Nugroho : Idul Adha, Haji dan Kesalehan Sosial
PWMJATENG.COM, PURWOKERTO – Hari ini 10 Zulhijjah 1440 H bertepatan 11 Agustus 2019, adalah hari raya Idul Adha yang juga populer dengan sebutan hari raya Qurban, karena setelah melaksanakan salat Idul Adha, dilakukan penyembelihan hewan qurban.
Hari raya Idul Adha berkaitan erat dengan haji karena pada saat yang sama jutaan umat Islam dari seluruh penjuru dunia tengah melaksanakan ibadah haji. Haji adalah rukun Islam kelima yang diwajibkan oleh Allah kepada setiap laki-laki dan perempuan yang beragama Islam yang mampu secara pisik dan materi. Haji diwajibkan bagi yang mampu hanya sekali seumur hidup (Q.S. Ali Imran: 97)
Dalam doktrin ajaran Islam, ibadah haji merupakan salah satu bentuk prosesi keagamaan yang bercorak ritual, dan juga mempunyai dimensi lain yang sangat penting (extremely urgent) tapi sering terlupakan. Berbeda dengan ritual Islam lainnya yang dapat dilakukan pada sembarang tempat dan waktu sepanjang tahun, ibadah haji harus dilakukan di tempat-tempat tertentu, seperti di Baitullah Makkah al-Mukarramah, Shafa, Marwa, Arafah, Mina, dan Muzdalifah, serta pada waktu tertentu pula, yaitu pada minggu kedua bulan Dzulhijjah.
Tata cara formal ibadah haji, yang terdiri atas ihram, tawaf, wukuf, sa’i, dan sebagainya, sering dipahami oleh komunitas muslim hanya terbatas pada dimensi fiqhiyyah semata, formalistik, atau bahkan terkesan simbolik (haji ritual). Artinya, seseorang dapat disebut atau dipanggil dengan gelar “haji”, jika ia -terlepas dari apakah perilaku sehari-harinya baik atau tidak – telah melaksanakan ritual tersebut di atas.
Bila sebatas itu pemahaman kita mengenai ibadah haji, ini berarti (disadari atau tidak), kita telah menghilangkan bagian-bagian yang sangat mendasar dari fungsi ibadah haji sebagai simbol kepasrahan terhadap perintah Allah Swt., dan sekaligus mendukung aspek pembinaan jiwa, moral, dan sosial menjadi hanya sebatas “wisata” spiritual saja.
Seperti juga bentuk peribadatan yang lain, haji diwajibkan bukan semata-mata berorientasi pada aspek keimanan kepada Tuhan secara personal, namun yang lebih penting juga bagaimana keimanan pada Tuhan itu kemudian ditindaklanjuti dengan amal kebajikan yang berdimensi sosial. Dimensi sosial haji, antara lain terlihat jelas ketika para hujjaj (orang-orang yang tengah melakukan ibadah haji) melakukan wukuf (bermalam) di Arafah. Di mana satu sama lain saling berinteraksi dengan niat yang utuh untuk semata-mata melakukan kebajikan.
Dengan berhaji, manusia harus meninggalkan keluarga, handai-tolan, tanah air, dan seluruh hartanya untuk menuju satu tujuan, Allah. Pasrah total kepada-Nya, seperti kepasrahan Ibrahim as. Dan, karena totalitas inilah kiranya mengapa di antara para hujjaj ada yang mengharapkan tidak kembali ke tanah air (meninggal di Tanah Suci). Ada keyakinan meninggal di Tanah Suci ketika berhaji merupakan puncak syahadah yakni perjumpaan dengan Allah pada saat pasrah secara total kepada-Nya.
Haji merupakan latihan bagi manusia untuk kesalehan sosial, seperti meredam kesombongan, kediktatoran, gila hormat, dan keinginan menindas sesamanya. Sebab, dalam haji, manusia harus mencopot pakaian kebesarannya. Pakaian sehari-hari yang menciptakan ke-‘aku’-an berdasarkan ras, suku, warna kulit, eselon kepangkatan, dan lain-lain harus ditanggalkan dan diganti dengan pakaian ‘ihram’ yang sederhana, tidak membedakan kaya-miskin, ningrat-jelata, penguasa-rakyat, dan status sosial lainnya. Egoisme ke-‘aku’-an lebur dalam ke-‘kita’-an, kebersamaan, kesamaan sebagai manusia yang hadir, berada dan menuju hanya kepada-Nya (Q.S. al-Baqarah: 196)
Haji juga melatih manusia melepaskan diri dari selera konsumtif, cinta harta. Dalam berhaji manusia dilarang mengenakan perhiasan atau parfum. Bahkan sebaliknya (sangat) dianjurkan untuk rela berkorban apa saja miliknya termasuk yang paling dicintainya, sebagaimana dicontohkan Nabi Ibrahim as yang rela mengorbankan Ismail, putra yang amat dicintainya (QS. Ash-shaffat: 102)
Dalam rangkaian ibadah haji, selain wukuf di Arafah yang menjadi inti haji (al-hajju ‘arafah), yang menjadi perlambang kebersamaan, dan miniatur sejati hakikat perjalanan umat manusia. Juga diharuskan melontar tiga jumrah (berhala) yakni Ula, Wustha, dan Aqabah, yang menjadi isyarat –menurut istilah Shariati, ‘trinitas’. Dalam tataran teologis, ‘trinitas’ berarti keyakinan dan penghambaan manusia terhadap tiga eksistensi Tuhan (musyrik, politeisme), dan dalam tataran sosiologis berarti penghambaan menusia pada tiga jenis nafsu yang dimilikinya: totalisme dalam kekuasaan, kapitalisme dalam kepemilikan, dan hedonisme (free sex) dalam pergaulan sesama atau antarjenis.
