Salat Id Tanggal 28 Tapi Menyembelih Kurban Tanggal 29 Juni, Patutkah?
Oleh : Dr. H. Ahwan Fanani, M.Ag.*
PWMJATENG.COM – Himbauan Sekretaris PP Muhammadiyah agar warga Persyarikatan yang sudah mendapat fasilitas hari libur tanggal 28 Juni, untuk menyembelih kurban pada tanggal 29 Juni mendapatkan respon beragam. Ada yang tidak mempermasalahkannya karena mungkin masjid di lingkungan mereka menyelenggarakan salat Iduladha tanggal 29 Juni sehingga himbauan tersebut tinggal membenarkan untuk berkurban bersama tanggal 29 Juni. Ada pula yang menyayangkan dan mempertanyakan himbauan tersebut karena seolah Iduladha 28 Juni terasa setengah hati, terlebih di masjid milik atau di lingkungan warga Persyarikatan.
Di salah satu grup WA pun ada pertanyaan tentang bagaimana menyikapi himbauan di atas. Menurut statusnya, himbauan itu tidak masuk kategori putusan atau edaran dan bukan pula fatwa. Tetapi mau disebut opini Sekretaris PP Muhammadiyah kok terasa janggal karena opini biasanya dikaitkan dengan pendapat pribadi tokoh Muhammadiyah, sedangkan himbauan Sekretaris PP Muhammadiyah ini bersinggungan antara opini dan fatwa, meski bukan fatwa Tarjih.
Alhasil, sampailah sebuah pesan singkat di WA untuk meminta opini. Sudah barang tentu yang meminta opini mafhum bahwa penyembelihan hewan kurban boleh pada tanggal 10-13 Zulhijah, kecuali pengikut madzhab Dzahiri yang berpendapat bahwa penyembelihan hewan kurban hanya tanggal 10 Dzulhijjah. Jadi, penyembelihan hewan kurban tanggal 29 Juni, meski Salat Id tanggal 28 Juni bukanlah soal besar.
Warga Persyarikatan umumnya menghormati dan mematuhi instruksi pimpinan, tetapi sejak dini mereka diajarkan juga untuk tidak taklid alias tetap berpikir kritis. Sehingga wajar timbul pertanyaan-pertanyaan. Salah satunya, mengapa kita tidak konsisten saja dengan pilihan kita dengan Iduladha tanggal 28 Juni sehingga penyembelihan hewan pun dilakukan tanggal 28 Juni?
Baca juga, Pemimpin Lemah dan Anak Buah yang Tak Tahu Diri
Tentu jawabannya bukan terletak pada hukum fikih semata, melainkan pada pertimbangan kemaslahatan. Perkenan Pemerintah untuk memberikan libur untuk dua hari Iduladha adalah fenomena unik, sekaligus berani warga Persyarikatan perlu melihat dimensinya secara lebih jernih.
Pertama, baru kali ini perbedaan perayaan Iduladha diakomodasi oleh Pemerintah secara sama. Terlepas apa alasan di balik itu, cukuplah kita menghargai iktikad baik tersebut. Iktikad baik ini sudah sesuai dengan prinsip penghargaan pada hak beribadah warga negara. Meski yang melaksanakan Iduladha tanggal 28 Juni bukan mayoritas umat Islam, tetapi secara kuantitas sudah pasti cukup besar jumlahnya, bahkan lebih besar dari penganut agama “minoritas” yang juga mendapat hari libur untuk perayaan keagamaannya. Jadi, sebetulnya keputusan Pemerintah untuk mengakomodasi Iduladha tanggal 28 dan 29 Juni adalah wajar, meski tetap saja ini keputusan luar biasa.
Kedua, ketika warga Persyarikatan mendapatkan penghargaan, maka sebagai imbalannya perlu melihat imperasi etik dari pengakuan Pemerintah tersebut Pelaksanaan Iduladha tanggal 28 Juni ini berbarengan dengan Iduladha di Tanah Suci. Sudah barang tentu, akan banyak umat Islam, yang bukan warga Persyarikatan pun akan menjalankan Iduladha tanggal 28 Juni. Kondisi tersebut tentu menimbulkan ketidak nyamanan bagi beberapa pihak, dengan alasan:
- Jika terdengar takbir di masjid tanggal 28 Juni, secara moral akan membuat yang Salat Iduladha tanggal 29 Juni di beberapa daerah akan kehilangan greget.
- Jikalau warga Muhammadiyah bergembira menyembelih hewan kurban, apalagi makan bersama, sedangkan sebagian umat Islam menjalankan puasa Arafah, maka akan menimbulkan situasi kurang nyaman.
- Akomodasi Pemerintah terhadap Iduladha tanggal 28 Juni itu ditandatangani oleh menteri-menteri dari Saudara kita sebelah, yang mungkin merayakan Iduladha tanggal 29 Juni. Tentu kurang elok jika warga Persyarikatan tidak menghargai keluasan hati mereka dengan membalas melalui sikap yang kurang baik.
- Umumnya penyembelihan kurban adalah aktivitas sosial dan gotong royong. Maka, al-khuruj min al-khilaf mustahab (keluar dari perselisihan pendapat lebih baik). Bukan berarti keluar dari khilaf di sini dengan meninggalkan pendapat kita, tetapi dengan meminimalisir kemungkinan riak di masyarakat. Hal itu tanpa dinyatakan pun menjadi kepentingan Pemerintah, yaitu untuk menjaga ketertiban umum.
Terlepas dari berbagai dinamika di atas, perjuangan para pakar, ulama dan warga Muhammadiyah untuk membela hak keagamaannya telah mendapatkan buah yang manis. Kita berharap kebijakan akomodasi ini akan berlangsung terus nantinya. Memang, ada cost yang harus dibayar oleh Pemerintah dan dunia usaha dengan bertambahnya hari libur nasional.
Namun, jika kita percaya bahwa agama akan membawa kebaikan bagi umat Islam maupun negara tentu cost demikian sepadan. Lagi pula, program moderasi beragama juga perlu bukti nyata, agar tidak menjadi slogan kosong.
*Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PWM Jawa Tengah
Editor : M Taufiq Ulinuha