Merajut Kebangsaan di Usia 80 Tahun Indonesia: Muhammadiyah dan Spirit Darul Ahdi Wassyahadah

PWMJATENG.COM – Menjelang peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Republik Indonesia, suasana kebangsaan semakin terasa di berbagai lapisan masyarakat. Peringatan kemerdekaan tidak hanya menjadi momentum seremonial tahunan, tetapi juga ruang refleksi mendalam tentang perjalanan bangsa sekaligus arah masa depan yang harus ditempuh. Dalam konteks itu, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah, Masrukhi, menyampaikan pesan penting terkait peran warga negara, khususnya kader Muhammadiyah, dalam melanjutkan estafet perjuangan bangsa.
Masrukhi menekankan bahwa generasi penerus bangsa tidak boleh berhenti pada romantisme sejarah, melainkan harus menjadikannya sebagai pijakan untuk melahirkan karya nyata. Ia menyebut, sebagai warga negara Indonesia yang baik, kewajiban utama adalah melanjutkan perjuangan para pendiri bangsa dengan berkarya sebaik-baiknya dan bekerja setulus-tulusnya. “Sudah semestinya kita memberikan kontribusi yang bermakna di dalam kehidupan bangsa dan negara. Indonesia akan maju, Indonesia akan jaya jika seluruh warganya memberikan kontribusi dan karya terbaik dalam perjalanan bangsa ini,” tuturnya.
Spirit Kontribusi untuk Bangsa
Pesan tersebut menegaskan bahwa kemerdekaan bukanlah tujuan akhir, melainkan awal dari sebuah tanggung jawab kolektif. Bagi Muhammadiyah, kontribusi nyata terhadap bangsa selalu menjadi bagian integral dari gerakan dakwah dan amal usaha. Hal ini tercermin dari sejarah panjang organisasi yang sejak awal berdiri telah berkomitmen pada pendidikan, kesehatan, pemberdayaan sosial, hingga pembangunan karakter umat.
Masrukhi yang juga menjabat sebagai Rektor Universitas Muhammadiyah Semarang (UNIMUS) menambahkan, dalam tradisi Muhammadiyah terdapat konsep bernegara yang disebut Darul Ahdi Wassyahadah. Konsep ini, menurutnya, penting dipahami oleh kader Muhammadiyah dan masyarakat luas sebagai pijakan dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Negara Kesepakatan dan Negara Pembuktian
Dalam penjelasannya, Masrukhi menyebut bahwa Darul Ahdi berarti negara kesepakatan. Indonesia berdiri atas konsensus berbagai elemen bangsa dengan latar belakang agama, suku, budaya, dan bahasa yang berbeda. Kesepakatan ini melahirkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang menjadi rumah bersama. Ia menegaskan, masyarakat Indonesia adalah masyarakat multikultural dan plural yang menyatukan diri dalam semangat kebangsaan. Karena itu, warga Muhammadiyah sebagai bagian dari elemen bangsa memiliki kewajiban menjaga keutuhan serta kelestarian negara.
Sementara itu, Darussyahadah dipahami sebagai negara pembuktian. Konsep ini menekankan bahwa keberadaan warga negara dalam kehidupan berbangsa harus dibuktikan melalui karya nyata. “Dalam Darussyahadah, kehidupan bernegara tidak cukup hanya dengan pengakuan, tetapi harus ditunjukkan lewat kontribusi konkret dalam membangun negara,” ujarnya.
Baca juga, Teologi Al-Ma’un di Era Modern: Dari PKO ke Industrialisasi Sosial Muhammadiyah
Dengan demikian, Muhammadiyah menempatkan diri bukan sekadar sebagai organisasi keagamaan, tetapi juga sebagai kekuatan moral dan sosial yang aktif membuktikan komitmen kebangsaan. Dalam sejarahnya, kontribusi tersebut terwujud dalam ribuan sekolah, perguruan tinggi, rumah sakit, dan lembaga sosial yang tersebar di seluruh Indonesia.
Islam dan Spirit Kebangsaan
Jika ditinjau dari perspektif Islam, komitmen terhadap bangsa dan negara sejalan dengan prinsip keimanan. Al-Qur’an mengingatkan pentingnya kerja sama dalam kebaikan dan ketakwaan, sebagaimana firman Allah:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.” (QS. Al-Maidah: 2)
Ayat tersebut menjadi dasar bahwa setiap individu beriman harus mengambil peran dalam kebaikan kolektif, termasuk dalam konteks kebangsaan. Kemerdekaan dan persatuan bangsa adalah amanah yang harus dijaga bersama, bukan hanya untuk kepentingan umat Islam, tetapi juga seluruh rakyat Indonesia.
Selain itu, Nabi Muhammad ﷺ menegaskan pentingnya kontribusi sosial. Dalam sebuah hadis riwayat Ahmad disebutkan:
خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain.”
Hadis ini memperkuat pandangan bahwa kontribusi nyata dalam kehidupan berbangsa, baik melalui pendidikan, kesehatan, maupun pengabdian sosial, merupakan wujud dari iman yang aplikatif.
Tantangan dan Harapan ke Depan
Memasuki usia 80 tahun kemerdekaan, Indonesia menghadapi tantangan baru yang berbeda dengan masa lalu. Jika dahulu perjuangan utama adalah mengusir penjajah, kini tantangan terbesar terletak pada bagaimana mengisi kemerdekaan dengan pembangunan yang adil, merata, dan berkelanjutan. Masrukhi mengingatkan, tanpa kontribusi nyata dari seluruh elemen bangsa, cita-cita Indonesia maju akan sulit tercapai.
Dalam konteks ini, kader Muhammadiyah diharapkan mampu menjadi teladan. Melalui amal usaha yang tersebar di berbagai bidang, Muhammadiyah telah menunjukkan bahwa kerja nyata mampu mengubah wajah bangsa. Namun, tantangan ke depan menuntut inovasi yang lebih besar, terutama dalam menghadapi era digitalisasi, globalisasi, dan persaingan internasional.
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha