Semarak Kebudayaan Islam dalam Tajdid Muhammadiyah
Oleh : Rudi Pramono, S.E.*
PWMJATENG.COM – Menyimak video Nurbani Yusuf tampaknya beliau begitu mengagumi dan menikmati tradisi NU di bulan Ramadhan, memang demikianlah cara saudara kita dalam berdakwah, paham keagamaan dan kita paham betul itu bagian strategi dakwah para wali, cuma sayangnya sampai menganggap sebagai kelebihan dan kekurangan Muhammadiyah sambil menunjukkan ketidaksukaannya kepada Muhammadiyah yang suka membid’ahkan, padahal tidaklah demikian karena di Muhammadiyah itu juga ada dakwah kultural.
Sesungguhnya Muhammadiyah dan NU itu beda strategi perjuangannya dan itu tidak masalah, di NU agama’ jadi semarak, gembira, serba cair dan fleksibel yang memang itulah strategi dakwah yang berakar dari para wali dalam penyebaran Islam di tengah masyarakat awam, budaya tidak dihilangkan tapi bersenyawa dengan agama, Islam yang mengalami transformasi dengan budaya, oleh para wali kemudian diciptakan beragam tradisi Islam dalam rangka penyebaran dan menjaga keimanan umat seperti rajaban, muludan, kupatan, tahlilan, yasinan, khataman, berjanjenan, sholawatan, syawalan, diba’an, manaqiban, sekaten, bahkan dalam ruang lingkup yang termasuk fundamental, aqidah Islampun bersenyawa dengan ajaran dari pra-Islam terutama dalam upacara siklus kematian, kelahiran dan perkawinan, umat lebih akrab dengan istilah surtanah, nelung dino, pitung dino, nyatus, nyewu, mendak, menghitung hari baik calon penganten, puputan, tedak siti dalam rangkaian upacara kelahiran anak, dst. Siapa yang mempengaruhi siapa yang dipengaruhi, siapa mendominasi dan siapa yg terdominasi, siapa yang menjadi kultur siapa sub kulturnya? Apakah agama atau budaya? Menjadi bahan kajian sejarawan muslim dan antropolog Barat
Strategi perjuangan Muhammadiyah dalam 2 wilayah: Pertama aktifisme dakwah pemurnian, melakukan seleksi mana budaya yang bertentangan dengan aqidah Islam, mana yang tidak, termasuk kebudayaan global yang hedonis dan liberal. Bagi Muhammadiyah dalam aqidah dan ibadah rujukannya pasti Al Qur’an dan As Sunnah. Agama itu sederhana tak lain sebagai pedoman hidup, tafsir kedua sumber ajaran Islam tersebut sejauh mungkin berujung menjadi pegangan hidup manusia setiap jaman, tafsir yang bukan hudan linnas cenderung ditolak, mungkin itu budaya Arab dan tidak kontekstual. Kedua Transformasi Amal Shalih melembagakan amal saleh. Muhammadiyah memang ‘sepi’ tapi sepi ing pamrih rame ing gawe begitu pepatah Jawa, diamnya Muhammadiyah itu berpikir, merenung mencermati amaliyah umat, semua melaksanakan rukun Islam dan menyakini rukun iman tapi kenapa tidak berpengaruh terhadap kehidupannya, tetap bodoh dan terbelakang, beku dan jumud mungkinkah karena tradisi taqlid, kultus dan menutup pintu ijtihad?
Baca juga, Lokasi, Khatib, dan Imam Salat Idulfitri Jawa Tengah Tahun 2024
Dari 2 ranah perjuangan itulah dirumuskan konsep Tajdid Muhammadiyah, pemurnian dalam aqidah dan ibadah dan transformasi sosial keagamaan, menolak taklid dan mengusung ijtihad, orang beriman itu harus maju maka tradisi yang dibangun Muhammadiyah adalah beramal, jargon ilmu amaliyah, amal ilmiyah, sedikit bicara banyak kerja, beragama butuh bukti nyata, melalui ideologi amal maka Muhammadiyah bekerja membangun umat yang telah ‘diislamkan’ oleh saudara kita dengan berbagai ragam amal shalih pendidikan, kesehatan, sosial dan ekonomi menuju umat yang berdaya, maju dan tercerahkan. Inilah Semarak Kebudayaan Islam versi Muhammadiyah.
Kebaikan bisa datang dari mana saja termasuk dari aktifitas nahdliyin, maka Muhammadiyah juga punya Dakwah Kultural namun dibingkai dalam tajdid. Seperti kata Kyai Tafsir (Ketua PWM Jateng) dalam kebudayaan Muhammadiyah tidak akan babar blas tapi juga tidak keblabasen. Dalam sejarah KH Ahmad Dahlan beliau seorang Khatib di Masjid Gede Kraton Yogyakarta, berarti beliau lekat dengan budaya Jawa yang sinkretis kemudian ibadah haji dua kali dan belajar di Mekah bertemu dengan pikiran2 ulama2 pembaharu dari yang paling puritan seperti Taqiyudin Ibnu Taimiyah, Muh. Bin Abdul Wahab sampai pikiran modernis seperti Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha itulah yang kemudian Puritanisme Muhammadiyah itu unik tidak keras seperti Salafi Wahabi tapi wasathiyah moderat, terbuka tapi tegas batasnya dan lebih ke arah solusi komprehensif melalui dakwah dan amal usaha.
Kedua ormas itu memang memiliki wilayah perjuangan dan konsentrasi yang berbeda namun sama-sama menuju kemajuan umat. Muhammadiyah seperti negara mengurusi semuanya dari persoalan keagamaan, dakwah pembangunan SDM, pelayanan kesehatan, kemanusiaan, memberdayakan masyarakat, persoalan lingkungan, bencana, sampai soal hukum, politik dan peradaban dan inilah semarak aktivisme Muhammadiyah. Agama bagi Muhammadiyah itu juga sederhana bagaimana dengan beragama kita mendapat pegangan hidup dalam beribadah dan mengamalkannya sehingga bermanfaat bagi orang banyak sebagai perwujudan Hamba dan Khalifah Allah.
Dalam perkembangannya NU juga terinspirasi dan mengalami perluasan amaliyah pendidikan, kesehatan, sosial dan ekonomi seperti Muhammadiyah dengan ciri khasnya sendiri. Muhammadiyah juga memiliki Pondok Pesantren. Jadi kedua ormas Islam itu saling terinspirasi dan mengalami dinamika yang sama namun tetap memiliki wataknya sendiri yang berbeda tapi bersatu untuk kemajuan umat sekaligus menjaga bangsa dan negara seperti dua sayap burung Garuda membawa Indonesia terbang tinggi, Indonesia yang baldlatun toyyibatun wa rabbun ghafur
*Ketua MPI PDM Wonosobo.
Editor : M Taufiq Ulinuha