BeritaNasional

Ira Puspadewi: Kader Muhammadiyah yang Dikriminalisasi?

PWMJATENG.COM  Nama Ira Puspadewi kini akrab di pemberitaan sebagai mantan Direktur Utama PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) yang divonis 4,5 tahun penjara dalam kasus akuisisi PT Jembatan Nusantara (JN). Di saat yang sama, ia adalah Wakil Bendahara II Majelis Ekonomi, Bisnis dan Pariwisata Pimpinan Pusat Muhammadiyah, seorang kader yang lama dikenal memiliki integritas dan kiprah profesional yang panjang di level global.

Vonis itu menimbulkan pertanyaan di kalangan pegiat antikorupsi, komunitas bisnis, hingga warga persyarikatan: apakah Ira benar-benar korup, atau justru menjadi contoh “kriminalisasi kebijakan bisnis” yang salah dibaca sebagai tindak pidana?

Jejak Profesional dan Kiprah Keummatan Ira Puspadewi

Sebelum kembali ke Indonesia, Ira Puspadewi menghabiskan bertahun-tahun berkarier di perusahaan ritel global GAP Inc. Ia kemudian dipanggil pulang untuk memimpin BUMN, mulai dari Sarinah, Pos Indonesia, hingga dipercaya menjadi Dirut ASDP.

Di ASDP, Ira dikenal mendorong transformasi bisnis yang agresif, memberantas praktek percaloan, dan meningkatkan keuntungan perusahaan hingga triliunan rupiah. Rekan-rekannya menggambarkan gaya hidup Ira yang tetap sederhana: memilih kelas ekonomi saat bepergian dan menginap di hotel bintang dua ketika tugas dinas, meski memimpin BUMN dengan laba yang jauh lebih besar dari banyak perusahaan negara lain.

Sebagai kader Muhammadiyah, Ira tidak hanya hadir di lingkaran korporasi. Ia aktif dalam jejaring alumni, kegiatan sosial, dan kini di struktur PP Muhammadiyah melalui Majelis Ekonomi, Bisnis dan Pariwisata. Jembatan antara profesionalisme global dan etika keummatan inilah yang membuat banyak warga persyarikatan merasa kasusnya bukan sekadar perkara hukum biasa.

Kasus Akuisisi PT Jembatan Nusantara dan Vonis 4,5 Tahun

Perkara yang menjerat Ira Puspadewi bermula dari Kerja Sama Usaha (KSU) dan akuisisi PT Jembatan Nusantara oleh ASDP pada 2019–2022. Jaksa KPK menilai proses kerja sama dan pembelian perusahaan itu bermasalah: kapal-kapal yang diakuisisi disebut sudah tua, spesifikasinya di bawah standar, dan prosesnya dituding disamarkan.

Dalam dakwaan, tindakan Ira dan dua direktur lain dianggap memperkaya pemilik PT JN sekitar Rp1,25 triliun sekaligus merugikan keuangan negara dengan nilai yang sama. Angka ini dikaitkan dengan pembayaran saham, kapal afiliasi, serta beban pemeliharaan yang dialihkan ke ASDP setelah akuisisi.

Pengadilan Tipikor Jakarta kemudian menjatuhkan vonis 4 tahun 6 bulan penjara kepada Ira Puspadewi, plus denda Rp500 juta subsider 3 bulan kurungan. Dua direktur lainnya, Muhammad Yusuf Hadi dan Harry Muhammad Adhi Caksono, divonis masing-masing 4 tahun penjara dengan denda Rp250 juta.Kabar Jakarta+1

Menariknya, berbagai laporan media mencatat bahwa dalam pertimbangan, majelis hakim juga mengakui tidak ada bukti bahwa Ira menerima aliran dana pribadi dari transaksi akuisisi tersebut.Katadata Di sinilah muncul pertanyaan: ketika tak ada keuntungan pribadi yang terbukti, apakah semua keputusan bisnis yang berisiko otomatis harus dibaca sebagai tindak pidana korupsi?

Dissenting Opinion Hakim Sunoto dan Narasi “Kriminalisasi”

Di tengah putusan bersalah itu, muncul satu suara berbeda yang penting: dissenting opinion Ketua Majelis Hakim Sunoto. Dalam persidangan, Sunoto menilai bahwa langkah kerja sama usaha dan akuisisi PT JN merupakan keputusan bisnis yang sah, bagian dari strategi korporasi ASDP, bukan perbuatan melawan hukum yang merugikan negara. Ia bahkan menyebut seharusnya Ira dan kawan-kawan dilepaskan dari segala tuntutan (ontslag van alle recht vervolging)

Pandangan ini sejalan dengan kesaksian dan analisis yang ditulis Dahlan Iskan dan Agung Pamujo dalam naskah “Airmata Ira”. Mereka menegaskan bahwa keputusan akuisisi dilakukan melalui proses uji tuntas (due diligence) yang panjang, melibatkan sedikitnya tujuh lembaga profesional dan aparat negara, mulai dari BPK, BPKP, Kejaksaan, hingga konsultan global seperti PwC dan Deloitte.Airmata Ira

Keluarga Ira, melalui surat terbuka yang dipublikasikan Tirto, bahkan mempertanyakan apakah benar ada “korupsi Rp1,25 triliun di ASDP”. Mereka menyoroti bahwa angka kerugian yang besar itu sangat kontras dengan kenyataan tidak adanya bukti aliran dana ke rekening pribadi para terdakwa, dan melihat kasus ini sebagai kriminalisasi atas keputusan bisnis yang diambil secara kolektif dan terdokumentasi.

Di titik inilah istilah “kader Muhammadiyah yang dikriminalisasi” mulai mengemuka. Bagi banyak pendukungnya, vonis terhadap Ira Puspadewi dipandang lebih sebagai hukuman atas keberanian melakukan terobosan di BUMN – sebuah “tragika” sebagaimana digambarkan dalam judul artikel Kompas “Tragika Ira Puspadewi: ketika keberanian berinovasi berujung penjara” – ketimbang hukuman bagi pelaku korupsi yang memperkaya diri.

Perspektif Muhammadiyah: Inovasi BUMN, Etika, dan Risiko Hukum

Sebagai Wakil Bendahara II Majelis Ekonomi, Bisnis dan Pariwisata PP Muhammadiyah, kasus Ira Puspadewi membawa resonansi yang lebih luas. Muhammadiyah selama ini konsisten mengusung nilai amanah, transparansi, dan antikorupsi, sekaligus mendorong kadernya untuk terjun ke ruang strategis seperti BUMN, perbankan, dan dunia bisnis modern.

Kasus Ira menunjukkan betapa tipisnya batas antara inovasi bisnis dan kriminalisasi kebijakan di tengah regulasi yang rumit dan tafsir hukum yang sering berubah. Di satu sisi, negara menuntut direksi BUMN untuk berani mengambil risiko, ekspansi, dan melayani kawasan 3T seperti yang diklaim Ira sebagai tujuan akuisisi PT JN. Di sisi lain, ketika muncul perbedaan penilaian soal risiko dan valuasi aset, keputusan yang sama dapat “dibaca ulang” sebagai tindak pidana.

Bagi komunitas Muhammadiyah, ini menjadi bahan muhasabah kolektif: bagaimana menjaga agar kader tetap tegak dengan etika dan tata kelola yang baik, namun tidak ciut nyali menghadapi risiko kriminalisasi ketika mereka berani melakukan terobosan.

Ujian bagi Keadilan dan Tata Kelola BUMN

Hingga kini, Ira Puspadewi dan tim hukumnya masih memiliki ruang upaya hukum lanjutan. Dissenting opinion hakim ketua, dukungan keluarga, testimoni rekan kerja, serta rekam jejak integritas Ira menjadi modal moral untuk terus memperjuangkan keadilan di tingkat pengadilan yang lebih tinggi.

Bagi publik, khususnya warga Muhammadiyah, kasus ini mengajukan pertanyaan yang lebih dalam: bagaimana memastikan bahwa perang melawan korupsi tidak berubah menjadi kriminalisasi kebijakan, terutama terhadap profesional yang berupaya memperkuat BUMN melalui keputusan bisnis yang berisiko namun transparan?

Apakah Ira Puspadewi adalah koruptor atau kader Muhammadiyah yang dikriminalisasi, pada akhirnya akan ditentukan oleh proses hukum yang berjalan. Namun satu hal sudah jelas: kisahnya menjadi cermin penting tentang rapuhnya perlindungan hukum bagi profesional jujur, dan tentang perlunya pembenahan serius atas cara negara membaca dan menilai keputusan bisnis di tubuh BUMN.

Editor: Al-Afasy

Muhammadiyah Jawa Tengah

Muhammadiyah Jawa Tengah adalah gerakan Islam yang mempunyai maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam Jawa Tengah yang sebenar-benarnya

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE