Khazanah Islam

Menyapih Bayi dalam Perspektif Islam: Antara Kasih Sayang, Pendidikan, dan Kemandirian

PWMJATENG.COM – Menyapih bayi bukan sekadar persoalan teknis antara ibu dan anak. Dalam tradisi Islam, praktik ini memiliki landasan syar’i sekaligus nilai pendidikan yang mendalam. Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah, Jumari, dalam sebuah tausiyah menegaskan bahwa penyapihan merupakan bagian penting dari fase tumbuh kembang manusia yang tidak bisa dilepaskan dari tuntunan Al-Qur’an.

Ia mengakui, sebagai seorang laki-laki, dirinya tidak memiliki pengalaman langsung dalam menyusui dan menyapih anak. Namun, ia menekankan pentingnya mengkaji persoalan ini karena para ulama fikih telah memberikan perhatian besar dalam bab khusus yang disebut rada’ah atau persusuan.

Landasan Al-Qur’an tentang Menyusui dan Menyapih

Jumari menjelaskan bahwa dalam Al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang secara tegas menyinggung kewajiban seorang ibu untuk menyusui anaknya selama dua tahun penuh. Di antaranya termuat dalam Surah Luqman ayat 14, Surah Al-Ahqaf ayat 15, dan Surah Al-Baqarah ayat 233.

Dalam Surah Al-Baqarah ayat 233 Allah Swt. berfirman:

وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ ۚ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

Artinya, “Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi rezeki dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang patut.”

Menurut Jumari, ayat tersebut menunjukkan betapa pentingnya Air Susu Ibu (ASI) bagi tumbuh kembang seorang bayi. Al-Qur’an bahkan memberikan angka yang sangat jelas: dua tahun penuh sebagai penyusuan sempurna. Namun, ia menambahkan bahwa penyapihan tidak harus kaku pada batas dua tahun. Dalam kondisi tertentu, seorang ibu boleh menyapih lebih awal atau bahkan sedikit lebih lama, selama ada alasan yang kuat dan tidak memberatkan ibu maupun anak.

Penyapihan sebagai Pendidikan Kemandirian

Lebih jauh, Jumari menyampaikan bahwa penyapihan bukan sekadar soal nutrisi, tetapi juga bagian dari pendidikan untuk melatih kemandirian. “Kalau urutannya, sejak lahir bayi dipotong tali pusarnya, lalu menyusu, kemudian disapih. Proses ini adalah bentuk pelepasan bertahap dari ketergantungan penuh pada ibu,” jelasnya.

Ia menekankan bahwa tanpa penyapihan, anak tidak akan belajar mandiri. Sama seperti kelak ketika dewasa, manusia pun harus “disapih” dari orang tuanya saat memasuki kehidupan rumah tangga. “Menyapih adalah proses kemanusiaan. Pasti ada rasa kasihan melihat anak rewel, tetapi ini sunnatullah. Tanpa penyapihan, manusia tidak akan berkembang menjadi dewasa,” ujarnya.

Baca juga, Pentingnya Para Pemimpin Memahami Kaidah Dar’ul Mafasid Muqaddamun ‘Ala Jalbil Mashalih dalam Setiap Pengambilan Kebijakan

Jumari juga menekankan adanya tanda-tanda bahwa anak sudah layak disapih. Misalnya, ketika bayi rewel meski sudah disusui, merasa tidak nyaman lagi saat menyusu, lebih banyak bermain daripada fokus menyusu, atau hanya menyusu sebentar-sebentar. Semua itu, menurutnya, menjadi sinyal bagi orang tua untuk memulai proses penyapihan secara bertahap.

Peran Ibu: Antara Ketangguhan dan Kelembutan

Dalam tausiyahnya, Jumari memuji ketangguhan para ibu. Ia mengatakan, meskipun melahirkan adalah proses yang sangat menyakitkan, seorang ibu tetap bisa tersenyum ketika bayinya lahir. Hal itu, menurutnya, menunjukkan perpaduan antara ketangguhan dan kelembutan yang hanya dimiliki seorang ibu.

“Tidak ada seorang ibu pun yang setelah melahirkan langsung memukul bayinya. Padahal rasa sakitnya luar biasa. Tetapi justru yang lahir adalah senyuman. Begitu pula saat menyapih, meskipun awalnya sulit dan penuh tangisan, seorang ibu tetap bisa melakukannya dengan kelembutan,” ungkapnya.

Penyapihan dalam Bingkai Keseimbangan

Jumari menegaskan bahwa penyapihan harus dilakukan dengan memperhatikan kenyamanan semua pihak: ibu, ayah, dan anak. Ia merujuk pada kelanjutan Surah Al-Baqarah ayat 233 yang mengingatkan agar penyusuan tidak menjadikan ibu menderita atau ayah terbebani. Prinsip yang harus dijaga adalah keseimbangan.

“Setiap orang dewasa hari ini pasti pernah melewati proses penyapihan, meskipun kita sudah lupa bagaimana rewelnya dulu. Tapi buktinya jelas: tanpa disapih, kita tidak mungkin tumbuh dewasa,” katanya.

Lebih lanjut, ia mengingatkan agar penyusuan tidak dilakukan sekadar memberi minum ASI. Ada nilai pendidikan yang harus hadir, yaitu kedekatan emosional antara ibu dan anak. Menurutnya, ibu yang menyusui sambil berbincang dengan orang lain dan tidak memberikan perhatian penuh bisa mengurangi kedekatan emosional yang penting untuk tumbuh kembang anak.

Program Bank ASI sebagai Solusi

Jumari juga menyinggung adanya kondisi ketika seorang ibu tidak bisa menyusui karena alasan medis. Dalam situasi itu, Islam memberikan solusi dengan menitipkan anak kepada ibu lain yang sedang menyusui. Namun, ia mengingatkan adanya hukum persusuan, yakni anak laki-laki dan perempuan yang sepersusuan haram menikah.

Sebagai contoh, ia menyebutkan beberapa Rumah Sakit PKU Muhammadiyah yang sudah memiliki program Bank ASI. Program ini dijalankan dengan mengikuti kaidah fikih yang jelas mengenai identitas pemilik ASI dan anak-anak penerima ASI tersebut.

Menyusui dengan Cinta, Menyapih dengan Doa

Sebagai penutup tausiyah, Jumari mengajak para ibu untuk berusaha memberikan ASI secara maksimal kepada anak-anaknya. Ia mengingatkan agar motivasi menyusui tidak semata-mata terhalang oleh keinginan menjaga bentuk tubuh. “Kalau ada kendala medis, tidak mengapa. Tetapi kalau hanya karena alasan menjaga penampilan, itu sangat disayangkan. ASI adalah hak anak dan anugerah Allah bagi setiap ibu,” tegasnya.

Ia menambahkan bahwa Al-Qur’an sudah menjamin rezeki anak-anak yang disapih. Setelah dua tahun, seorang bayi akan mampu menerima nutrisi di luar ASI. Karena itu, orang tua tidak perlu cemas berlebihan.

“Percayalah, proses penyapihan adalah jalan menuju kedewasaan anak. Meskipun awalnya sulit, insyaallah semua akan menemukan keseimbangannya. Seperti saat melahirkan: sakit, tetapi melahirkan senyum. Begitu pula saat menyapih, ada tangisan tetapi akhirnya melahirkan kemandirian,” pungkasnya.

Kontributor : Winda Friska N
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha

Muhammadiyah Jawa Tengah

Muhammadiyah Jawa Tengah adalah gerakan Islam yang mempunyai maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam Jawa Tengah yang sebenar-benarnya

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE
#
https://cheersport.at/doc/pkv-games/https://cheersport.at/doc/bandarqq/https://cheersport.at/doc/dominoqq/
https://journal.rtc.bt/https://accgroup.com/https://pioneer.schooloftomorrow.ph/https://ua.kab.ac.ug/https://plenainclusionmadrid.org/salud-mas-facil/
https://prajaiswara.jambiprov.go.id/https://lpm.stital.ac.id/https://digilib.stital.ac.id/