Perjuangan Perempuan dan Difabel Hadapi Krisis Iklim: “Kami Bukan Korban, Tapi Penjaga Kehidupan”

PWMJATENG.COM, Jakarta – Eco Bhinneka Muhammadiyah kembali menyuarakan keadilan iklim melalui diskusi publik bertajuk Perjuangan Perempuan Pembela Tanah Air, Jumat (20/6/2025). Kegiatan ini merupakan bagian dari agenda Walk for Peace and Climate Justice serta program SMILE (Strengthening Youth Multifaith Leader Initiative on Climate Justice through Ecofeminism). Fokus diskusi tertuju pada ketimpangan yang dihadapi perempuan dan penyandang disabilitas dalam situasi krisis iklim, sekaligus meneguhkan peran strategis mereka dalam perjuangan sosial dan ekologi.
Sebanyak 30 peserta dari berbagai organisasi kepemudaan lintas iman dan komunitas difabel hadir dalam kegiatan tersebut. Dati Fatimah, peneliti dan konsultan gender, serta Nurhayati Ratna Sari Dewi, Sekretaris III Himpunan Difabel Muhammadiyah (HIDIMU) Pusat, hadir sebagai narasumber. Diskusi dipandu oleh Pritty Dwi Arlista dari HIDIMU.
Dati Fatimah membuka diskusi dengan refleksi spiritual. Ia mengaitkan kisah Siti Hajar dalam Iduladha sebagai simbol perjuangan perempuan dalam menjaga kehidupan. “Jihad Siti Hajar adalah jihad menjaga kehidupan. Ini sejalan dengan perjuangan perempuan masa kini dalam menghadapi krisis iklim,” ujarnya.
Menurut Dati, menjaga kehidupan adalah bentuk jihad yang nyata dan relevan, mencakup tindakan sederhana seperti menyediakan air dan pangan untuk keluarga. Ia menyatakan bahwa pesan serupa ditemukan dalam banyak agama dan keyakinan, menunjukkan bahwa nilai perlindungan terhadap kehidupan adalah universal.
Ia menekankan bahwa krisis iklim bukan sekadar persoalan lingkungan, melainkan juga isu keadilan sosial. “Kelompok rentan seperti perempuan dan penyandang disabilitas menghadapi beban yang lebih berat,” tegas Dati. Data dari World Meteorological Organization menyebutkan lebih dari 184 ribu jiwa meninggal akibat cuaca ekstrem selama 2010–2019.
Baca juga, Meneladani Strategi Parenting Nabi Ibrahim: Mendidik Anak dengan Keteladanan dan Pengorbanan
Kondisi serupa juga terjadi di Indonesia. Hingga tahun 2024, banjir, kebakaran hutan, dan cuaca ekstrem tercatat sebagai bencana yang paling sering terjadi. Namun, dampaknya tidak dirasakan secara merata. “Perempuan dan difabel mengalami kerentanan berlapis dalam situasi seperti ini,” tambahnya.
Dalam penelitiannya di Tambaklorok dan Ogan Komering Ilir pada 2018, Dati menemukan bahwa perempuan memikul tanggung jawab berat dalam mengelola pangan, air, energi, dan keuangan keluarga saat menghadapi krisis iklim. Ia mengajak generasi muda, terutama Gen Z, untuk aktif dalam gerakan konsumsi ramah lingkungan dan advokasi keadilan iklim yang inklusif.

Sementara itu, Nurhayati Ratna Sari Dewi menyampaikan bahwa perempuan difabel sering mengalami diskriminasi ganda. “Kami menghadapi stigma sebagai perempuan dan sebagai penyandang disabilitas. Akses terhadap pekerjaan, pendidikan, bahkan ruang publik pun menjadi semakin terbatas,” ungkapnya.
Ia mengacu pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 yang mendefinisikan disabilitas sebagai keterbatasan fisik, intelektual, mental, atau sensorik yang berdampak pada partisipasi sosial. Menurut Nurhayati, salah satu bentuk disabilitas yang masih minim perhatian adalah disabilitas psikososial.
“Banyak tempat kerja belum menyediakan ruang bagi kami yang memiliki disabilitas mental atau psikososial. Padahal, akomodasi seperti pelatihan kerja yang disertai pendampingan, sistem kerja fleksibel, dan kerja dari rumah bisa membuka ruang partisipasi yang setara,” jelasnya.
Ia juga menyoroti pentingnya transportasi publik yang aksesibel. “Transportasi umum yang ramah difabel bukan sekadar memudahkan mobilitas, tetapi menjadi simbol kehadiran negara bagi semua warga,” katanya.
Kontributor : Farah
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha