Syariah, Fikih dan Budaya Keagamaan Menurut Pandangan Kiai Tafsir
PWMJATENG.COM – Warga persyarikatan yang dirahmati oleh Allah Swt. perlu kita pahami bahwa seorang muslim tidak bisa mengatakan, “Islam ya Islam” dengan tendensi menafikan paham-paham lain dalam Islam. Hal tersebut kurang lebih yang disampaikan Dr. KH. Tafsir, M.Ag. seorang pemikir Islam sekaligus Ketua PWM Jawa Tengah dalam materinya saat menghadiri Rapimda PDM Demak beberapa bulan yang lalu di Bandungan, Kabupaten Semarang.
Dalam kegiatan yang dihadiri oleh seluruh pleno PDM, unsur pembantu pimpinan PDM, organisasi otonom Muhammadiyah tingkat daerah, Pimpinan AUM se Kabupaten Demak, dan perwakilan PCM se Kabupaten Demak tersebut, Ketua PWM Jawa Tengah menjelaskan tentang konstruksi beragama di dalam Islam.
Menurut Kiai Tafsir, di dalam kita (umat Islam) beragama, paling tidak terdapat tiga hal pokok, di antaranya syariah, fikih dan budaya beragama. Tiga hal pokok ini seyogyanya mampu dipahami dengan masing-masing terminologi dan cakupan, begitu kira-kira ungkapan KH. Tafsir. Namun menurutnya, masih banyak di antara kita (umat Islam) yang tidak paham, atau malah gagal paham, dengan ketiga konsepsi tersebut dan malah cenderung mencampur adukkan urusan masing-masing level. Padahal di masing-masing level sudah ada kaidah dan tata aturannya.
Pemahaman tentang Syariah
Berbicara tentang syariah, banyak di antara umat Islam yang mengartikannya sebagai segala sesuatu tindakan/amalan di dalam Islam, baik dari dalil qoth’i maupun zanni, baik suatu hal yang sudah disebutkan di Al-Qur’an dan hadis maupun yang masih dikembangkan oleh ulama. KH. Tafsir sendiri dalam pemaparannya menyampaikan maknya dari syariah, syari’ah huwa kalamullah fil qur’an wa ma ja’at bihi sunnatu shahihatu minal awamiri wa(n) nawahi wal irsyadati li shalahil ibadi au ukhrohum; yang intinya, syariah adalah segala sesuatu yang Allah Swt. turunkan melalui Al-Qur’an dan Sunah.
“Pada level ini (syariah), terdapat kesamaan, karena ittiba’ Rasul Saw., maka rujukannya adalah Al-Qur’an dan Sunah,” terang Kiai Tafsir..
Ia menambahkan bahwa pada level syariah ini, Al-Qur’an dan Hadis belum dapat dipahami oleh manusia. Mengapa demikian? Karena perlu adanya penerjemahan, penafsiran, dan pemaknaan dari ahlul ‘ilm. Siapa para ahlul ‘ilm ini? Merekalah para ulama. Sehingga menurut penuturan KH. Tafsir, jika Al-Qur’an dan Sunah sudah tersentuh terjemahan dan tafsir, yang mana dua produk itu adalah hasil pemikiran ulama, maka pemahaman tersebut bukan lagi syariah melainkan sudah menjadi fikih.
Keseragaman dan kepatenan syariah dicontohkan oleh KH. Tafsir dengan pendapat tentang Idulfitri, waktu untuk wukuf, khamr, dan riba.
“Semua (umat Islam) sepakat jika Idulfitri ada di Bulan Syawal, semua sepakat jika wukuf itu tanggal 9 Zulhijah, semua sepakat jika khamr itu haram, dan semua sepakat jika riba itu haram,” ucapnya.
Namun demikian, menurut KH. Tafsir dari salah satu yang sudah ia sebutkan yakni Idulfitri di Bulan Syawal yang sudah menjadi domain syariah yang bersifat tetap dan tidak bisa dirubah, terdapat perdebatan dalam penentuan 1 Syawal karena hal ini (penentuan 1 Syawal) merupakan domain fikih.
Fikih, Prinsip Tajdid, dan Prinsip Islam Menyesuaikan Ruang Waktu
“Dalam level fikih terdapat prinsip tajdid dan islam salih fi kulli makan wa(z) zaman. Di level ini, Islam selalu dipengaruhi ruang dan waktu. Ruangnya berubah, maka amalan dan pemahaman (tentang syariah) bisa berubah,” ucap KH. Tafsir.
Tajdid di dalam Muhammadiyah berarti pembaharuan. Pembaharuan dalam bidang fikih yakni purifikasi, dan pembaharuan dalam bidang muamalah yakni modernisasi.
Dalam materinya, KH. Tafsir juga menyampaikan bahwa sebagai contoh fleksibilitas fikih, salah seorang imam besar di zaman imam mazhab, yakni Imam Syafii, memiliki qaulul qadim dan qaulul jadid dalam penetapan ijtihad keagamaannya.
Kemudian selanjutnya ia juga mencontohkan kembali perbedaan antara syariah dan fikih. Khilafah menurutnya bisa jadi masuk di level syariah, namun bagaimana rumusan khilafah, hal ini masuk ke ranah fikih. Begitupun dengan khamr dan rokok, khamr di dalam syariah dihukumi haram namun rokok di dalam fikih terdapat banyak pandangan yang menghukuminya, misal Muhammadiyah dengan keharaman rokok dan MUI dengan kemakruhan rokok.
BerIslam itu Siapa Mengikuti Ulama Siapa
Sebagaimana penulis ungkapkan di atas, bahwa menurut Kiai Tafsir, seorang muslim tidak bisa mengatakan, “Islam ya Islam” dengan menegasikan paham-paham yang ada di dalam Islam. Sebagai contoh, seorang muslim tidak bisa dengan mudah memahami isi dan kandungan dari Al-Qur’an jika tidak membaca tafsir ataupu terjemahannya. Atas hal tesebut menurut pendapat Kiai Tafsir, seorang muslim itu ya siapa mengikuti siapa. Misal dia membaca terjemahan Al-Qur’an Kementrian Agama (Kemenag), maka dia Islam Kemenag. Jika dia membaca Tafsir Jalalain, ya dia Islam Jalalain.
“Maka, keberadaan Muhammadiyah amatlah penting agar kita (warga persyarikatan) jelas dalam beragama,” ucap Kiai Tafsir.
Pada kesempatan tersebut ia juga menjelaskan bahwa sebelum adanya Shahih Bukhari, sudah ada ulama-ulama besar seperti Imam Syafii, Imam Hambali, Imam Hanafi, dan Imam Malik yang masing-masing diikuti oleh umat. Hal itu terjadi karena sebelum adanya Shahih Bukhari, dll, belum ada kodifikasi dan formalisasi hadis. Bahkan lebih jauh menurutnya, sejak dahulu hingga sekarang, umat Islam tidak pernah menyepakati tafsir resmi (tunggal) yang dipedomani umat Islam. Maka, hal ini menjadi legitimasi mengapa kemudian hari ini di tubuh umat Islam ada berbagai macam paham agama.
Kemudian menurutnya, pasca wafatnya nabi juga tidak ada pemimpin tunggal yang disepakati oleh seluruh umat Islam, bahkan hingga saat ini. Sehingga munculnya organisasi masyarakat, organisasi keagaamaan, menjadi alternatif untuk mengkoordinir umat meskipun dengan keragaman fikih.
“Sehingga kalau tidak ada NU dan Muhammadiyah, bisa jadi umat Islam di Indonesia hanya akan diurusi oleh takmir masjid. Jika hanya diurusi oleh takmir masjid, maka tidak akan muncul Universitas Muhammadiyah, Rumah Sakit Muhammadiyah, dsb,” kata Kiai Tafsir.
Namun meskipun demikian, menurutnya adanya ijtihad Muhammadiyah tidak boleh dipergunakan untuk menyalahkan ijtihad NU, begitupun sebaliknya.
Ijtihad dan Kontekstualisasinya pada Budaya Keagamaan dan Sosio-Kultur Masyarakat
Apakah dengan adanya ijtihad yang dilakukan Muhammadiyah, jamaah Muhammadiyah bisa seragam? Jawabannya adalah tidak! Hal sebut disampaikan oleh KH Tafsir karena jemaah menerapkan ijtihad pada kondisi sosio-kulturnya masing-masing.
Ia mencontohkan bahwa implementasi paham agama di daerah Pantai Utara (Pantura) dengan di daerah Pantai Selatan (Pansel) akan cukup berbeda. Hal ini disebabkan sosio-historis dari masing-masing daerah.
“Pantura sebagai jalur kiai dan wali, paham agamanya sangat mapan dengan kulturnya. Berbeda dengan Pansel yang merupakan jalur priyayi, yang aman tidak terlalu kuat paham agamanya, sehingga kadang mudah goyah,” ungkap Kiai Tafsir.
Hal tersebut yang menjadikan mengapa paham fikih Muhamamadiyah pada tataran implementatif tidak seragam.
Ia mencontohkan di sebuah kesempatan pada saat ia diminta oleh salah satu ranting Muhammadiyah. Di sana ia dibisiki oleh salah seorang tokoh bahwa di sana ketika melaksanakan salat Idulfitri, ketika takbir tidak mengangkat tangan. Lantas ia bertanya mengapa demikian, kemudian tokoh tersebut menjawab bahwa mereka meyakini jika dalil takbir ketika pelaksanaan salat idulfitri tidak disertai dengan mengangat tangan.
Kemudian selepas salat Ied tersebut, ia melihat bahwa para jamaah saling bersalaman sambil bersalawat, kemudian ia menananyakan kenapa bersalaman sambil salawatan, lantas tokoh setempat menjawab, “Dari pada sepi pak Kiai.”
“Inilah beragama, awalnya seperti “yak-yako” sesuai Qur’an Hadis, namun di akhir menjadi kultural sekali,” Kata Kiai Tafsir menanggapi fenomena tersebut.
Kemudian ia mencontohkan lagi, jika ada seorang Muslim di Semarang yang meninggal, maka akan diselenggarakan pengajian selama tiga hari pasca kematiannya. Namun berbeda di sebuah ranting Muhammadiyah di Magelang, bahwa pasca kematian akan diselenggarakan semaan Qur’an selama 7 hari berturut-turut.
Menurut KH Tafsir hal tersebut merupakan kreativitas fikih kultur keagamaan.
Muhammadiyah Memahami Al-Qur’an dan Sunah
Beragama tidak bisa lepas dari syariah, fikih dan budaya keagamaan. Pada level syariah tidak ada perdebatan, tapi sampai di level fikih dan budaya keagamaan perdebatannya luar biasa, dan itu tidak akan selesai. Hal ini melanda semua agama tidak hanya Islam.
“Muhammadiyah menetapkan paham agama yang puritan. Tetapi puritan sepenuhnya juga tidak bisa. Sehingga tidak ada puritan yang pure kembali pada Qur’an dan hadis, tidak ada,” ucapnya.
Maka bagaimana Muhammadiyah memahami Qur’an dan Sunah? Kemudian ditetapkan pada Muktamar di Jakarta, yakni pendekatan bayani burhani dan irfani.
“Kembali pada Qur’an dan hadis dengan pendekatan bayani (tekstual) – Al-Qur’an dan Hadis dimaknai dari sisi penjelasan (dalil), burhani (rasional, ilmu, kontekstual) – Al-Qur’an dan Hadis dipahami secara ilmiah menggunakan IPTEK, dan irfani (ruhani) – Al-Qur’an dan Hadis dipahami dengan pendekatan hati nurani, kepantasan, sehingga agama tidak hanya dipahami secara zahir (ayat) namun juga sisi spiritualitas (ruhaniyah),” jelas Kiai Tafsir.
Karena fikih tidak mungkin mutlak, maka salah satu prinsip di Majelis Tarjih adalah terbuka dan toleran. Terbuka artinya Muhammadiyah siap dikoreksi siapapun, asal mampu menunjukkan dalil yang lebih rajih (dari yang dipedomani Muhammadiyah). Dan toleran berarti Muhammadiyah tidak akan menyalahkan ulama manapun.