Siapakah Umat Tebaik? Berikut Penjelasan Wakil Ketua PWM Jateng Ibnu Hasan

PWMJATENG.COM – Dalam sebuah tausiyah yang disampaikan Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah, Ibnu Hasan, ia mengingatkan kembali tentang panggilan mulia yang disematkan Allah kepada umat Islam. “Kita ini oleh Allah dipanggil dengan panggilan yang indah: Khairu Ummah — sebaik-baik umat,” tuturnya. Seruan itu, menurutnya, bukan sekadar gelar kehormatan, tetapi juga mengandung tanggung jawab besar sebagai umat terbaik di muka bumi.
Pertanyaan mendasar kemudian muncul: siapakah yang dimaksud sebagai umat terbaik itu? Ibnu Hasan menjelaskan bahwa umat terbaik adalah umat Nabi Muhammad ﷺ. Dari seluruh manusia yang pernah hidup di dunia, umat Nabi-lah yang memiliki posisi istimewa karena menjadi penerus risalah kenabian terakhir yang membawa rahmat bagi seluruh alam.
Namun, dalam lingkup umat Islam sendiri, muncul pertanyaan lanjutan: siapakah yang paling utama di antara umat Nabi Muhammad ﷺ? Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari Rasulullah ﷺ, disebutkan:
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
Khairunnāsi qarnī, tsumma alladzīna yalūnahum, tsumma alladzīna yalūnahum“Sebaik-baik manusia adalah yang hidup pada zamanku, kemudian generasi setelahnya, lalu generasi setelahnya lagi.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ibnu Hasan menjelaskan, generasi yang hidup sezaman dengan Rasulullah adalah para sahabat. Mereka adalah orang-orang yang langsung menerima bimbingan dari beliau, menyaksikan teladan hidupnya, dan berjuang bersama dalam menegakkan Islam. Setelah para sahabat, generasi berikutnya adalah tabi‘in, yaitu mereka yang tidak bertemu Rasulullah tetapi sempat berguru kepada para sahabat. Kemudian setelah itu datang generasi tabi‘ut tabi‘in, yakni murid-murid dari para tabi‘in.
Ketiga generasi itu, kata Ibnu Hasan, dikenal dalam sejarah Islam sebagai generasi terbaik karena keimanan, keikhlasan, dan keteguhan mereka dalam menjaga ajaran Islam. Mereka adalah generasi yang tidak hanya mewarisi pengetahuan, tetapi juga semangat perjuangan Rasulullah ﷺ.
Dalam tausiyahnya, Ibnu Hasan juga menukil sebuah kisah dari sahabat Nabi, Abu Sa‘id al-Khudri. Suatu ketika, sahabat itu berkata kepada Rasulullah ﷺ, “Ya Rasulullah, ṭūbā liman ra’āka wa āman bika — Wahai Rasul, berbahagialah orang yang dapat melihatmu dan beriman kepadamu.” Rasulullah ﷺ menjawab, “Ṭūbā liman ra’ānī wa āman bī — Benar, sungguh berbahagia orang yang melihatku dan beriman kepadaku.”
Baca juga, Muhammadiyah Umumkan Jadwal Puasa Ramadan 2026, Catat Tanggal Resminya!
Namun, Rasulullah tidak berhenti di situ. Beliau kemudian melanjutkan sabdanya dengan penuh kasih, tiga kali mengulang pernyataan yang menggetarkan hati:
طُوبَى لِمَنْ آمَنَ بِي وَلَمْ يَرَنِي
Ṭūbā liman āmana bī wa lam yarani“Berbahagialah orang yang beriman kepadaku, meskipun ia tidak pernah melihatku.” (HR. Ahmad)
Ibnu Hasan menuturkan, pengulangan tiga kali tersebut menunjukkan betapa besar penghargaan Rasulullah terhadap orang-orang yang datang setelah beliau, yang tetap teguh beriman walau tidak pernah menyaksikan wajahnya. “Sahabat memang mulia karena hidup sezaman dan beriman kepada Rasulullah,” ujarnya, “namun Rasulullah memberikan kabar gembira berulang kali bagi kita yang hidup setelah beliau wafat, tetapi tetap beriman dan berpegang teguh pada ajarannya.”
Menurut Ibnu Hasan, inilah kemuliaan yang luar biasa bagi umat Islam masa kini. Meskipun tidak hidup di zaman Rasulullah ﷺ, umat Islam tetap bisa meraih derajat tinggi di sisi Allah dengan iman yang kokoh dan keistiqamahan dalam meneladani sunnah beliau. “Itu sebabnya, kita jangan merasa rendah diri hanya karena tidak hidup di masa Rasulullah,” katanya menegaskan. “Justru di era yang penuh ujian seperti sekarang, keimanan yang teguh tanpa melihat beliau memiliki nilai yang sangat besar di hadapan Allah.”
Ia kemudian menekankan bahwa menjadi bagian dari Khairu Ummah bukan hanya karena status keislaman semata, melainkan karena peran aktif dalam menegakkan kebenaran, menebarkan kebaikan, dan mencegah kemungkaran. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an surah Ali Imran ayat 110:
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
Kuntum khaira ummatin ukhrijat linnās ta’murūna bil-ma‘rūfi wa tanhauna ‘anil munkari wa tu’minūna billāh“Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, serta beriman kepada Allah.”
Melalui ayat dan hadis tersebut, Ibnu Hasan mengajak umat Islam untuk meneguhkan kembali identitas keimanan mereka. “Menjadi umat terbaik tidak otomatis, melainkan harus dibuktikan dengan amal nyata dan keimanan yang kokoh,” ujarnya.
Ia menutup tausiyahnya dengan pesan reflektif, bahwa kebahagiaan sejati bukan terletak pada kesempatan melihat Rasulullah ﷺ, tetapi pada keistiqamahan dalam meneladani ajarannya. “Beruntunglah orang yang beriman kepada Rasulullah, meski tidak pernah melihat beliau. Karena iman seperti itulah yang menjadi bukti cinta sejati kepada Nabi akhir zaman,” pungkasnya.
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha