Nabi Muhammad Berpuasa Asyura Sebelum Syariat Ibadah Puasa Turun
PWMJATENG.COM – Bulan Muharram merupakan bulan permulaan dari penanggalan hijriah. Bulan ini termasuk dalam bulan-bulan mulia (asyhurul hurum) , hal ini sebagaimana yang Allah Swt. firmankan dalam Surat At-Taubah ayat 36,
اِنَّ عِدَّةَ الشُّهُوْرِ عِنْدَ اللّٰهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِيْ كِتٰبِ اللّٰهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ مِنْهَآ اَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۗذٰلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُ ەۙ فَلَا تَظْلِمُوْا فِيْهِنَّ اَنْفُسَكُمْ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِيْنَ كَاۤفَّةً كَمَا يُقَاتِلُوْنَكُمْ كَاۤفَّةً ۗوَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ مَعَ الْمُتَّقِيْنَ
Artinya: “Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram.“
Dalam sebuah hadis dari Abu Bakrah Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الزَّمَانُ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ، ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِى بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ
Artinya : ”Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadal (akhir) dan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 3197 dan Muslim no. 1679).
Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah, Dr. KH. Tafsir, M.Ag., dalam tausiyah Hari Bermuhammadiyah dan Milad ke-2 Pondok Pesantren Muhammadiyah Ad-Da’wa Rembang, menyampaikan bahwa Nabi Muhammad Saw. dalam dakwahnya melakukan akulturasi budaya, khususnya budaya Arab Pra-Islam.
“Nabi Muhammad 13 tahun di Mekkah belum ada perintah puasa Ramadan, pertanyaannya, Kanjeng Nabi puasa atau tidak?” Tanya Kiai Tafsir pada jamaah.
Ia lantas menjelaskan, bahwa Nabi Muhammad Saw. telah menjalankan puasa, sebelum syariat Puasa Ramadan itu turun. Puasa yang dimaksud ialah Puasa Asyura. Di mana, Puasa Asyura sendiri telah menjadi tradisi masyarakat Arab Jahiliyyah. Hal ini sebagaimana hadis yang diriwayatkan Aisyah Ra.
عن عائشة ، رضي الله عنها ، أن قريشا كانت تصوم يوم عاشوراء في الجاهلية ثم أمر رسول الله صلى الله عليه وسلم بصيامه حتى فرض رمضان وقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : من شاء فليصمه ، ومن شاء أفطر
Artinya : “Dari Aisyah Ra., sesungguhnya orang-orang Quraisy dulu pada masa jahiliyah berpuasa pada hari Asyura. Rasulullah Saw. pun memerintahkan untuk berpuasa pada hari itu hingga turunnya perintah wajib puasa Ramadhan.”
Baca juga, Hijrahnya Nabi Muhammad Adalah Momentum Kebangkitan Umat
Dalam Kitab Fathul Mun’im Syarhu Shahih Muslim karya Syekh Musa Lasyin, seorang ulama hadis asal Mesir, menjelaskan bahwa terdapat dua kemungkinan, masyarakat Arab Jahiliyyah melaksanakan Puasa Asyura.
Pertama, mengikuti syariat Nabi Ibrahim As., yang menjadikan puasa dengan tujuan memuliakan Hari Asyura, yang dibarengi dengan pemasangan Kiswah Kakbah.
Hari ke-10 Bulan Muharram atau Bulan Tishrei (bulan ke-7 dalam kalender lunisonar Ibrani) merupakan hari di mana Nabi Musa As. dan Bani Israel berhasil melepaskan diri dari kejaran Fir’aun dan bala tentaranya di Laut Merah. Hal ini diperjelas dengan Hadis ini,
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ وَجَدَهُمْ يَصُومُونَ يَوْمًا يَعْنِي عَاشُورَاءَ فَقَالُوا هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ وَهُوَ يَوْمٌ نَجَّى اللَّهُ فِيهِ مُوسَى وَأَغْرَقَ آلَ فِرْعَوْنَ فَصَامَ مُوسَى شُكْرًا لِلَّهِ فَقَالَ أَنَا أَوْلَى بِمُوسَى مِنْهُمْ فَصَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ
Artinya : “Dari Ibnu ‘Abbas radliallahu ‘anhuma bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika tiba di Madinah, Beliau mendapatkan mereka (orang Yahudi) malaksanakan shaum hari ‘Asyura (10 Muharam) dan mereka berkata; “Ini adalah hari raya, yaitu hari ketika Allah menyelamatkan Musa dan menenggelamkan Fir’aun. Lalu Nabi Musa ‘Alaihissalam mempuasainya sebagai wujud syukur kepada Allah”. Maka Beliau bersabda: “Akulah yang lebih utama (dekat) terhadap Musa dibanding mereka”. Maka Beliau berpuasa pada hari itu dan memerintahkan ummat Beliau untuk mempuasainya.” (HR. Bukhari).
Kedua, sebagai penebusan dosa di masa lalu. Masyarakat Arab Jahiliyyah merasa bersalah dengan dosa-dosa di masa lalu dan meyakini bahwa Puasa Asyura dapat menebus dosa-dosa tersebut.
Syekh Muhammad bin ‘Abdul Baqi az-Zurqani dalam kitabnya Syarhu Mawahibil Ladduniyyah dengan mengutip Imam Al-Qurtubi mengaitkan Puasa Asyura yang dilakukan Nabi Muhammad Saw. sebagai pendekatan kepada Kaum Yahudi dan Nashrani (ahlul kitab). Upaya ini dilakukan dalam rangka meluluhkan hati Kaum Yahudi dan Nashrani dan merupakan strategi dakwah Rasulullah Saw.
لعل قريشا كانوا يستندون في صومه إليه شرع من مضى كإبراهيم، وصوم رسول الله -صلى الله عليه وسلم- يحتمل أن يكون بحكم الموافقة لهم، كما في الحج، أو أذن الله له في صيامه على أنه فعل خير، فلما هاجر ووجد اليهود يصومونه وسألهم وصامه أمر بصيامه احتمل أن يكون ذلك استئلافا للهيود كما استألفهم باستقبال قبلتهم، ويحتمل غير ذلك
Artinya: “Boleh jadi, masyarakat Jahiliyyah berpuasa Asyura karena mengikuti syari’at nabi sebelumnya, seperti Nabi Ibrahim as. Rasulullah saw yang juga ikut berpuasa saat itu, mungkin karena alasan adaptif saja, sebagaimana ibadah haji. Atau juga Allah mengizinkan Nabi saw berpuasa ‘Asyura (saat di Makkah) karena hal itu dinilai baik. Lalu, Nabi saw berjumpa orang Yahudi (saat hijrah di Madinah) yang kebetulan sedang berpuasa Asyura. Melihat apa yang dilakukan Yahudi, Nabi saw memerintahkan umat Islam untuk juga berpuasa. Bisa jadi, Nabi saw ingin membuat orang Yahudi luluh (dengan sama-sama berpuasa Asyura), sebagaimana yang dilakukan Nabi saw saat berkiblat ke arah kiblat mereka. Bisa jadi juga alasan lain.“
Editor : M Taufiq Ulinuha