Mengulas Era Awal Gerakan Muhammadiyah (2)
Oleh : Prof. Dr. KH. Haedar Nashir (Ketua Umum PP Muhammadiyah)
PWMJATENG.COM, Semarang – Kiai Dahlan bersama delapan anggota H.B. Muhammadiyah semakin giat melakukan aktivitas terutama dalam menjalin hubungan dengan pemerintah, dengan organisasi Kiai lain, dan dengan daerah binaan baru. H.B. Muhammadiyah pada waktu itu memang berjumlah sembilan orang terdiri atas Kiai Dahlan sendiri sebagai Presiden atau Ketua, disusul oleh Abdullah Siradj sebagai sekretaris serta Ahmad, Abdul Rahman, Sarkawi, Muhammad, Jaelani, Akis, dan Mohammad Fakih sebagai anggota.
Dalam perkembangan awal tersebut Muhammadiyah melakukan perluasan sasaran dan wilayah gerak organisasi ke luar Residensi Yogyakarta tetapi terkendala oleh Anggaran Dasar pertama yang memperoleh pengakuan pemerintah Hindia-Belanda 15 Juni tahun 1914. Pada waktu itu berdatangan tuntutan dari daerah-daerah di luar Yogyakarta yang menjadi donatur dan pembaca majalah Suara Muhammadiyah (Soeara Moehammadijah) di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali yang mendukung dan bersetuju dengan Muhammadiyah untuk menyelenggarakan pengajian-pengajian yang akan menjadi anggota Muhammadiyah.
Selain itu, banyak anggota yang pindah ke luar Yogyakarta tetapi ingin tetap menjadi anggota dan melakukan kegiatan Muhammadiyah, namun terkendala oleh batasan wilayah Keresidenan Yogyakarta. Animo calon anggota Muhammadiyah makin meluas terutama setelah mendengar pidato Kiai Ahmad Dahlan dalam rapat Boedi Oetomo di Kauman Yogyakarta pada 1917 serta peranan Kiai Dahlan sebagai Komiaris dan Penasihat Urusan Agama di Sarekat Islam (Majelis Pustaka dan Dokumentasi PP Muhammadiyah, 1995: 33).
Karena itu, HB Muhammadiyah mengajukan perubahan Anggaran Dasar pada artikel 2 yang menyangkut wilayah sebaran, dengan artikel baru yaitu:
“(a) memajukan dan menggembirakan pengajaran dan pelajaran agama Islam di Hindia-Belanda;
(b) memajukan dan menggembirakan cara hidup sepanjang kemauan agama Islam kepada para anggotanya.”
Baca juga, Majelis Lembaga Persyarikatan Harus Diisi Anak Muda!
Usulan tersebut disetujui pemerintah Hindia-Belanda dengan besluit nomor 40 tanggal 16 Agustus 1920. Perubahan artikel 4 dan lima dilakukan lagi yaitu mengubah dari “Keresidenan Yogyakarta” menjadi “di Hindia-Belanda, yang memperoleh persetujuan dengan Besluit nomor 36 tanggal 2 September 1921. Persetujuan tersebut membuka peluang bagi masyarakat di seluruh wilayah Hindia-Belanda untuk menjadi simpatisan dan anggota Muhammadiyah.
Karena itu, mengingat majalah Suara Muhammadiyah yang menjadi sarana perluasan Muhammadiyah waktu itu masih berbahasa Jawa diterbitkan dengan menggunakan bahasa Melayu penyebaran informasi agama Islam dan Muhammadiyah secara lebih luas dan cepat ke seluruh wilayah tanah air. Dengan demikian, sejak tahun 1921 itulah terjadi perluasan anggota dan organisasi ke berbagai wilayah/daerah di Hindia-Belanda.
Sebelum perubahan Angggaran Dasar tahun 1914 yang membatasi Muhammadiyah hanya di wilayah Keresidenan Yogyakarta, pada waktu itu kegiatan Muhammadiyah dilakukan perkumpulan-perkumpulan yang melakukan kegiatan sebagaimana dilakukan oleh Muhammadiyah di Yogyakarta. Perkumpulan-perkumpulan tersebut antara lain Sidiq Amanah Tabligh Fatahanah di Surakarta, Al-Hidayah di Garut Jawa Barat, Nurul Islam di Pekalongan, dan Al-Munir di Makassar Sulawesi Selatan.
Tetapi setelah perubahan Anggaran Dasar sejak tahun 1921 terjadi perkembangan baru dengan perluasan anggota dan organisasi di seluruh Hindia-Belanda. Pada 1921 terbentuk Cabang Muhammadiyah di Srandakan dan Imogiri (Yogyakarta), di Blora Jawa Tengah, dan Surabaya serta Kepanjen (Jawa Timur). Tahun 1922 terbentuk enam Cabang baru yaitu di Surakarta, Purwokerto, Pekalongan, dan Pekajangan (Jawa Tengah), Garut (Jawa Barat), serta Batavia (Jakarta). Pada 1923 terbentuk tiga Cabang baru yaitu di Purbalingga, Klaten, dan Balapulang semuanya di Jawa Tengah.