MK Wajibkan Pemerintah Gratiskan Wajib Belajar 9 Tahun, Bagaimana Kemampuan Keuangan Negara?

PWMJATENG.COM, Semarang – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mewajibkan pemerintah menanggung sepenuhnya biaya pendidikan dalam program wajib belajar sembilan tahun adalah langkah monumental dalam menjamin hak warga negara atas pendidikan. Dalam amar putusan itu, MK menegaskan bahwa Pasal 31 Ayat (2) UUD 1945 menegaskan kewajiban negara dalam membiayai pendidikan dasar secara gratis tanpa syarat apa pun.
Putusan ini seolah menjadi titik balik dalam pelaksanaan sistem pendidikan nasional yang selama ini masih menyisakan berbagai disparitas, terutama dalam hal pembiayaan pendidikan dasar. Meski ada program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan berbagai subsidi lainnya, pada praktiknya tidak semua sekolah negeri benar-benar gratis. Orang tua siswa masih dibebani biaya seragam, buku, kegiatan ekstrakurikuler, bahkan sumbangan yang tidak bersifat sukarela.
MK menegaskan bahwa pembebanan biaya semacam itu bertentangan dengan semangat konstitusi. Pemerintah pusat dan daerah diminta merevisi regulasi dan kebijakan anggaran agar benar-benar memenuhi prinsip wajib belajar sembilan tahun secara gratis dan menyeluruh. Namun, seiring dengan idealisme tersebut, muncul pertanyaan mendasar: bagaimana kesiapan keuangan negara dalam merealisasikan amanat tersebut?
Tantangan Realisasi di Tengah Keterbatasan Anggaran
Tidak bisa dimungkiri, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia masih menghadapi berbagai tekanan fiskal. Belanja pendidikan memang telah dipatok minimal 20 persen dari APBN sesuai amanat UUD 1945. Namun, dalam implementasinya, alokasi tersebut masih terbagi ke dalam berbagai pos, termasuk tunjangan guru, biaya operasional pendidikan tinggi, hingga program-program lain yang bukan bagian dari pendidikan dasar.
Jika kewajiban untuk membebaskan biaya pendidikan dasar ditafsirkan secara luas, termasuk seluruh kebutuhan siswa dari seragam hingga kegiatan nonkurikuler, maka diperlukan penyusunan ulang kebijakan anggaran. Pemerintah tidak hanya harus menyiapkan dana tambahan, tetapi juga melakukan reformulasi distribusi anggaran agar lebih fokus dan tepat sasaran.
Dalam konteks pemerataan, daerah-daerah tertinggal menjadi tantangan tersendiri. Di banyak wilayah, masih ditemukan sekolah dengan fasilitas minim, guru honorer yang belum tersertifikasi, dan akses pendidikan yang sulit dijangkau. Membebaskan biaya pendidikan tidak hanya soal anggaran, tetapi juga perbaikan sistemik terhadap infrastruktur, kualitas tenaga pengajar, dan manajemen satuan pendidikan.
Momentum Perbaikan Sistem Pendidikan Nasional
Kendati berat, putusan MK ini harus dibaca sebagai momentum untuk memperkuat sistem pendidikan nasional. Pemerintah tidak bisa terus beralasan pada keterbatasan fiskal. Justru, inilah saatnya pemerintah melakukan efisiensi anggaran di sektor-sektor lain yang belum prioritas, serta meningkatkan penerimaan negara melalui reformasi perpajakan dan peningkatan kepatuhan pajak.
Baca juga, Masukhi: Ibadah Haji Bukan Sekadar Ritual Fisik, Melainkan Upaya Spiritual untuk Mencari Rida Allah
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat partisipasi sekolah pada jenjang SMP memang sudah cukup tinggi, tetapi masih ada ketimpangan berdasarkan wilayah dan status sosial-ekonomi. Banyak anak dari keluarga tidak mampu yang putus sekolah karena terkendala biaya tidak langsung—seperti transportasi dan perlengkapan sekolah. Oleh karena itu, konsep “pendidikan gratis” tidak boleh dimaknai secara sempit sebatas bebas uang sekolah saja. Negara perlu hadir secara menyeluruh.
Di sisi lain, pemda perlu lebih proaktif. Banyak kebijakan pendidikan yang berbasis lokal seringkali tidak sinkron dengan pusat, termasuk dalam pengelolaan anggaran. Pemerintah daerah harus mampu memanfaatkan Dana Alokasi Khusus (DAK) pendidikan dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) untuk memperkuat program pendidikan gratis.
Kolaborasi dan Akuntabilitas
Realisasi kebijakan ini juga harus dibarengi dengan pengawasan yang ketat dan akuntabel. Dalam beberapa kasus, dana BOS yang semestinya meringankan beban siswa justru tidak tepat sasaran. Pengawasan penggunaan dana pendidikan harus diperkuat, baik oleh internal pemerintah maupun partisipasi masyarakat melalui Komite Sekolah.
Pendidikan adalah investasi jangka panjang. Jika hari ini negara mampu menjamin pendidikan dasar yang berkualitas dan bebas biaya, maka dalam 10–20 tahun ke depan, Indonesia akan memiliki generasi yang lebih cerdas, kritis, dan produktif. Biaya pendidikan gratis bukanlah beban, melainkan strategi pembangunan sumber daya manusia yang berkelanjutan.
Keterlibatan sektor swasta pun tidak boleh diabaikan. Dunia usaha dan industri dapat dilibatkan melalui program Corporate Social Responsibility (CSR) untuk mendukung penyediaan fasilitas pendidikan atau beasiswa bagi siswa kurang mampu. Dengan sinergi lintas sektor, beban negara akan lebih ringan dan partisipasi masyarakat terhadap pendidikan semakin kuat.
Ikhtisar
Redaksi menilai bahwa putusan MK yang mewajibkan pendidikan gratis untuk jenjang wajib belajar sembilan tahun merupakan langkah progresif yang berpihak pada rakyat kecil. Meskipun tantangan fiskal dan teknis masih membayangi, pemerintah harus menjadikan ini sebagai peluang untuk memperkuat komitmen terhadap hak pendidikan setiap warga negara.
Negara tidak boleh mundur. Justru dengan keberanian mengeksekusi putusan MK secara konsisten dan adil, Indonesia akan mampu mencetak generasi unggul yang menjadi penopang kemajuan bangsa. Kini saatnya membuktikan bahwa pendidikan bukan sekadar wacana pembangunan, tetapi pondasi utama masa depan negeri.
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha