Teologi Al-Ma’un di Era Modern: Dari PKO ke Industrialisasi Sosial Muhammadiyah

PWMJATENG.COM – Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah, Jumari, menegaskan bahwa Teologi Al-Ma’un tetap relevan untuk menjawab tantangan zaman. Dalam sebuah ceramah, ia menyampaikan bahwa sebagian warga Muhammadiyah bertanya bagaimana pengejawantahan Teologi Al-Ma’un di era sekarang agar tetap kontekstual. Menurutnya, Persyarikatan sudah memiliki branding kuat sejak awal berdiri, salah satunya melalui lahirnya Penolong Kesengsaraan Umum (PKO).
Sejak awal abad ke-20, PKO hadir untuk memberi bantuan kepada siapa pun yang tertimpa bencana, seperti banjir, kebakaran, atau kecelakaan. Gerakan ini kemudian dilembagakan menjadi panti asuhan, rumah sakit, dan klinik. Kini, rumah sakit dan klinik milik Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah telah tersebar di seluruh Indonesia.
Jumari menegaskan bahwa Teologi Al-Ma’un adalah ikhtiar nyata Muhammadiyah untuk menghidupkan pesan Surah Al-Ma’un:
أَعُوذُ بِاللّٰهِ مِنَ الشَّيْطٰانِ الرَّجِيْمِ، أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ، فَذٰلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ، وَلَا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ، فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ، الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ، الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ، وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ.
Menurutnya, ayat ini memberi peringatan bahwa pendusta agama adalah mereka yang menyia-nyiakan anak yatim, tidak mendorong memberi makan orang miskin, dan enggan menolong sesama meski rajin beribadah. “Kesalehan ritual harus tercermin dalam kesalehan sosial,” ujarnya.
PKO di Era Baru: Fokus pada Pengangguran
Dalam konteks saat ini, Ketua PWM Jawa Tengah, Tafsir, memberikan pandangan bahwa persoalan sosial terbesar di Indonesia bukan lagi kelaparan atau bencana alam semata, tetapi pengangguran. Fenomena banyaknya orang mencari nafkah di perempatan jalan atau dekat lampu lalu lintas menjadi bukti nyata. Kondisi ini, kata Jumari, bukan untuk disalahkan, tetapi dipahami sebagai realitas sosial.
Mengutip gagasan Tafsir, ia menyampaikan bahwa perwujudan Teologi Al-Ma’un di era modern harus bergeser ke arah industrialisasi—mendirikan pabrik atau perusahaan yang mampu menyerap tenaga kerja. “Sekarang masjid sudah banyak, panti asuhan pun kesulitan mencari anak yatim. Maka, membangun usaha produktif yang menyerap tenaga kerja jauh lebih relevan,” tuturnya.
Menginfakkan Harta untuk Pabrik dan Lapangan Kerja
Jumari mengajak orang-orang yang memiliki harta berlebih untuk berinvestasi dalam usaha produktif. Menurutnya, pahala dari mendirikan pabrik atau perusahaan yang membuka lapangan kerja tak kalah besar dibanding membangun masjid di era saat ini. “Kesulitan mencari pekerjaan dialami banyak orang produktif. Menyerap tenaga kerja adalah sedekah sosial yang bernilai tinggi di sisi Allah,” ujarnya.
Ia menekankan bahwa pemahaman ajaran agama harus mengikuti dinamika zaman. Pada awal abad ke-20, panti asuhan dan klinik menjadi jawaban persoalan sosial. Kini, tantangannya adalah menciptakan mata pencaharian bagi masyarakat produktif yang menganggur.
Fenomena Menuntut Hak, Melupakan Kewajiban
Jumari juga menyoroti kecenderungan masyarakat yang lebih sering menuntut hak tanpa melaksanakan kewajibannya. Ia mencontohkan kasus siswa yang lulus dari sekolah Muhammadiyah tetapi masih memiliki tunggakan biaya. Sekolah tetap memberi fotokopi ijazah agar mereka bisa melamar pekerjaan, namun sebagian malah menuntut ijazah asli dan melaporkannya ke Ombudsman.
Baca juga, Hukum Menyindir Pasangan di Story Medsos: Memahami Adab Berumah Tangga
Menurutnya, hal ini menunjukkan kurangnya kebijaksanaan. “Sudah diberi kelonggaran, malah menuntut. Ini dagelan yang tidak lucu,” ucapnya. Ia menegaskan, semua pihak, termasuk lembaga pemerintah dan parlemen, seharusnya memahami akar persoalan sebelum membuat keputusan.
Upah di Bawah Standar demi Menekan Pengangguran
Isu lain yang disorot adalah tuntutan pekerja terhadap upah sesuai Upah Minimum Regional (UMR). Ia menjelaskan, ada amal usaha Muhammadiyah yang memang belum mampu membayar UMR, tetapi tetap mempekerjakan banyak orang. “Lebih baik menampung tenaga kerja lebih banyak dengan upah yang belum ideal daripada menambah pengangguran,” katanya.
Jumari menilai, memahami realitas lapangan penting agar tidak terjebak pada idealisme yang justru mengorbankan lapangan kerja. Problem utamanya adalah kesulitan mencari pekerjaan, sehingga solusi yang relevan adalah membuka kesempatan kerja sebanyak mungkin.
Kolaborasi Masyarakat untuk Mengurangi Pengangguran
Ia mengajak seluruh komponen masyarakat ikut berperan dalam mengatasi pengangguran. Meski ada kemungkinan sebagian bantuan tidak dimanfaatkan dengan baik, seperti mantan pekerja seks atau tunawisma yang kembali ke kebiasaan lama setelah diberi pelatihan, tetap ada manfaat dari usaha membantu mereka. “Kita ambil sisi positifnya, tidak perlu fokus pada yang negatif,” ujarnya.
Menurutnya, inilah bentuk PKO di era modern—tidak sekadar menolong korban bencana, tetapi memberdayakan masyarakat agar mandiri secara ekonomi. Ia menegaskan, Teologi Al-Ma’un bukan hanya slogan, melainkan panduan aksi nyata yang harus diadaptasi sesuai kebutuhan zaman.
Meneladani Semangat Surah Al-Ma’un
Jumari menutup dengan menegaskan bahwa membangun amal usaha yang produktif dan menyerap tenaga kerja adalah bentuk nyata menghindarkan diri dari sebutan “pendusta agama” dalam Surah Al-Ma’un. Ia mengajak masyarakat untuk tidak hanya pandai menuntut hak, tetapi juga memenuhi kewajiban masing-masing. “Kalau kewajiban tidak tertunaikan, amal usaha kita bisa terganggu. Semua pihak harus bijaksana,” tegasnya.
Kontributor : Winda Friska N
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha