
PWMJATENG.COM, Surakartaย โย Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) kembali menggelar Kajian Tarjih secara daring melalui Zoom Meeting pada Selasa (24/6). Kajian rutin ini menghadirkan Kepala Lembaga Pengembangan Pondok, Al-Islam, dan Kemuhammadiyahan (LPPIK) UMS, Imron Rosyadi. Dalam kajian tersebut, dua topik penting menjadi sorotan: hukum pelaksanaan Salat Id dua kali dan qada salat bagi perempuan yang haid.
Dalam pemaparannya, Imron menjelaskan bahwa isu Salat Id dua kali kerap muncul di kalangan warga Muhammadiyah. Hal ini terutama terjadi saat penetapan 1 Syawal berbeda antara Muhammadiyah dan pemerintah.
โTahun 2026, Muhammadiyah memprediksi 1 Syawal jatuh pada 20 Maret, sementara pemerintah kemungkinan menetapkan pada 21 Maret. Ini memunculkan pertanyaan di masyarakat: apakah boleh Salat Id dilaksanakan dua kali?โ ujarnya.
Menjawab hal itu, Imron mengutip fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Dalam fatwa tersebut, Salat Id termasuk ibadah mahdhah, yaitu ibadah yang tata cara dan waktunya telah diatur secara tegas oleh syariat.
โHadis riwayat Imam Al-Bukhari menyatakan bahwa Salat Idulfitri hanya sah dilakukan pada 1 Syawal. Jika dilaksanakan lebih dari sekali, atau di luar waktu tersebut, maka tidak sesuai dengan tuntunan Nabi,โ jelasnya.
Namun, Imron menyebut ada pengecualian dalam kondisi darurat. Misalnya, jika di suatu tempat hanya ada satu orang yang mampu menjadi imam dan khatib. โDalam situasi seperti itu, Salat Id boleh dilakukan dua kali, tetapi bukan karena mengikuti dua versi penetapan 1 Syawal,โ tegasnya.
Baca juga,ย Kalender Hijriah Global Tunggal
Ia juga menyinggung pandangan Imam Syafiโi yang membolehkan seseorang melaksanakan Salat Id secara pribadi jika melihat hilal terlebih dahulu. Namun menurutnya, hal ini tidak relevan bagi Muhammadiyah yang menetapkan awal bulan melalui metode hisab hakiki wujudul hilal.
โHisab adalah metode pasti. Tidak ada kemungkinan perbedaan sebagaimana pada metode rukyat,โ katanya dengan mantap.
Topik kedua yang dibahas Imron adalah mengenai kewajiban qada salat bagi perempuan yang sedang haid. Ia menyatakan bahwa menurut fatwa Majelis Tarjih Muhammadiyah, perempuan yang sedang haid tidak diwajibkan mengganti salat yang ditinggalkan selama masa haid.

โDalilnya berasal dari hadis-hadis shahih yang diriwayatkan Aisyah RA. Ketika haid, perempuan dibebaskan dari kewajiban salat. Setelah suci, mereka tidak perlu mengganti salat yang tertinggal. Ini berbeda dengan puasa,โ ungkapnya.
Menurutnya, pandangan yang mewajibkan perempuan haid mengqada salat umumnya bersumber dari madzhab Syafiโi dan Hanbali, bukan dari dalil yang kuat dan eksplisit.
โMajelis Tarjih memilih berpegang pada dalil yang lebih kuat dan tidak membebani perempuan secara berlebihan,โ tambahnya.
Di akhir sesi, Imron mengimbau seluruh peserta untuk mengikuti hasil ijtihad Majelis Tarjih. Ia menekankan bahwa keputusan-keputusan tarjih dibuat melalui kajian ilmiah dan berdasarkan dalil yang sahih.
โJangan ragu mengikuti fatwa resmi persyarikatan. Penetapan waktu ibadah kita sudah berbasis metode ilmiah dan tanggung jawab syarโi,โ tandasnya.
Kontributor : Yusuf
Ass Editor : Ahmad; Editor :ย M Taufiq Ulinuha