Dalam sejarah kehidupan Rasulullah (sirah) dipaparkan, ketika beliau melaksanakan haji yang terakhir dalam hidupnya (haji wada), di depan 124 ribu jemaah, beliau berkhotbah yang isinya antara lain menegaskan persamaan derajat manusia di muka bumi. Baik Arab maupun ajam (non-Arab), yang membedakannya hanyalah tingkat ketakwaannya kepada Allah. Penegasan inilah yang menjadi legitimasi profetik atas dukungan Islam terhadap proses kehidupan bermasyarakat yang terbuka dan sederajat, di samping penegasan adanya keharusan bermusyawarah dalam menyelesaikan setiap masalah, dan penegasan kebebasan manusia dari penghambaan sesama makhluk-Nya.
Maka (andai kata) seluruh umat Islam yang telah menunaikan ibadah haji, sampai pada tingkat kemabrurannya, (niscaya) individu dan masyarakat yang damai dan sejahtera akan tercipta dengan sendirinya. Dengan demikian tepat benar kesimpulan sosiolog Ernest Gellner bahwa Islam sebenarnya mewariskan tradisi agung (great tradition), yang selalu bisa menyertai (tuntutan) kemodernan (modernisable).
Mereka yang tidak sedang melaksanakan ibadah haji, sangat dianjurkan pada 10 Zulhijjah untuk melaksanakan salat Idul Adha di masjid, di lapangan dan di berbagai tempat yang memungkinkan untuk dilaksanakan. Istilah Idul Adha deperti dikemukakan diatas, sering juga disebut Idul Qurban, karena setelah melaksanakan salat Idul Adha, dilanjutkan dengan penyembelihan hewan qurban.
Sebagaimana yang terlah sedikit tersinggung di atas, pelaksanaan penyembelihan qurban, berkaitan erat dengan peristiwa penyembelihan Ismail oleh ayahnya Ibrahim, seperti yang tertuang dalam QS. Ash-Shaffat: 109-113. Disebutkan dalam Alqur’an, pada suatu malam, Nabi Ibrahim bermimpi, dia mendapat perintah dari Allah untuk menyembelih Ismail, putera kesayangannya yang merupakan anak semata wayang.
Perintah Allah itu, kemudian Ibrahim menyampaikannya kepada Ismail, dan meminta pandangannya atas hal tersebut. Tanpa di duga, Ismail berkata kepada ayahnya Ibrahim “Ya abati if’al maa tu’mar satajidunii insya Allah minassabiriin” (Hai bapaku, laksanakan yang diperintahkan Allah kepadamu. Insya Allah engkau akan menemukan saya termasuk dari golongan orang-orang yang sabar).
Tatkala Ibrahim akan menyembelih Ismail, Allah menggantikannya dengan seekor binatang (biri-biri). Peristiwa dramatis itu diabadikan oleh Allah dengan perintah menyembelih hewan qurban pada setiap Idul Adha sebagai simbol ketaatan, ketulusan, keberanian dan pengabdian yang paripurna kepada Allah.
Ibadah haji, shalat Idul Adha dan penyembelihan qurban, merupakan refleksi dari kesalehan individual. Penyembelihan qurban, walaupun memberi dampak sosial karena kambing dan sapi yang disembelih, dagingnya dibagikan kepada mereka miskin dan memerlukan, tetapi pada hakikatnya lebih sarat dengan muatan kesalehan individual.
Kesalehan sosial menunjuk pada perilaku yang peduli kepada sesama. Sejatinya mereka yang saleh secara individual berarti beriman dan bertaqwa kepada Allah. Wujud dari keberimanan dan ketaqwaan kepada Allah otomatis akan merefleksikan kesalehan sosial, yaitu peduli kepada mereka yang miskin, bodoh dan terkebelakang. Wujud dari itu, maka mereka akan selalu berpikir, berikhtiar dan berjuang untuk mengubah nasib mereka yang belum beruntung dalam hidupnya.
Kesalehan sosial bisa diwujudkan dengan mengubah nasib orang-orang yang belum beruntung dan dapat dikatakan belum menikmati kemerdekaan. Menurut saya, yang paling penting dan utama ialah dalam bidang pendidikan dengan menghimpun dana untuk menyediakan beasiswa yang cukup kepada anak-anak miskin untuk melanjutkan pendidikan di dalam dan luar negeri.
Selain tiu, memberi kepakaran (keahlian) kepada para pemuda yang satu dan lain hal tidak bisa melanjutkan pendidikan. Maka walaupun mereka tidak memiliki pendidikan yang tinggi, tetapi untuk survive (Berjaya) dalam hidup, mereka mesti diberi kepakaran kerja dan bisnis.
Wujud lain dari kesalehan sosial, bisa dilakukan oleh mereka yang memegang kedudukan di pemerintahan dan parlemen, untuk terus berpikir dan membuat kebijakan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Dengan demikian, iman dan taqwa kepada Allah melahirkan kesalehan individual dalam bentuk ibadah haji, shalat Idul Adha dan penyembelihan qurban. Itu belum cukup, harus ditindaklanjuti dengan mewujudkan kesalehan sosial yang sering disebut amal shaleh (perbuatan yang baik).
One Comment