Muhammadiyah Tegas Menolak Taklid, Kritisi Regulasi Pemilu dan Pilkada
PWMJATENG.COM, Kendal – Dalam sarasehan politik bertema “Sarasehan Politik dan Tantangan Pilkada” yang digelar oleh Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PD Muhammadiyah, Ketua PP Muhammadiyah, Busyro Muqoddas, mengutarakan pandangannya terkait taklid dan penyelenggaraan politik di Indonesia. Acara ini berlangsung di lantai 8 Gedung RSI Kendal pada Kamis sore, 19 September 2024.
Dalam paparannya, Busyro menekankan bahwa taklid atau sikap ikut-ikutan buta tidak dibenarkan dalam Islam, khususnya bagi warga Muhammadiyah. “Muhammadiyah melarang warganya berwatak muqallid, yaitu bersikap seperti mbebek, menjilat, atau mencari muka. Terutama bila yang dijilat adalah orang bodoh, tidak kredibel, dan rekam jejaknya tidak baik,” tegasnya.
Taklid atau mengikuti sesuatu tanpa dasar yang kuat menjadi pantangan dalam Muhammadiyah. Menurut Busyro, memilih seseorang, khususnya dalam konteks politik, harus memiliki dasar yang baik dan selaras dengan nilai-nilai Pancasila. “Taklid di dalam Islam tidak dibenarkan, dan di Muhammadiyah ini merupakan pantangan. Jadi, memilih seseorang harus punya dasar yang bagus dalam rangka mengamalkan Pancasila,” jelasnya.
Busyro juga menyampaikan kritiknya terkait penerapan Pancasila oleh sebagian penyelenggara negara. Menurutnya, Pancasila yang seharusnya menjadi landasan berbangsa dan bernegara, justru sering kali dikhianati oleh para pelaku politik.
Tidak hanya mengkritisi perilaku taklid, Busyro Muqoddas juga menyoroti tiga undang-undang yang berkaitan dengan Pemilu, Pilkada, dan Partai Politik. Muhammadiyah, kata Busyro, telah mempelajari ketiga regulasi tersebut bersama para pakar.
“Kami sudah mempelajari undang-undang Pemilu, Partai Politik, dan Pilkada. Ketiganya merupakan biang kerok politik dan korupsi,” ungkap Busyro. Dia menambahkan bahwa jika ketiga undang-undang tersebut tidak segera direvisi oleh Ketua Umum Partai Politik bersama Presiden, kemungkinan praktik politik uang akan tetap marak di Pilkada dan Pemilu mendatang.
Baca juga, Transisi Energi: Antara Peluang dan Acanaman Ketidakadilan
Walau demikian, menurut Busyro, tidak semua proses pemilihan terkontaminasi oleh politik uang. Ia menyebutkan bahwa berdasarkan data penelitian, ada anggota DPR RI yang berhasil terpilih tanpa menggunakan suap.
“Memang masih ada yang terpilih tanpa suap, namun kasus-kasus tersebut masih sangat minim,” tambahnya.
Dalam konteks Pilkada, Busyro mengingatkan bahwa tingginya biaya kampanye merupakan salah satu akar masalah dalam praktik politik di Indonesia. Saat masih menjabat di KPK, ia dan timnya pernah menghitung biaya kampanye pada Pilkada 2014. Hasilnya sangat mencengangkan.
“Biaya kampanye untuk Calon Bupati dan Wali Kota mencapai sekitar Rp 20 miliar, sementara biaya kampanye Calon Gubernur dan Wakil Gubernur bisa mencapai Rp 100 miliar,” jelasnya.
Angka ini menunjukkan betapa mahalnya biaya politik di Indonesia, yang sering kali menjadi pemicu bagi calon-calon kepala daerah untuk mencari pendanaan melalui cara yang tidak sehat, seperti korupsi dan suap.
Dalam kesempatan tersebut, Busyro juga menyampaikan bahwa tiga undang-undang terkait Pemilu dan Pilkada merupakan pekerjaan rumah bagi Presiden terpilih, Prabowo Subiyanto. Muhammadiyah, kata Busyro, akan menyampaikan hasil penelitian mereka kepada Presiden sebagai bentuk kontribusi pemikiran.
“Kami akan memberikan sumbangan pemikiran kepada Presiden sebagai bentuk tanggung jawab mengingatkan agar tidak lalai dalam menuntaskan masalah ini,” tuturnya.
Selain itu, Busyro juga mengajak Majelis Tarjih Muhammadiyah untuk mengeluarkan fatwa tegas mengenai haramnya politik uang. “Majelis Tarjih PP Muhammadiyah harus mengeluarkan fatwa bahwa Pemilu 2012-2024 yang menggunakan suap adalah haram,” tegasnya.
Kontributor : Ghofur
Editor : M Taufiq Ulinuha