Menimbang Tokoh dan Praksisme Islam di Media Sosial
Menimbang Tokoh dan Praksisme Islam di Media Sosial
Oleh : Rudi Pramono, S.E. (Ketua MPI PDM Wonosobo)
PWMJATENG.COM – Di tengah gempuran konten keagamaan yang berseliweran di media sosial, tokoh-tokoh Muhammadiyah cenderung jarang tampil dalam polemik daring. Hal ini membuat nama mereka relatif sepi dari sorotan televisi atau podcast yang kerap menyedot perhatian publik. Kalaupun ada, nama-nama seperti Ustaz Adi Hidayat atau Ustaz Mujiman sempat menjadi perbincangan karena komentar dan tuduhan yang beredar. Namun, dunia media sosial memang merupakan ruang bebas yang tidak perlu selalu ditanggapi secara emosional.
Berbeda halnya dengan sahabat dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU) atau kelompok salafi. Keduanya cukup sering menjadi sorotan warganet, terutama karena perbedaan pandangan keagamaan yang kadang terlihat ekstrem. Tradisi amaliyah Nahdliyin, seperti kegiatan sholawatan yang disertai dengan ekspresi joget dan gerakan massal, sering menjadi bahan diskusi dan kontroversi di ranah digital.
Meski demikian, amaliyah keagamaan Nahdliyin tetap menarik untuk dipelajari. Keunikan dan kompleksitas praktik keagamaannya menunjukkan semesta ilmu turats (warisan keilmuan Islam klasik) yang begitu luas. Di sisi lain, Muhammadiyah terus konsisten dalam menjaga identitas keislaman berkemajuan yang telah membentuk citra positif di mata publik dan netizen.
Baca juga, Muhammadiyah Jateng Dirikan 40 Dapur Makan Bergizi Gratis, 5 Sudah Beroperasi
Perluasan dakwah amaliyah Muhammadiyah ke berbagai bidang seperti kemiliteran (pengembangan teknologi rudal), ekonomi (pendirian pabrik), keuangan (penguatan sektor perbankan), hingga pertambangan yang masih menimbulkan perdebatan, menunjukkan langkah strategis yang berani. Merambah ranah yang sebelumnya didominasi pengusaha, bahkan oligarki, menjadi keniscayaan bagi gerakan Islam modern.
Langkah ini bukan semata perebutan lahan ekonomi, tetapi bagian dari misi besar untuk menghadirkan keadilan dan kemaslahatan. Dalam konteks ini, Muhammadiyah seharusnya menjadi kompetitor yang sehat dan kolaboratif dalam dunia usaha dan perbankan, bukan sekadar pesaing yang menimbulkan resistensi.
Meski demikian, pelebaran ranah gerakan melalui praksisme Islam tidak boleh menggeser ruh dakwah, tabligh, spiritualitas, dan kaderisasi. Inilah inti gerakan Muhammadiyah yang harus tetap dijaga. Jika semangat dakwah memudar, bukan tidak mungkin umat akan mencari alternatif lain yang lebih membumi dan menyentuh kebutuhan spiritual mereka.
Praksisme dan tabligh adalah dua DNA Muhammadiyah yang tak boleh dipisahkan. Keduanya harus berjalan beriringan agar gerakan ini tidak hanya kuat secara struktural dan ekonomi, tetapi juga tetap relevan secara spiritual dan kultural. Wallahu a’lam.
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha
