Yasinan ala Muhammadiyah

Oleh: Rofi’i, S.Pd.
Sekretaris PCM Ngadirejo, Penyusun Jadwal Salat & Trainer Pelatihan Hisab MTT PDM Temanggung
PWMJATENG.COM, Yasinan ala Muhammadiyah sering menjadi perbincangan di tengah masyarakat. Bagi banyak umat Islam di Indonesia, yasinan identik dengan pembacaan Surat Yasin, tahlil, dan doa berjamaah. Tradisi ini biasanya dilakukan untuk mendoakan keluarga yang telah wafat, memohon keselamatan, atau mempererat silaturahmi.
Di kalangan warga Muhammadiyah, penyelenggaraan yasinan tidak seumum di masyarakat luas. Kalaupun ada yang mengikuti, biasanya karena menghormati undangan tetangga, menjaga hubungan sosial, atau sebagai strategi dakwah kultural di lingkungan yang mayoritas masih melaksanakan tradisi tersebut.
Suara Muhammadiyah pernah memuat kisah menarik tentang K.H. AR Fakhruddin ketika bertugas di Ulak Paceh, Palembang. Saat itu, Muhammadiyah masih dianggap “asing” dan bahkan mendapat prasangka negatif dari sebagian tokoh agama setempat.
Pak AR, yang kala itu masih berusia 18 tahun, selalu menyapa seorang ulama yang dikenal anti-Muhammadiyah. Sapaan itu terus dilakukan hingga akhirnya sang ulama luluh dan mengundang beliau untuk hadir dalam acara yasinan malam Jumat.
Meski belum pernah mengikuti yasinan, Pak AR hadir dengan tawaduk. Ketika diminta memimpin, beliau menawarkan “yasinan model baru”: membaca Surat Yasin ayat per ayat, menerjemahkan, lalu menjelaskan maknanya. Cara ini diterima dan bahkan diminati jamaah hingga kemudian berkembang menjadi pengajian tafsir.
Kisah ini menunjukkan bagaimana dakwah kultural dapat menjembatani perbedaan tradisi sekaligus memperluas pemahaman umat.
Dari kisah tersebut, tampak bahwa Muhammadiyah bukan “anti-Yasinan”. Warga Muhammadiyah tetap membaca Surat Yasin, namun dengan pendekatan tadabbur, bukan ritual tradisi sebagaimana dipahami masyarakat umum. Membaca satu ayat Yasin pun tetap bagian dari Surat Yasin.
Dalam banyak pengajian, para muballigh Muhammadiyah menggunakan ayat-ayat Yasin sebagai bahan kajian. Saya sendiri kerap menjadikannya rujukan, terutama ketika menjelaskan konsep Wujudul Hilal dalam penentuan awal bulan Hijriah.
Ayat 38–40 Surat Yasin menjadi dasar penting dalam penyusunan metode hisab Muhammadiyah:
1. Ayat 38: Peredaran matahari
2. Ayat 39: Manzilah (fase-fase) bulan
3. Ayat 40: Keteraturan orbit benda langit
Ayat-ayat ini memberi isyarat tentang:
- terjadinya ijtimak (konjungsi),
- pergantian hari setelah terbenam matahari, dan
- pentingnya ufuk untuk menentukan posisi bulan.
Metode Wujudul Hilal, hingga kemudian berkembang menjadi Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT), memanfaatkan petunjuk ayat-ayat ini serta kaidah astronomi modern.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa warga Muhammadiyah bukan hanya membaca Surat Yasin, tetapi juga mengamalkan isinya dalam bentuk praktik keagamaan yang ilmiah dan rasional.
Yasinan ala Muhammadiyah pada hakikatnya adalah usaha untuk memahami makna Al-Qur’an secara lebih mendalam. Muhammadiyah tidak menolak Surat Yasin, tetapi mengajak umat untuk menyelami kandungannya dan menjadikannya landasan amal, termasuk dalam bidang ilmu falak dan penentuan kalender Hijriah.
Wallahu a’lam.
(Bersambung, insya Allah)
Editor: Al-Afasy



