Paku Bumi Muhammadiyah dari Para Sesepuh

Paku Bumi Muhammadiyah dari Para Sesepuh
Oleh : Rudi Pramono, S.E. (Ketua MPI PDM Wonosobo)
PWMJATENG.COM – Dalam setiap langkah para sesepuh Muhammadiyah, tersimpan kisah yang tak pernah habis untuk diceritakan. Pada acara jalan santai Milad Muhammadiyah Wonosobo, misalnya, meski gerimis mengguyur dan usia tak lagi muda, mereka tetap berjalan dengan semangat membara. Ada yang bangga menabuh drumband, ada pula yang hadir dalam Silaturahmi Nasional KOKAM di Sleman dengan seragam yang masih melekat erat di tubuh renta—lebih-lebih lagi, melekat dalam jiwa.
Aura sejarah dan ideologi begitu kuat terasa dari mereka. Para sesepuh ini bukan sekadar kader; mereka adalah saksi hidup dari perjuangan panjang yang penuh pahit getir. Mereka bertahan meski tak mendapatkan imbalan materi. Mereka tetap tegak berdiri saat angin perubahan bertiup kencang. Militansi mereka tidak dimaksudkan untuk pamer, melainkan telah menjadi napas dalam kehidupan.
Ustaz Jumari pernah bercerita dalam sebuah pengajian tentang seorang sesepuh Muhammadiyah yang sedang sakit. Ia menangis lirih karena anak-anaknya enggan melanjutkan perjuangannya di Muhammadiyah. Luka yang dirasakan bukan karena kurang dihargai, melainkan karena warisan ideologi dan nilai perjuangan seakan tak menemukan rumah di hati generasi penerusnya.
Baca juga, Jarang Diketahui, Ini Hukum Memasang Sutrah Saat Salat Menurut Tarjih Muhammadiyah
Perjalanan waktu tak bisa dibendung. Satu per satu orang tua itu akan pergi, membawa sejarah yang belum seluruhnya tertulis, apalagi dipahami. Pertanyaannya, ketika mereka tiada, siapa yang akan menjadi “paku bumi” Muhammadiyah berikutnya?
Kita memerlukan sosok-sosok baru yang tidak hadir di Muhammadiyah hanya karena kebetulan atau kenyamanan. Yang dibutuhkan adalah kader muda dengan keyakinan dan pemahaman mendalam, yang mampu menyerap api perjuangan para pendahulu. Mereka tak hanya mengagumi dari kejauhan, tetapi melanjutkan langkah dengan cara sendiri, tanpa kehilangan ruh yang diwariskan.
Belajar dari para sesepuh bukan hanya mengenang, tetapi juga meneladani. Semangat mereka harus diserap, perjuangan mereka harus dikenali, dan cita-cita mereka harus dilanjutkan. Sebab, Muhammadiyah bukan sekadar organisasi. Ia adalah amanah sejarah. Ia adalah ladang perjuangan. Ia adalah jalan hidup. Wallāhu a‘lam.
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha