Revolusi dan Evolusi dalam Perubahan Sosial: Pelajaran dari Dakwah Nabi Muhammad SAW

PWMJATENG.COM – Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah, M. Abduh Hisyam, menjelaskan bahwa istilah revolusi merujuk pada perubahan cepat dan radikal, biasanya terkait peristiwa politik yang mengganti rezim atau sistem. Perubahan itu kerap disertai kekerasan, sebagaimana revolusi kemerdekaan Indonesia yang diwarnai pertempuran melawan Belanda dan Jepang, atau reformasi 1998 yang menumbangkan rezim otoriter dengan korban jiwa yang tidak sedikit. “Revolusi hampir selalu memakan anaknya sendiri,” ujarnya.
Ia mencontohkan revolusi industri di Inggris ketika mesin uap ditemukan. Pabrik-pabrik yang sebelumnya mengandalkan tenaga manusia dan hewan beralih ke mesin, menyebabkan banyak pekerja kehilangan pekerjaan. Fenomena serupa terjadi dalam revolusi digital. Layanan seperti WhatsApp menggantikan surat pos, wesel, hingga televisi konvensional. “Kini informasi terkirim dalam hitungan detik,” katanya.
Selain revolusi, terdapat evolusi, yakni perubahan perlahan dalam waktu lama. Teori Darwin maupun pemikiran Ibnu Khaldun menggambarkan perubahan fisik makhluk hidup akibat iklim dan lingkungan. Misalnya, perbedaan leher kura-kura di Kepulauan Galápagos atau warna kulit manusia di berbagai wilayah. “Fenomena alam membentuk keragaman fisik manusia,” jelasnya.
Dakwah Nabi: Revolusi atau Evolusi?
Abduh menegaskan, dakwah Nabi Muhammad SAW mengubah masyarakat Arab dari penyembah berhala menjadi penganut tauhid dalam waktu 23 tahun. Meski tampak cepat, proses itu memiliki fondasi karena masyarakat Arab sudah mengenal ajaran tauhid dari peninggalan Nabi Ibrahim AS melalui Yahudi dan Nasrani. Beberapa tokoh Makkah seperti Waraqah bin Naufal dan Zaid bin ‘Amr sudah menolak penyembahan berhala sebelum kenabian.
Keunggulan Nabi, kata Abduh, terletak pada dakwah yang menyatukan hablum minallah dan hablum minannas. Keimanan harus diwujudkan dalam amal saleh, sehingga iman tanpa amal ibarat roh tanpa jasad.
Di Makkah, Nabi mengangkat isu ketimpangan sosial, mengkritik penumpukan harta tanpa berbagi, dan penelantaran anak yatim. Ia menegaskan bahwa kekufuran adalah tidak bersyukur kepada Allah, sebagaimana firman-Nya:
لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّك ۖ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
Baca juga, Perbedaan Pandangan Bacaan Rakaat Ketiga dan Keempat Salat, Berikut Penjelasan Tarjih Muhammadiyah!
Tahapan dakwah terlihat dalam pengharaman khamar. Awalnya, Al-Qur’an hanya menyebut mudarat khamar lebih besar daripada manfaatnya. Larangan mendekati salat dalam keadaan mabuk pun turun, hingga akhirnya Allah berfirman:
إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ … رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ
Proses bertahap ini mencegah penolakan masif terhadap larangan yang mengubah kebiasaan.
Kesetaraan Gender dalam Islam
Menurut Abduh, Al-Qur’an idealnya mendorong monogami. Masyarakat Arab kala itu lazim berpoligami hingga sepuluh istri. Ayat yang membolehkan hingga empat istri disertai syarat adil, lalu ditegaskan:
فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً
Bahkan, ayat lain menyatakan, “Kamu tidak akan mampu berbuat adil walaupun berusaha”. Ini menunjukkan tujuan akhirnya adalah monogami.
Kesetaraan juga berlaku dalam warisan. Zaman jahiliah menafikan hak perempuan, namun Islam memberi bagian setengah dari laki-laki. Abduh menilai, kelak ketika kesadaran sosial matang, pembagian bisa setara berdasar keridaan.
Tentang akikah, masyarakat Arab dulu merayakan kelahiran anak laki-laki dengan dua kambing, sementara anak perempuan hanya satu. Nabi mengubah pandangan ini dengan merayakan kelahiran putrinya, menunjukkan bahwa perempuan setara derajatnya dengan laki-laki. Firman Allah menegaskan:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً
Penghapusan Perbudakan secara Evolutif
Abduh memaparkan, di dunia kuno perbudakan adalah budaya global. Nabi tidak langsung menghapusnya, melainkan menciptakan mekanisme pembebasan melalui anak keturunan budak yang lahir dari tuannya. Cara ini memicu kesadaran moral untuk memerdekakan budak, sehingga perbudakan berkurang secara alami.
Pelajaran untuk Perubahan Sosial
Dari uraian itu, Abduh menyimpulkan, perubahan besar tidak selalu efektif jika dilakukan secara revolusioner. Dakwah Nabi menunjukkan bahwa strategi evolutif—bertahap, konsisten, dan berlandaskan nilai—lebih mampu mengakar dalam masyarakat. Revolusi mungkin membawa percepatan, namun sering diiringi korban besar. Evolusi sosial memberi ruang adaptasi, menjaga stabilitas, dan memastikan nilai baru diterima secara berkelanjutan.
Kontributor : Defi Al Q
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha