Tidak Terikat Mazhab Fikih Tertentu

Dr. H. Ali Trigiyatno, M.Ag (Ketua Majelis Tabligh PWM Jateng)
PWMJATENG.COM, Sebagaimana diketahui, ciri manhaj tarjih salah satunya adalah tidak terikat dengan mazhab fikih tertentu, tapi tetap apresiatif dengan pendapat mazhab-mazhab fikih yang ada. Jadi Muhammadiyah tidak sampai anti mazhab. Sebagai ganti istilah mazhab, Muhammadiyah memperkendlkan istilah manhaj tarjih yang menjadi semacam SOP dalam berfatwa.
Dalam pokok-pokok manhaj terjih tertulis :
Tidak mengikatkan diri pada suatu mazhab, tetapi pendapat-pendapat mazhab, dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menetapkan hukum. Sepanjang sesuai dengan jiwa al-Qur’an dan al-Sunnah, atau dasar-dasar lain yang dipandang kuat.[1]
Sikap ini merupakan sikap tengah-tengah antara kelompok yang mewajibkan bermazhab dan yang mengharamkan bermazhab.
Di kalangan ahli ushul fiqh, pendapat yang kuat menurut para ulama muhaqqiqun adalah tidak wajibnya umat Islam komitmen dan menetapi dengan mazhab tertentu. Seorang yang awam boleh mengikuti mazhab mana saja yang ia jumpai dan yakini dengan syarat tidak fanatik buta. Ia tidak wajib mengikuti mazhab tertentu dalam semua permasalahan, namun ia boleh mengikuti suatu mazhab dalam beberapa persoalan dan berpindah mazhab lainnya dalam persoalan lainnya sesuai dengan dalil atau kebenaran. Ia boleh berbeda dengan imam mazhab dan mengambil pendapat selain imamnya. Karena tidak ada kewajiban untuk bermazhab. Tidak ada dalil Al-Quran dan As-Sunnah yang mewajibkannya.[2]
Lebih jelasnya mengenai hukum menetapi suatu mazhab tertentu disampaikan secara singkat sebagai berikut :[3]
Pendapat pertama: Wajib untuk melazimi mazhab tertentu, yaitu dengan mengikuti seluruh pendapat yang ada dalam mazhab tersebut. Ini adalah pendapat di mazhab Syafi’i. Tajud-Din as-Subkiy rahimahullah berkata,
وأنه يجب التزام مذهب معيَّن يعتقده أرجح أو مساويا.
“Wajib untuk melazimi mazhab tertentu yang dia yakini lebih kuat atau setara.”
Pendapat kedua: Tidak wajib untuk melazimi mazhab tertentu. Ini adalah pendapat di mazhab Hanbali. ‘Ala’ud-Din al-Mardawiy rahimahullah berkata,
ولا يلزم التمذهب بمذهب.
“Tidak wajib bagi seseorang untuk bermazhab dengan mazhab tertentu.”
Kewajiban orang awam adalah bertanya pada orang yang alim, tanpa ditentukan dan dibatasi orangnya. Allah berfirman.
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Bertanyalah kepada ahli ilmu jika engkau tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl: 43)
Wahbah az-Zuhaili dan jumhur ulama ushul juga mengunggulkan pendapat yang tidak mewajibkan mengikuti mazhab tertentu dalam setiap permasalahan dan kejadian yang dihadapi seseorang, tetapi ia boleh mengikuti mujtahid mana saja yang ia mau. Jika mengikuti mazhab tertentu seperti Hanafi, Syafi’i atau selainnya itupun tidak wajib mengikutinya selamanya, ia boleh pindah ke mazhab lain. Karena tidak ada kewajiban selain yang diwajibkan Allah dan rasul-Nya, sedang Allah dan Rasul-Nya tidak pernah mewajibkan seseorang untuk mengikuti mazhab tertentu dari mazhab-mazhab yang ada. Allah hanya mewajibkan mengikuti ulama tanpa mengkhususkan satu orang tertentu dan tidak boleh yang lain. Ia juga mengatakan, mewajibkan untuk menetapi mazhab tertentu akan mendatangkan kesempitan dan kerupekan, padahal keberadaan mazhab-mazhab adalah suatu nikmat, karunia dan rahmat bagi umat.[4]
Pendirian seperti ini akhirnya juga berujung pada pembolehan talfiq,[5] karena tidak ada kewajiban harus menetapi mazhab tertentu. Jika talfiq tidak diperbolehkan, maka ibadah orang awam bisa batal karena orang awam pada dasarnya tidak punya mazhab walau ia mengaku bermazhab tertentu. Mazhab orang awam adalah mazhab orang yang memberinya fatwa. Membolehkan talfiq pada dasarnya akan menbawa kepada kemudahan bagi manusia.[6]
Dari kalangan Syafi’iyyah yang memilih pendapat ini adalah Imam an-Nawawi rahimahullah, di mana beliau berkata,
والذي يقتضيه الدليل أنه لا يلزمه التمذهب بمذهب بل يستفتي من شاء أو من اتفق لكن من غير تلقط للرخص ولعل من منعه لم يثق بعدم (روضة الطالبين وعمدة المفتين (11/ 117)
“Adapun yang ditunjukkan oleh dalil adalah bahwa tidak wajib bagi seseorang untuk melazimi mazhab tertentu. Akan tetapi, dia boleh untuk meminta fatwa kepada ulama mujtahid siapa pun yang dia kehendaki atau yang dia temui, akan tetapi tidak boleh mencari-cari keringanan. Para ulama yang melarang hal ini bisa jadi tidak yakin akan tidak adanya perbuatan mencari-cari keringanan ini.”[7]
Keunggulan dari prinsip tidak terikat dengan mazhab tertentu adalah, kita bisa mengembalikan persoalan langsung ke sumber aslinya yakni Alquran dan as-Sunnah dengan mengunakan metode dan sarana ijtihad yang ada. Hasilnya bisa jadi sama bisa jadi berbeda dengan pendapat mazhab yang sudah ada. Kita juga bisa memilih dan memilah pendapat yang didukung dalil yang rajih dan lebih maslahat serta pas diterapkan di masyarakat di zaman sekarang. Tidak terikat mazhab tertentu juga lebih leluasa bergerak dan tidak terasa sempit dan kaku dalam beragama serta tidak mudah kagetan.
Contoh kejadian praktis, warga Muhamamdiyah ketika Tawaf umrah atau haji tidak perlu merasa harus pindah mazhab karena memang tidak pernah merasa masuk mazhab tertentu. Kebetulan juga fikih tarjih berpendapat tidak batal wudhu karena bersentuhan dengan lawan jenis, sedang yang merasa masuk mazhab tertentu dia harus pamitan kepada mazhab semula untuk masuk mazhab lain yang berpendapat tidak membatalkan wudhu gegara senggolan dengan wanita lain.
Dalam hal membaca basmalah sirr atau jahr juga warga Muhammadiyah tidak kagetan apalagi tidak mau makmuman. Karena tarjih menuntunkan basmalah bisa dibaca sirr atau jahr, jadi imam mau baca keras atau pelan jamaah Muhammadiyah akan tetap mengikutinya. Berbeda dengan mereka yang didoktrin mazhabnya bahwa basmalah adalah ayat pertama surat al-Fatihah dan wajib dibaca, jika keras ya dibaca keras jika salat pelan ya dibaca pelan, maka ketika ia ketemu yang membaca sirr bisa jadi dia kaget dan lebih jauh lagi tidak mau bermakmum atau malah mengulangi salatnya.[8]
Perlu diingat, tidak terikat mazhab bukan berarti bebas mazhab atau sama sekali tidak menghargai mazhab, karena Muhammadiyah juga memiliki dan menggunakan manhaj tarjih yang pada dasarnya juga menggunakan metode ushul fiqh yang sudah ditetapkan oleh ulama mazhab terdahulu. Dipilihnya istilah manhaj dan bukan mazhab dirasa lebih tepat untuk menghindari adanya tudungan mendirikan mazhab kelima atau mazhab baru.
Di tengah masyarakat, kadang Muhammadiyah dituduh dengan tidak terikat mazhab tertentu dikira ingin mencari yang mudah-mudah atau yang ringan-ringan, hal ini tidak benar. Karena Muhammadiyah memilih pendapat yang lebih kuat atau rajih dan maslahat, bukan mencari yang mudah-mudah. Adapun karena mengikuti pendapat yang lebih kuat bertemu yang mudah maka itu bukan tujuan utama, karena bisa saja memilih yang kuat tapi ketemu yang lebih sulit/berat. Contoh dalam mengusap kepala, Muhammadiyah memilih mengusap seluruh kepala bukan hanya sebagian atau segelintir rambut kepala. Ini dipilih karena lebih kuat dalilnya walau lebih berat penerapannya. Namun di saat tayamum, Muhammadiyah mengikuti dan memilih sekali tepuk untuk mengusap wajah dan kedua tangan hanya sampai pergelangan bukan siku, ini karena hadisnya lebih kuat dan jatuhnya lebih mudah/ringan.
Kata mazhab sendiri merupakan sighat dari fi’il madhi dzahaba. Dzahaba artinya pergi, oleh karena itu mazhab artinya, tempat pergi atau jalan. Kata-kata yang semakna ialah: maslak, thariqah dan sabil yang kesemuanya berarti jalan atau cara. Sesuatu yang menjadi tujuan seseorang baik konkrit maupun abstrak. Sesuatu dikatakan mazhab bagi seseorang jika cara atau jalan tersebut menjadi ciri khas.
Menurut Said Ramadhany al-Buthy mazhab adalah jalan pikiran (paham/pendapat) yang ditempuh oleh seorang mujtahid dalam menetapkan suatu hukum Islam dari Alquran dan Hadis. Sedangkan Abdurrahman menyatakan, mazhab dalam istilah dalm Islam berarti pendapat, paham aliran seorang alim besar dalam Islam yang digelari imam seperti mazhab imam Abu Hanifah, mazhab Imam Ahmad Ibn Hanbal, mazhab Imam Syafi’i, mazhab Imam Malik, dan lain sebagainya. Berbeda dengan A.Hasan, mazhab yaitu sejumlah fatwa atau pendapat-pendapat seorang alim ulama besar dalam urusan agama baik dalam masalah ibadah maupun masalah lainnya. Jadi, mazhab ialah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh imam mujtahid dalam memecahkan masalah, atau mengistimbatkan hukum islam.[9]
Pengertian mazhab dalam istilah Fiqh atau ilmu Ushul Fiqh setidaknya meliputi dua pengertian, yaitu; Pertama, manhaj yang digunakan seorang mujtahid dalam menetapkan hukum suatu kejadian. Kedua, pendapat seorang mujtahid tentang hukum suatu kejadian
Di antara mazhab-mazhab yang pernah berkembang dan dikenal oleh umat Islam yaitu mazhab Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hambal, imam Abu Tsaur, Imam Al-Auza’i, Imam Al-Bukhari, Imam Ats-Tsauri, Imam Al-Laits bin Sa’ad, Imam An-Nakh’i, Imam Daud Az-Zahiri, imam Ibnu Jarir AtThabari, imam Sufyan bin ‘Uyainah, dan lainnya. Hanya saja, mazhab yang masih ada dan bertahan sampai saat ini adalah mazhab empat Imam yaitu mazhab Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal.[10] Kini, umat muslim kebanyakan hanya mengenal 4 mazhab besar yang terkenal dan eksis di dunia Islam.
[1] Asjmuni Abdurrahman, Manhaj Tarjih Muhammadiyah, hlm. 12
[2] Jadul Haq Ali, Muruunah al-Fiqh al-Islami, Cet. I, (Kairo: Dar al-Faruq li An-Nasyr wa at-Tauzi’, 2005), hlm.134.
[3] Ulasan lumayan panjang silakan baca Abdul Fattah al-Yafi’i, Haruskah bermadzhab? Studi Komparatif antara Pemahaman Fikih dan Hadits, Cet. I, (Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 2022), hlm. 163 dst.
[4] Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, I : 74.
[5] Talfiq adalah menggabungkan perkataan dua madzhab atau lebih dalam suatu permasalahan yang mempunyai suatu rukun, dan setiap darinya mempunyai hukum khusus, kemudian mengikuti madzhab tersebut dalam satu hukum permasalahan dan mengikuti madzhab yang lain dalam hukum permasalahan yang berbeda pula. Maka di sanalah lahir suatu hukum baru yang tercampur aduk antara pendapat pertama dan pendapat yang kedua. Talfiq kalau motivasinya sekedar mengikuti hawa nafsu mencari yang mudah-mudah dan ringan-ringan saja dalam beragama tentunya tidak dibenarkan, namun jika motivasinya mencari dalil yang lebih kuat dan maslahat maka bisa dibenarkan.
[6] Ibid, I : 86.
[7] An-Nawawi, Raudhat ath-Thalibin wa ‘Umdat al-Muftin, XI : 117.
[8] Lihat Tanya Jawab Agama 4, hlm. 82 dst.
[9] Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta : Logos, 1997), hlm. 71 dst.
[10] Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta : Logos, 1997), hlm. 80 dst.
Editor: Al-Afasy



