Pandangan Muhammadiyah tentang Hadis: Konsep, Kehujjahan, dan Akar Pemikiran (5)
Pandangan Muhammadiyah tentang Hadis: Konsep, Kehujjahan, dan Akar Pemikiran (5)
Oleh : Dr. Kasman Abdul Rohim, M.Fil.I. (Wakil Ketua PDM Jember, Dosen FUAH IAIN Jember)
Al-sunnah al-Mutawatirah sebagai Landasan Aqidah
Muhammad Rasyid Ridla juga dinilai sejalan dan seirama dengan pandangan di atas. Ketika Tawfiq Shidqi menulis artikel dalam majalah Al-Manar no. 7 tahun ke IX (Rajab 1324 H) yang menjelaskan bahwa Islam tidak memerlukan sunnah, Muhammad Rasyid Ridlá menanggapi artikel tersebut secara positif pada majalah al- Manar no. 12 dengan mengatakan sebagai berikut:
Dalam masalah ini ada hal lain yang perlu didiskusikan, yakni apakah hadis-hadis biasa disebut dengan sunnah qawliyah yang itu merupakan agama, syariah dan bersifat umum, meskipun tidak diperdebatkan lagi hal itu tidak merupakan sunnah-sunnah yang harus dikerjakan khususnya pada masa-masa awal? Jika kita menjawab “ya”, maka persoalan terbesar yang kita hadapi (yang perlu mendapat penyelesaian) adalah adanya larangan Nabi SAW untuk menulis apapun selain al-Qur’an dan tidak adanya penulisan hadits di kalangan shahabah, serta tidak adanya perhatian para ulama dan pemimpin di kalangan mereka seperti para khalifah untuk memelihara hadis. Bahkan terdapat riwayat kalau mereka tidak suka meriwayatkan hadits, (Muhammad Rasyid Ridha, Al Manar, vol 9, no 12 ( Dzulhijjah 1324 H). Kumpulan majalah ini diterbitkan oleh Dar al-kutub Al ilmiyah Bairut,920-929)
Pernyataan-pernyataan di atas terkesan mereka mengabaikan hadis Nabi Saw. sebagai sumber untuk membangun kemajuan Islam. Tetapi jika ditelusuri lebih jauh dalam beberapa tulisannya, sesungguhnya mereka tidak menginkari sunnah secara mutlak. Yang mereka masalahkan sebenarnya adalah kehujjahan hadis âhád, apalagi terhadap persoalan aqidah. Muhammad ‘Abduh dalam kitab Risalat al-Tawhid, misalnya, mengatakan sebagai berikut:
Setelah penetapan kenabian Muhammad Saw. dengan dalil yang pasti sebagaimana yang telah kami jelaskan, dan bahwa hal itu diberitakan dari Allah SAW, maka tidak ragu lagi wajib membenarkan berita-Nya dan beriman terhadap apa yang disampaikan kepada Nabi. Yang kami maksud dengan apa yang disampaikan kepada Nabi adalah apa yang dijelaskan di dalam al-Qur’an dan hadis mutawatir yang benar-benar memenuhi syarat- syaratnya, yaitu hadis yang diriwayatkan sekelompok orang yang menurut kebiasaan mereka mustahil membuat permufakatan untuk berdusta atas dasar (periwayatan) inderawi. Di antara persoalan yang harus berdasarkan hadis ini adalah keadaan-keadaan setelah kematian, yang berupa kebangkitan, kenikmatan di surga, siksa di neraka, perhitungan amal baik dan amal buruk, dan lain-lain.
Baca juga, Pandangan Muhammadiyah tentang Hadis: Konsep, Kehujjahan, dan Akar Pemikiran (4)
Dalam tafsir al-Manar, Muhammad Abduh juga menegaskan lagi pendiriannya menyangkut persoalan ketidakhujjahan hadis ahad di atas, sebagai berikut:
Adapun hadis yang menjelaskan ketidaktersentuhan Maryam dan Isa oleh syetan, masuk Islamnya setan (jin qarîn) Nabi Saw. dan pembuangan setan dari dada Nabi Saw. adalah termasuk hadis dhahni, karena termasuk riwayat ahad. Karena isinya menyangkut alam ghaib dan keimanan kepada alam ghaib termasuk bagian aqidah yang tidak boleh didasarkan pada yang dhann berdasarkan firman Allah Q.S. Yûnus: 36 “Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran”, maka kita tidak dibebani untuk mengimani terhadap maksud dari hadis- hadis tersebut dalam aqidah kita.
Sama seperti gurunya, Muhammad Rasyîd Ridha juga tidak menolak hadis secara mutlak, tetapi menolak hadîs ahâd untuk dijadikan hujjah. Dalam hal ini, Ridlâ mengatakan: “Pokok-pokok aqidah dan masalah-masalah keimanan yang dengan hal itu seseorang disebut mukmin sesuatupun dari hal itu tidak boleh disandarkan di atas hadis âhâd”
Diakui, bahwa tulisan-tulisan trio pembaharu di atas memiliki pengaruh yang luas di kalangan pemikir rasionalis modern. Hanya saja, pemikir-pemikir setelah mereka yang terinspirasi oleh trio pembaharu di atas, khususnya ‘Abduh, terbelah menjadi dua kelompok :
Pertama, kelompok yang cenderung menolak hadis, seperti yang diwakili oleh Tawfiq Shidqi dan Ahmad Khân; dan kedua, bersikap kritis terhadap hadis åhåd dan menolaknya sebagai hujjah bagi persoalan aqidah, seperti yang diwakili oleh Mahmûd Shalthût dan Mahmûd Abú Rayyah.
Pemikiran-pemikiran pembaharu di atas juga berpengaruh terhadap tokoh-tokoh Muhammadiyah dan kemudian menjiwai gerakan Muhammadiyah. Dengan kata lain, Manhaj Muhammadiyah yang tidak memakai hadis âhâd sebagai hujjah dalam persoalan aqidah dapat dipastikan diadopsi dari para pembaharu itu, khususnya dari Muhammad ‘Abduh dan Muhammad Rasyid Ridlä. Kesimpulan ini didapat dari data historis bahwa butir-butir pemikiran itu dipublikasikan di Majalah al-Manâr dan juga dimasukkan di dalam Tafsir al-Manâr. Majalah dan Tafsir al-Manår termasuk di antara bacaan-bacaan favorit Dahlan.
Jika pendukung-pendukung utama ketidakhujjahan hadîs ahâd di atas dicermati, ditemukan adannya jiwa yang sama, yakni jiwa rasionalis. Mu’tazilah diakui semua pihak sebagai kelompok ahli kalâm yang rasionalis. Asy’arîyah, meskipun pada awalnya merupakan penghubung antara tektualis dan rasionalis, dalam perkembangan sesudah wafatnya pendirinya, Imâm al-Ash’arî, juga cenderung untuk memberikan tempat yang luas bagi akal pikiran. Hanafiyah dinilai banyak pihak sebagai kelompok rasionalis (ahl al-ra’y) dalam bidang fiqh. Para pembaharu modern sebagaimana disinggung juga kelompok rasionalis. Muhammadiyah, sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Jaenuri, juga memberikan tempat yang penting bagi akal. Dengan demikian, pemikiran ketidakhujjahan hadis âhâd dalam persoalan aqidah mendapatkan lahan yang subur kebanyakan di kalangan rasionalis.
Editor : M Taufiq Ulinuha