Ramai Soal Musik, UAH: Musik dari Sejarah hingga Al-Qur’an dan Sunnah
Oleh : Najihus Salam*
PWMJATENG.COM – Sangat ramai perbincangan tentang musik, terlebih setelah acara Pengkajian Ramadan Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Jakarta. Ketika materi ke-4 dengan pemateri Ustaz Adi Hidayat (UAH) membahas mengenai “Pengembangan Praksis Dakwah Kultural, Supporters, K-Popers, dan Masyarakat Seni-Budaya” pada tanggal 19 Maret 2024.
Merespons fenomena kekinian tersebut, UAH menegaskan Al-Qur’an tidak menolak seni, berarti Al-Qur’an tidak anti seni. Dimulai pada masa jahiliyah, objek dakwah saat itu kebanyakan adalah persoalan seni dan budaya. UAH menceritakan zaman itu sangat kental dengan seni dan sastra dibuktikan lahir banyak syair dan pujangga.
Ketika zaman itu, ada empat syarat bisa dikatakan syi’ir atau syair dalam konteks arab, yaitu kejelasan dalam dalam penyampaian, khayal atau daya imajinasi yang kuat, gaya penyampaian yang menarik, dan yang keempat adalah musik. Dari keempat syarat tersebut melahirkan 16 rumus yang berisi notasi-notasi, mulai dari notasi yang arahnya pada pujian hingga membawa pada arah kemaksiatan.
Pada kesempatan itu, UAH menjelaskan gambaran umum terkait tuntunan dakwah dalam konteks seni-budaya. UAH mengajak para peserta pengkajian Ramadan tersebut untuk melihat Q.S. Asy-syu’ara ayat 226-227. Pada ayat 226, Allah memberikan hukuman kepada para pujangga yang menciptakan lirik-lirik syair. Namun ayat 227, Allah mengecualikan para musisi pujangga yang menciptakan lirik tersebut selama mengajak kepada keimanan.
Oleh karena itu sangat rasional jika dalam penjelasan UAH bahwa Q.S. Asy-Syu’ara ini ditujukan bagi para musisi, para penyair, sebagai tuntunan mereka dalam karya seni. Sehari setelah kajian itu muncul keramaian di dunia digital yang mentahdzir UAH, mulai dari celaan, menuduh ustaz syubhat bahkan sampai ada yang mengkafirkan karena statement UAH tersebut.
Baca juga, Sesama Ulama Salafi Pun (Sering) Berbeda Pendapat
Menanggapi untuk meluruskan pemahaman dan tidak terjadi kebingungan di kalangan jamaah, UAH membuka kajian subuh terbuka untuk siapapun membahas “Musik dalam Timbangan Al-Qur’an dan Sunnah” pada Ahad, 5 Mei 2024 di Masjid Al-Azhar Jakapermai Bekasi, Jawa Barat.
Tulisan ini hanyalah catatan kecil dari kajian tersebut berusaha membuka pemahaman dan menyadarkan pluralitas pendapat keagamaan agar tidak terjadi klaim merasa paling benar, seperti kelompok yang mengatasnamakan salafi saat ini yang banyak menyerang UAH.
Pandangan UAH terhadap Musik
Di awal pengajian UAH mendisclaimer terlebih dahulu, sering disampaikan pula di beberapa kajian juga bahwa harus dibedakan antaran hukum dan sikap hukum. Dalam hal ini, sikap UAH memilih untuk menjauhi musik, harapannya ingin fokus berusaha untuk digolongkan menjadi bagian ahli qur’an.
Mengenai musik, ada 3 pemahaman mengenai hukumnya. Ada yang mengharamkan mutlak, ada yang menghalalkan dan ada pula yang menghalalkan dengan syarat. Begitulah hukum, harus jujur disampaikan dengan pluralitas pemahaman, agar tidak menyakralkan sebuah produk hasil dari pemikiran pemahaman terhadap hukum.
Asal Mula Kehadiran Musik
Kata musik pertama kali hadir bukan dari bahasa Arab, melainkan dari bahasa Yunani, yaitu Museka. Museka dalam bahasa Yunani berasal dari Muse yang dalam mitologi Yunani, muse itu dianggap sebagai Dewi Seni, dan muse ini adalah sebutan untuk 9 putri dari Zeus yang mewakili seni (puisi, tari tarian dan lainnya).
Kata musik bukan berasal dari bahasa arab, maka jika kata musik dicari dalam bahasa arab, tidak akan ditemukan. Kata ini baru hadir ketika berdirinya perpustakaan besar yang bernama Baitul Hikam, dan karya-karya orang Yunani yang banyak diterjemahkan pada masa itu.
Baca juga, Mengkaji Keunggulan Bahasa dan Sastra Al-Qur’an
Karena tidak ada kata musik dari bahasa arab, ditentukanlah padanan katanya (kata yang serupa/sejenis) untuk menentukan hukum dari musik itu sendiri. Padanan kata bahasa arab yang dipilih sudah ada sejak dari zaman jahiliyah sampai pada kehadiran nabi. Padanan kata musik dalam bahasa arab yang dipilih oleh para ulama dapat ditemukan penjelasannya di antaranya dalam kitab Mirwaju al-Zahabi karya al-Mas’udi.
Padanan Kata Musik dalam Bahasa Arab
Asal mulanya ditemukan kata al-Huda’, berasal dari kakeknya nabi Muhammad ke-17 yang bernama Mudhar. Mudhar dikenal sebagai sosok yang suaranya indah. Pada suatu hari, ia sedang naik diatas unta, namun terjatuh hingga tangannya patah. Saat itu ia kemudian berkata “Wayada.. Wayada .. (tolong.. tolong.. Tanganku patah)”. Suara dari Mudhar yang meminta tolong ini akhirnya menarik perhatian, bahkan sampai unta yang ada di sekelilingnya ikut berkumpul karena keindahan senandung suaranya.
Kemudian ditemukan kata Ghina’, dari peristiwa sebelumnya, akhirnya semakin berkembang menjadi notasi-notasi irama. Mulai ada pergeseran tujuan, yang pada mulanya untuk hewan, kini tujuannya umum, untuk diperdengarkan kepada manusia. Ketika ada perubahan tujuan ini, maka dalam bahasa arab di sebut sebagai ghinaun (senandung dengan tujuan umum).
Bekembanglah dari senandung itu muncul formula khusus di masyarakat kala itu disebut sebagai Bahr (Buhurun). Pada masa itu, ada 16 formula, contohnya salah satunya adalah bahr thawil. Seperti: Fa’ulun, mafa’ilun dan lainnya terus-menerus, berbait-bait. Tujuan dari bahr ialah untuk menggambarkan rasa, fikiran, informasi yang ada di sekitar.
Inilah yang dalam bahasa arab di sebut sebagai syi’ir, dan orang yang menyenandungkan bait-bait itu disebut sya’ir. Ada pun syarat utama untuk disebut sebagai syi’ir pada masa itu ialah; ide/fikiran/rasa yang diungkapkan, uslub/gaya bahasanya harus fasih, imajinasi untuk menambah keindahan, dan unsur musik yaitu irama nada.
Perbedaan Syair dalam Bahasa Arab dan Indonesia
Maka, dapat dipahami syair dalam bahasa arab berbeda dengan syair dalam bahasa Indonesia. Jika dalam bahasa Indonesia syair berarti salah satu jenis puisi klasik yang memperoleh pengaruh kebudayaan Arab. Namun syair dalam bahasa arab itu adalah seseorang yang ahli dalam syi’ir sebagaimana yang sudah di jelaskan sebelumnya bahwa terdapat unsur musiknya.
Jika syair dalam bahasa Indonesia, maka orang yang membuatnya di sebut sebagai penyair, namun tidak semua penyair bisa menjadi musisi. Jika dilihat dalam bahasa arab, maka syair sudah tentu bisa menjadi musisi. Jadi sangat relevan jika dikatakan Q.S. Asy-Su’ara sebagai surahnya para musisi apalagi penjelasan dalam konteks kekinian.
Baca juga, Meningkatkan Keimanan dan Ketaqwaan Selepas Ramadan: Menjaga Konsistensi dalam Ibadah
Kemudian, jika bait syi’ir tadi dibacakan atau disenandungkan oleh para syu’ara diiringi dengan alat, disebut sebagai Ma’azif. Pada masa itu, ada 3 alat yang digunakan untuk mengiringinya; alat yang ditiup, dipetik, di tabuh/dipukul. Kemudian, jika syi’ir diiringi dengan alat dan sengaja diperdengarkan kepada orang lain disebut sebagai as-Sama’ atau sejenis konser di zaman sekarang.
Kondisi Masyarakat Arab Jahiliyah
Orang arab dimasa jahiliyah juga sudah memiliki kebiasaan umum; Senang mabuk, suka berzina, menuduh, menjatuhkan orang, dan selalu ingin berperang. Maka ketika ada para syu’ara datang dicampurlah dengan kebiasaan buruk jahiliyah.
Pada akhirnya, syi’ir yang semula tujuannya baik-baik saja, bergeser makna dan bait syi’ir menjadi; untuk meminum khamr, menggoda wanita untuk berzina, menjatuhkan orang lain/menyindir, untuk berperang biasanya diiringi dengan tabuhan gendang untuk menyemangati para pasukan, untuk meratapi orang lain dan syi’ir untuk memuji orang.
Sehingga bait syi’ir di masa jahiliyah digunakan untuk hal-hal yang tidak ada manfaatnya. Contoh tokohnya; an-Nadar bin Alhit, Hubairah bin Abi Wahab, Al-Aura, istrinya Abu Lahab. Mereka senang berkumpul, membuat lirik dengan tujuan untuk menjatuhkan Al-Quran dan menghina nabi.
Syi’ir yang di tujukan untuk menjatuhkan Al-Quran dan melawan nabi disebut sebagai lahuwalhadist. Sementara alat-alat ma’azif itu dipakai untuk kemaksiatan seperti tadi maka disebut malahi.
Respon Al-Qur’an terhadap Musisi Zaman Nabi
Sehingga ketika Masyarakat arab berkumpul dengan tujuan tersebut, maka turunlah QS.Luqman: 6 “dan diantara manusia (ada) orang yang mempergunakan percakapan kosong untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa ilmu dan menjadikannya olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.”
Q.S Asy-Syu’ara: 224-226 “para penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. Tidakkah engkau melihat bahwa mereka merambah setiap lembah kepalsuan, dan bahwa mereka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan(-nya)?”
Di balik ancaman Al-Qur’an itu, ada para sahabat yang pandai membuat syi’ir, di antaranya ialah Hasan bin Tsabit, Abdullah bin Rawahah, dan Kaab bin Malik. Mereka bertanya kepada Rasulullah “Wahai Rasulullah, dahulu kami berprofesi sebagai syu’ara, sebagaimana mereka, kami melalaikan segala hal, kemudian bagaimana dengan kami saat ini?”
Kemudian Allah berfirman QS. Asy-Syuara: 227 “Kecuali (para penyair) yang beriman, beramal saleh, banyak mengingat Allah, dan bangkit membela (kebenaran) setelah terzalimi. Orang-orang yang zalim kelak akan mengetahui ke mana mereka akan kembali”
Itulah yang menjadi catatan bagi pegiat seni seperti musisi, penyair dibolehkan, yaitu atas dasar keimanan. Membuat karya seni yang mengandung amal saleh, sebagai wasilah menyampaikan risalah Islam.
*Kader IMM Sukoharjo.
Editor : M Taufiq Ulinuha