Berita

Perintis atau Pewaris: Mana yang Sebenarnya Lebih Keren?

Oleh: Abdul Rasyid, S.E. (Ketua Umum PD IPM Kota Pekalongan 2014-2015/Sekretaris PCM Banjarharjo Brebes)

PWMJATENG.COM, Pada dasarnya, menjadi generasi perintis maupun pewaris sama-sama baik. Mau dicari kelebihan dan kekurangannya, tentu ada. Tinggal kita memilih dari sisi mana ingin melihatnya.

Sering kali kita justru membenturkannya. Seolah-olah generasi perintis adalah yang terbaik karena memulai dari nol, sedangkan generasi pewaris dianggap “kurang baik” karena memulai dari angka 50, 60, atau bahkan 90.

Kita terjebak pada cara pandang biner: perintis itu benar, pewaris itu salah. Jika sudut pandang kita seperti ini, ya repot. Kita gagal melihat sisi baik dari keduanya. Bisa jadi kita hanya merasa hidup kita kurang beruntung dibanding mereka yang sudah cukup kaya, sehingga muncul sikap nyinyir.

Menjadi generasi perintis itu baik. Ada kebanggaan tersendiri, sebuah “pride”, sekaligus “legacy” yang bisa diwariskan kepada anak-cucu.

Memulai segalanya benar-benar dari nol jelas tidak mudah. Bekerja, mengumpulkan modal, mengurus semuanya sendiri. Kerja tanpa kenal waktu, dari pagi ketemu pagi. Kisah heroik semacam ini sering kita dengar—bahkan mungkin pelakunya adalah orang tua kita, atau kita sendiri.

Semua itu dilakukan demi orang-orang tercinta: anak dan cucu. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 9:

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang sekiranya meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka, yang mereka khawatir terhadap kesejahteraannya. Maka hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.”

Lemah di sini maksudnya adalah lemah secara finansial—tidak memiliki bekal yang cukup untuk hidup mandiri dan sejahtera. Menjadi generasi perintis berarti melaksanakan perintah Allah untuk menghindarkan keturunan dari kelemahan itu, dan itu sangat mulia. Keren, bukan?

Lalu, bagaimana jika kita ternyata generasi pewaris? Ya tidak apa-apa juga. Justru itu harus disyukuri. Itu adalah privilege yang sebaiknya dimanfaatkan seoptimal mungkin.

Banyak yang mengira menjadi generasi pewaris itu enak. Serba cukup, mau bisnis didukung orang tua, fasilitas lengkap. Padahal pewaris pun punya bebannya sendiri. Seolah-olah harus selalu sukses dan tidak boleh gagal.

Kalau berhasil, dibilang, “wajar, kan anak orang kaya.” Kalau gagal, dicibir, “sudah dapat privilege, masih gagal juga.” Di mata orang yang iri atau dengki, generasi pewaris memang serba salah.

Terlahir sebagai pewaris merupakan privilege luar biasa. Dalam bisnis misalnya, kalau gagal pun masih ada backup dari orang tua. Peluang sukses jelas lebih besar dibanding mereka yang tidak punya privilege itu. Sementara bagi yang tidak punya, salah langkah bisa langsung wassalam.

Lagi pula, menjadi pewaris bukanlah kesalahan. Kita tidak bisa memilih lahir dari rahim siapa. Kalau bisa memilih, mungkin semua orang ingin lahir dari keluarga konglomerat dengan harta tujuh turunan.

Biasanya, yang paling vokal mencibir generasi pewaris adalah mereka yang sedang berjuang sebagai perintis. Kesulitan yang datang bertubi-tubi membuat mereka membandingkan hidupnya dengan orang lain yang tampak lebih mudah. Apalagi kalau melihat pewaris yang “sok-sokan” memulai dari nol, padahal punya privilege besar.

Beberapa waktu lalu, warganet sempat geram dengan bocil Ryu Kintaro—anak usia 9 tahun berpenghasilan Rp1 miliar—karena mengomentari soal generasi perintis dan pewaris. Dari penuturannya, jelas ia bukan anak biasa. Bisa dibilang, anak yang tumbuh dewasa sebelum waktunya.

Ungkapannya yang viral: “Yang paling seru itu hidup sebagai perintis. Enggak ada yang nunjukin arah, enggak ada yang menjamin hasil, tapi justru itu letak asyiknya,” memicu pro dan kontra.
Apa yang ia sampaikan sebenarnya benar, tetapi kurang tepat jika datang darinya. Kenapa? Karena ia adalah anak kecil yang jelas punya privilege besar. Orang tuanya punya gurita bisnis di mana-mana. Kalau ucapan itu keluar dari Pak Chairul Tanjung, misalnya, mungkin tidak ada yang protes.

Akan lebih aman jika Ryu berkata, “Saya ini generasi pewaris. Saya bisa seperti sekarang karena papa mengajari saya mengatur waktu, disiplin, ikut les, ngonten, bahkan menghadiahi saya bisnis. Mentor bisnis saya ya papa sendiri.”

Masalahnya, generasi pewaris kadang tampil seolah-olah mereka perintis. Nah, itu yang memicu warganet kesal. Pesannya benar, tapi penyampaiannya tidak tepat.

Daripada ribut soal perintis atau pewaris, toh tidak akan mengubah keadaan kita. Jangan sampai kita malah menyalahkan takdir. Alih-alih bersyukur, kita justru bisa terjebak pada kufur nikmat.
Lebih baik fokus pada diri sendiri. Kalau bukan pewaris, ayo kita ikhtiarkan menjadi perintis. Kalau pewaris, lanjutkan apa yang sudah ada—syukur bisa lebih baik, minimal bertahan, dan jangan sampai merusak apa yang telah dibangun oleh orang tua atau pendahulu.

Hidup tidak selamanya senang, juga tidak selamanya susah. Apa yang ditakdirkan untuk kita tidak akan pernah menjadi milik orang lain. Jadi, untuk apa iri pada capaian orang lain? Rumput tetangga mungkin lebih hijau. Bisa jadi sintetis, bisa juga benar-benar hijau. Tapi itu tidak penting. Yang penting adalah bagaimana kita fokus menghijaukan rumput kita sendiri.

Editor: Al-Afasy

Muhammadiyah Jawa Tengah

Muhammadiyah Jawa Tengah adalah gerakan Islam yang mempunyai maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam Jawa Tengah yang sebenar-benarnya

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE