PWMJATENG.COM, Pontianak – Muhammadiyah secara konsisten memperjuangkan nilai-nilai gerakan Islam Washatiyah sebagai ideologi untuk mengarungi semua dimensi kehidupan. Tidak hanya memperkuat dimensi keagamaan di dalam organisasi, tetapi juga menghadirkan solusi untuk tantangan kehidupan di ruang publik. Konsep tersebut dipaparkan tokoh cendekiawan muslim Prof. Din Syamsuddin dalam agenda Tanwir I Nasyiatul Aisyiyah yang digelar di Pontianak, Kalimantan Barat.
Din Syamsuddin menyebut konsep Islam Washatiyah menitikberatkan umat Islam pada posisi moderat, untuk menjadi umat terbaik, umat pilihan, umat yang adil dan umat yang seimbang kehidupannya. Sejalan dengan konsep diatas, Nasyiatul Aisyiyah sebagai ortom Muhammadiyah didorong agar mampu menuangkan konsep tersebut dalam menjalankan merealisasikan program organisasi.
Dalam pandangannya, Din menilai tema ‘Keluarga Muda Tangguh, Kuatkan Indonesia,’ yang diangkat dalam tema Tanwir I Nasyiatul Aisyiyah menunjukkan tingginya perhatian Nasyiatul Aisyiyah dalam isu ketahanan keluarga. Keluarga tangguh sangat penting untuk kebangkitan sekaligus fungsi sebuah keluarga. Terlebih Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada Musyawarah Nasionalnya juga mengeluarkan suatu seruan, yakni ‘kembali ke keluarga’ sebagai gerakan agar umat kembali ke keluarga.
“Berkemajuan adalah icon Muhammadiyah, dan tema yang kita angkat bukan hanya sebuah isu yang bagus dan penting, melainkan panggilan untuk setiap keluarga, baik yang sudah berkeluarga maupun yang akan menikah,” ucap Din di hadapan peserta Tanwir Nasyiatul Aisyiyah, Jumat (12/1/2024).
Baca juga, Kurikulum Islamic Green School: Sebuah Ijtihad Memadukan Ekologi Islam dan Pendidikan Berkelanjutan
Lebih lanjut ia memaparkan teorinya tentang tiga kerobohan yang sedang dialami bangsa Indonesia saat ini. Pertama, robohnya surau (tempat ibadah), lalu kedua robohnya lampau (warung) dan ketiga, robohnya dangau (tempat peristirahatan). Secara keseluruhan, menurut Din, robohnya surau dan lampau kita mengekspos tantangan serius yang dihadapi umat Islam dalam melestarikan nilai-nilai tradisional dan keberlanjutan lembaga kemasyarakatan.
Dijelaskan Din, hilangnya keberadaan surau sebagai gambaran lembaga pendidikan dan kemasyarakatan mengakibatkan hilangnya sumber kearifan lokal dan lahirnya ulama. Sementara itu, robohnya lampau atau pusat perputaran ekonomi menunjukkan pergeseran dalam pusat bisnis umat Islam, yang pada masa lalu dikuasai oleh para santri namun kini tergantikan oleh pasar-pasar modern.
Kedua tantangan ini mengharuskan adanya perubahan besar dalam pola pikir umat Islam. Untuk itu, Din menekankan perlunya adaptasi dan upaya kolektif untuk mempertahankan identitas dan keberlanjutan nilai-nilai Islam dalam masyarakat yang kian dinamis.
“Lalu ketiga, yang melanda umat Islam yaitu robohnya dangau kita. Dangau ini adalah sebuah kiasan, biasanya ada di rumah dan menggambarkan robohnya keluarga kita. Robohnya keluarga umat. Bukan karena perpisahan dan perceraian yang sekarang angkanya meningkat, tapi robohnya dangau kita, robohnya keluarga umat adalah karena keluarga tidak berfungsi sebagai lembaga pendidikan,” ungkap Din.
Baca juga, AUM Yes, Muhammadiyah No!
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 2005-2015 ini lantas mengajak peserta Tanwir untuk melakukan refleksi dan mendiskusikan ide-ide konstruktif guna memperkuat keluarga sebagai pilar utama masyarakat, sejalan dengan ajaran Islam Wasathiyah.
Ia juga menegaskan ketangguhan keluarga sangat dibutuhkan dalam membentuk generasi bangsa di masa mendatang. Terlebih daya tahan keluarga Muslim, menurut Din perlu diperkuat dengan nilai-nilai Islam washatiyah agar tidak mudah terpengaruh ancaman arus globalisasi.
“Dengan robohnya dangau kita, robohnya keluarga kita, maka saya sangat-sangat setuju dan memberi apresiasi Nasyiatul Aisyiyah menggerakkan adanya keluarga tangguh. Agar keluarga lebih mampu mempertahankan diri terhadap tantangan arus globalisasi arus liberalisasi dan kemudian ancaman persebaran narkoba, persebaran pikiran liberal dan maraknya LGBT,” tegas Ketua Dewan Pertimbangan MUI periode 2015-2020 ini.
“Maka daya tahan keluarga muslim, keluarga Indonesia adalah penting dan mendesak. Perlu adanya mekanisme pertahanan diri. Keluarga harus menjadi perisai terhadap semua tantangan dan secara khusus bahwa ada skenario dan rekayasa yang sedang berjalan yang ingin melemahkan Islam dengan merusak generasi mudanya. Dan salah satu faktor mudahnya rusak generasi muda dengan merusak fungsi keluarga,” sambungnya.
Chairman of Center for Dialogue and Cooperation among Civilizations (CDCC) ini pun berharap istilah ‘Keluarga Muda Tangguh’ yang diangkat Nasyiatul Aisyiyah ini jangan menjadi slogan saja, melainkan harus ada design operasionalnya di masa depan.
“Inilah saya kira dasar keluarga muda tangguh menjadi relevan. Karena robohnya surau, robohnya lapau dan robohnya dangau kita itu, maka keluarga tangguh yang berdaya tahan, yang berpegang kepada prinsip-prinsip islami dan keluarga yang berdasarkan pilar-pilar yang kuat,” tandasnya.
Kontributor : Media Center Tanwir NA
Editor : M Taufiq Ulinuha