MTQ Nasional Mahasiswa dan Pembacaan Kitab Maulid Nabi

MTQ Nasional Mahasiswa dan Pembacaan Kitab Maulid Nabi
Oleh : Prof. Dr. Masrukhi, M.Pd. (Ketua Dewan Pengawas MTQMN XVIII, Guru besar Universitas Negeri Semarang, Wakil Ketua PWM Jawa Tengah, & Rektor UNIMUS)
PWMJATENG.COM – Salah satu sajian yang bisa dinikmati pada Musabaqoh Tilawatil Qur’an (MTQ) mahasiswa tingkat nasional tahun 2025 di Universitas Lambung Mangkurat Kalimantan Selatan, adalah musabaqoh pembacaan kitab Maulid Nabi Muhammad Saw.
Dilombakannnya cabang ini merupakan kekhasan dari ajang MTQ mahasiswa tingkat nasional yang merupakan event dua tahunan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek), yang tidak dilombakan pada MTQ pada umumnya.
Awal mula ditampilkannya pembacaan kitab Maulid Nabi Muhammad Saw, adalah bersifat eksibisi yaitu pada MTQ mahasiswa tingkat nasional ke 14 tahun 2015 di Universitas Indonesia. Antusiasme peserta dari berbagai perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta begitu tinggi, sehingga kemudian dimusabaqohkan sejak MTQ mahasiswa tingkat nasional ke 15 tahun 2017 di Malang, yang penyelenggaraannya merupakan kolaborasi Universitas Brawijaya dan Universitas Negeri Malang.
Musabaqoh pembacaan kitab Maulid Nabi ini merupakan salah satu ekspresi kecintaan kepada Baginda Rasulullah Saw. sebagai teladan seluruh umat manusia. Lantunan pembacaan kitab Maulid yang penuh seni dan makna berisikan kisah shirah nabawiyyah.
Dalam khazanah Islam, mengenal kitab karangan Sayid Ja’far bin Hasan bin Abdul Karim bin Muhammad bin Rasul Al Barzanji (Maulid Barzanji), kitab karangan Imam Al Hafidz Abdurrahman bin Muhammad bin Umar bin Ali bin Yusuf bin Ahmad bin Ummar Ad Dibaa’i As Syaibani Al Yamani Az Zabidi Asy Syafi’i (Maulid Ad Diba’i dan Syaraf Al Anam), kitab karangan Habib Ali Bin Muhammad Al Habsyi (Maulid Simthud Durar).
Ada juga lantunan Qosidah Burdah karangan Syarafuddin Abu Abdillah Muhammad bin Zaid Al Bushiri. Satu lagi menggenapi 5 kitab shirah nabawiyyah yang popoler dan sering dilantunkan di kalangan masyarakat Indonesia adalah Maulid Al A’zab karangan Syeh Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al A’zab, meskipun yang terakhir ini tidak setenar kitab Barzanji atau Ad Diba’i, yang memang sudah lama dibaca oleh umat Islam Indonesia pada berbagai pengajian, atau maulid Simtut Durar yang dibacakan oleh jama’ah para habib.
Kelima kitab tersebut spiritnya sama, yaitu mengungkapkan kecintaan pada diri sosok Rasulullah Muhammad Saw. Kecintaan yang tulus akan hadirnya utusan Allah yang membawakan risalah Islam yang menghantarkan kehidupan manusia dari kegelapan, kesesatan, dan kemusyrikan menjadi kehidupan yang penuh hidayah, kedamaian, dan ketauhidan. Kecintaan akan sosok yang melakukan perjuangan yang sangat berat membawakan amanah syariat Allah kepada manusia.
Bagi masyarakat Indonesia, terkhusus para mahasiswa, yang sangat jauh dari lingkaran haromain, dan berjarak berabad-abad dengan kehidupan Nabi Yang Agung, terasa amat dekat dengan diri sosok Nabi Muhammad Saw. Tidak jarang di kalangan masyarakat muslim, terisak-isak menangis haru tatkala melantunkan assalamu alaika ya rosululaah, assalamualaika ya nabiyyallah, assalamu alaika ya habiiballah. Salam dan sejahtera kepada mu wahai utusan Allah, wahai nabi Allah, wahai kekasih Allah.
Kita jadi teringat juga tatkala melakukan ziyarah ke makam baginda Rasulullah Saw., yang pada umumnya dilakukan setelah melakukan salat Subuh di Masjid Nabawi di Madinah. Makam Nabi Muhammad Saw. itu terletak di dalam Masjid Nabawi di Madinah. Di dalam masjid tersebut terdapat tiga makam, yaitu makam Nabi sendiri, makam sahabat Abu Bakar Asshiddiq, dan makam sahabat Umar bin Khattab.
Menurut sejarah, makam Nabi itu dahulunya adalah rumah istri beliau yaitu Siti Aisyah R.A. Ketika kemudian Masjid Nabawi dilakukan perluasan, rumah tersebut masuk dalam lingkungan Masjid Nabawi. Siti Aisyah sendiri tidak dimakamkan di dalam rumah itu, melainkan di pemakaman umum Baqi, yang terletak di samping Masjid Nabawi.
Baca juga, Muhammadiyah Umumkan Jadwal Puasa Ramadan 2026, Catat Tanggal Resminya!
Lokasinya yang berada di dalam mesjid sebelah roudloh, menjadikan ziarah ini tidak memerlukan perjalanan yang jauh, apalagi dengan menggunakan transportasi. Cukuplah selesai Salat Subuh, para jamaah bergerak menuju belakang mihrab dan berjalan ke arah kiri menuju pemakaman nabi.
Meskipun letaknya di dalam masjid bagian depan, akan tetapi suasana ziarah harus dilakukan dengan penuh kesabaran. Hal ini karena jamaah yang melakukannya jumlahnya sangat banyak, berdesak-desakan, dari berbagai bangsa di muka bumi ini. Kebetulan postur orang-orang Asia termasuk orang Indonesia relatif kecil dibandingkan dengan jamaah dari Pakistan, Bangladesh, Turki, Suriah, Marokko, Nigeria, dan sebagainya. Apalagi jika hal ini terjadi di musim haji, maka berdesak-desakan menjadi pemandangan setiap saat, khususnya sehabis Salat Subuh, ketika akan melakukan ziarah.
Dalam kondisi berdesak-desakan itu tetap saja suasana khusyu’ dan haru menyelimuti para jamaah. Sambil menatap dan dengan susah payah melambaikan tangan pada makam Nabi, terdengar suara- suara assalamu alaika ya rosululaah, assalamualaika ya nabiyyallah, assalamu alaika ya habiiballah. Banyak juga di antara para jamaah itu menangis haru seolah berjumpa dengan nabi. Sebuah perjumpaan yang didambakan oleh seorang muslim, siapa pun dan dari mana pun, dengan hamba dan utusan Allah yang namanya setiap saat diucapkan, baik pada saat salat maupun di luar salat.
Andaikan asykar (petugas keamanan Masjid Nabawi) memperbolehkan jamaah berdiri atau duduk berlama-lama di depan makam nabi, niscaya semuanya ingin duduk bersimpuh bersalawat di depan makam Nabi. Akan tetapi sang asykar dengan sigap melarangnya, dan menyuruh untuk terus berjalan. Hal ini wajar agar aliran lautan peziarah itu berjalan tertib. Lebih jauh adalah agar tidak terjadi kekeliruan keyakinan dalam bersalawat dan bersalam pada Baginda Rasulullah Saw.
Empat belas abad sudah jarak kehidupan kita ini dengan masa hidup Rasulullah Saw. Rekam jejak beliau pun dapat kita telusuri secara nyata. Pada saat di antara kita melakukan ibadah haji maupun umrah; rumah tempat kelahirannya yang sekarang menjadi gedung perpustakaan, jabal nur tempat ketika beliau merenung memikirkan umatnya dan akhirnya menerima wakyu yang pertama di gua hira, kemudian sebuah gua di puncak jabal tur tempat persembunyian beliau bersama Abu Bakar, ketika melakukan perjalanan hijrah dari Mekah ke Madinah, dan berbagai situs-situs perjuangan syiar Islam beliau.
Tinggalan terindah bagi kita adalah syariat Islam, yang oleh Allah Swt. ditegaskan sebagai agama yang sempurna, penyempurna dari ajaran tauhid pada nabi-nabi sebelumnya. Allah swt menegaskannya di dalam Al Qur’an; “pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu, telah Ku ridloi Islam itu jadi aga bagimu” (QS, 5:3)
Kecintaan kita kepada Nabi Muhammad Saw. adalah dengan cara memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai ajaran Islam dengan sebaik-baiknya, dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, berbangsa, dan bernegara, bahkan kehidupan global. Agama Islam melalui ajaran Al Qur’an dan Al Hadis, telah secara komprehensif mengatur seluruh tata kehidupan manusia di muka bumi ini, yang tidak akan lekang oleh batasan ruang dan waktu. Menarik apa yang katakan oleh Prof Hamilton Alexander Rossken Gibb (HAR Gibb) dalam karya Whiter Islam, a survey of Modern Movements in the Moslem World, ditegaskan bahwa “Islam is indeed much more than a system of theology, it’s a complete civilization”.
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha