Menggugat Ijtihad Politik IMM
Menggugat Ijtihad Politik IMM
Oleh : Izzul Khaq (Ketua Umum PC IMM Sukoharjo)
PWMJATENG.COM – Ugal-ugalan berijtihad politik IMM, sang mujtahid yang mencoba melanggengkan tindakan blunder melalui tulisan yang tak kalah blundernya. Ini bermula dari DPP IMM tutup telinga dan mata hatinya atas banyak kritik yang dilayangkan pada tragedi mengantar Ketum DPP IMM 2021-2023 Abdul Musawir Yahya, Ketua DPP Bidang Hikmah 2021-2023 Baikuni Alshafa ke parpol PSI secara kelembagaan IMM beserta membawa atribut IMM.
Setelah ramai diperbincangkan bercokol tulisan Ketua DPP IMM Bidang Hikmah 2024-2026 Ari Harahap mencoba klarifikasi dengan tulisan yang memaksakan berijtihad politik IMM yang ugal-ugalan bin salah kaprah itu.
Kritik Nalar DPP IMM
Ikhtiar merawat nalar Ari Harahap perlu dikoreksi dan diluruskan dengan membaca ulang ijtihad politik Muhammadiyah beserta orientasi ijtihad tokoh-tokoh yang disebutnya. Sebab ia sangat gegabah dalam interpretasi yang kemudian malah terjadi peyoratif ijtihad politik IMM.
Perlu diingat bahwa sejak awal pendiriannya, identitas dan tujuan Muhammadiyah sudah jelas bahwa organisasi ini tidak dirancang untuk terlibat langsung dalam politik. Lebih jauh lagi, interaksi dengan kekuatan partai politik Islam seperti Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) pada tahun 1945-1962 dan Parmusi (Partai Muslimin Indonesia) pada tahun 1968-1971, memperkuat keputusan Muhammadiyah untuk menjauhi politik praktis, yaitu politik yang berfokus pada kekuasaan dalam pemerintahan. Apalagi sekadar mengantar dengan membawa identitas organisasi.
Muhammadiyah, yang memandang Islam sebagai ajaran yang menyeluruh, telah lama melakukan ijtihad untuk menghindari kesan alergi dan anti-politik. Dalam urusan politik, Muhammadiyah berijtihad melalui berbagai Khittah (garis) Perjuangan yang dirumuskan pada periode-periode tertentu. Dimulai dengan Khittah Palembang tahun 1956, diikuti oleh Khittah Ponorogo tahun 1969, Khittah Ujung Pandang tahun 1971, Khittah Surabaya tahun 1978, dan terakhir Khittah Denpasar tahun 2002.
Dalam Khittah Denpasar 2002, ditegaskan bahwa Muhammadiyah tidak berafiliasi atau memiliki hubungan organisatoris dengan kekuatan politik atau organisasi manapun. Muhammadiyah selalu mengembangkan sikap positif terhadap perjuangan politik dan menjalankan fungsi kritik sesuai dengan prinsip amar ma’ruf nahi munkar, demi terwujudnya sistem politik negara yang demokratis dan berkeadaban.
Hal ini begitu terang bahwa menyandarkan pada Ijtihad Kiai Dahlan sampai Ijtihad Politik Muhammadiyah dengan Ijtihad Politik IMM jauh berbeda. Ijtihad Dahlan cenderung berorientasi pada peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), sedangkan apa yang diorientasikan Ijtihad politik IMM malah mengarah jabatan struktural politik.
Baca juga, Segregasi Kepemimpinan: Tantangan dan Solusi
Tulisan Kabid Hikmah DPP IMM sekarang itu malah mereduksi cita-cita IMM sebagai akademisi Islam yang berakhlak mulia dalam rangka mencapai tujuan Muhammadiyah. Dan mereduksi ijtihad politik Muhammadiyah dengan melanggengkannya walau telah menyerahkan marwah IMM secara kelembagaan dengan membawa simbol IMM ke Parpol.
Tampaknya DPP IMM belum tahu jika Prof Haedar Nashir sempat memberi nasihat untuk tidak membawa simbol-simbol organisasi, apalagi organisasinya dalam kepentingan politik. Ia menyarankan untuk kreatif tanpa membawa embel-embel organisasi, dan ditegaskan jika membawa simbol artinya kurang cerdas (bodoh).
Jalan Lurus Etika Intelektual IMM
IMM sebagai gerakan intelektual agaknya dinodai jika kita menggunakan perspektif Ilmuwan Prancis, Julian Benda, dalam bukunya yang berjudul Pengkhianatan Kaum Cendekiawan (1927) yang mengatakan bahwa tugas utama cendekiawan adalah menjaga moral.
Julian Benda menyatakan bahwa peran utama para cendekiawan atau intelektual adalah memproduksi pengetahuan yang bersifat universal dan objektif, serta menjaga nilai-nilai moral dan intelektual yang murni dari pengaruh kepentingan politik. Benda mengkritik intelektual yang terlibat dalam politik praktis dan mengorbankan integritas intelektual mereka demi tujuan politik.
Menurutnya, cendekiawan harus mempertahankan otonomi intelektual dan menjauh dari politik praktis agar bisa menjaga kebebasan berpikir dan kebenaran ilmiah tanpa dipengaruhi oleh kepentingan politik.
Tulisan Marshel Widianto dan Ijtihad Politik IMM yang Dipersoalkan ini jelas merupakan Pengkhianatan Kaum Cendikiawan IMM dengan mengkerdilkan ikhtiar merawat nalarnya. Apalagi bangga dengan menyandarkan pernyataan Buya Syafi’i Ma’arif.
Buya mengatakan, “Setiap pembaharu di manapun di muka bumi ini, hampir pasti dilawan, dicaci maki, dan dimusuhi, tetapi ajaibnya diam-diam diikuti Dan ini juga berlaku atas Nurcholish Madjid.” Ini lagi-lagi jelas interpretasi yang ugal-ugalan dan dipaksakan oleh Kabid Hikmah DPP yang sekarang.
Para cendekiawan IMM sebaiknya kembali ke prinsip dan fungsi awal mereka. IMM berperan sebagai penjaga dan penyeimbang terhadap ketidakbenaran dalam bernegara, bukan ikut-ikutan berbuat blunder dan memanfaatkan reputasi untuk mendukung kekuasaan yang menyimpang dengan menjadi kaki tangan para penguasa.
IMM harus mampu menjalankan peran kebangsaannya secara positif dan kreatif agar tetap diakui dalam kancah nasional, tanpa harus melibatkan identitas atau simbol dalam mengobral ke partai politik, itulah spirit Deklarasi Banjarmasin Tanwir ke XXXI IMM (Banjarmasin, 2023) poin ketiga.
Terakhir, DPP IMM harus tahu bahwa Civil Society sebagai pilar demokrasi sudah lama mencoba dimatikan gerakannya melalui konversi gerakan politik praktis. Sasaran utama kekuasaan itu sebenarnya melemahkan elite Muhammadiyah. Tapi itu sulit dan tidak dapat melakukannya karena Ijtihad Politik Muhammadiyah jelas menghalanginya. Akhirnya yang coba dilemahkan terlebih dahulu itu elite-elite yang berada diorganisasi sayapnya.
Mari menata IMM dengan kreatif untuk menata Indonesia.
Editor : M Taufiq Ulinuha