Meneladani Strategi Parenting Nabi Ibrahim: Mendidik Anak dengan Keteladanan dan Pengorbanan

PWMJATENG.COM – Dalam pengajian Shirah Nabawiyah RS PKU Muhammadiyah Sruweng, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah, M. Abduh Hisyam, menyampaikan pesan yang menggugah hati. Ia mengajak jamaah menyelami kembali kisah agung Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail sebagai fondasi nilai pendidikan dalam keluarga. Dengan mengambil tema “Parenting bersama Nabi Ibrahim”, Abduh menekankan bahwa pendidikan anak tidak hanya soal teori, tetapi juga keteladanan nyata yang diwariskan melalui kesabaran, perjuangan, dan pengorbanan.
Abduh membuka kajiannya dengan mengutip Surah As-Saffat ayat 102:
فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلَامٍ حَلِيمٍ
“Maka Kami beri kabar gembira kepada Ibrahim dengan seorang anak yang penyantun.”
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَىٰ فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ
“Ketika anak itu telah sanggup berjalan bersamanya, Ibrahim berkata: Wahai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu.”
قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
“Wahai ayahanda, laksanakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Insyaallah engkau akan mendapati aku termasuk orang-orang yang sabar.”
Menurut Abduh, dialog antara ayah dan anak ini merupakan puncak dari pendidikan keluarga yang berhasil. Nabi Ibrahim tidak hanya mendidik Ismail dengan perintah, tetapi dengan teladan nyata tentang ketaatan, tanggung jawab, dan cinta kepada Allah. Hal itu membuat Ismail tumbuh menjadi anak yang saleh, sabar, dan ikhlas menerima perintah Allah, bahkan jika itu berarti mengorbankan nyawanya sendiri.
Dalam konteks Iduladha yang akan diperingati umat Islam, Abduh menegaskan bahwa momen ini bukan semata tentang penyembelihan hewan kurban. Lebih dari itu, ia adalah pengingat bahwa keberhasilan mendidik anak menuntut pengorbanan besar dari orang tua. “Kita perlu meneladani Nabi Ibrahim, bukan hanya dalam ibadah, tetapi juga dalam strategi mendidik anak,” ujarnya.
Abduh menyebut bahwa pendidikan dalam keluarga tidak bisa lepas dari tiga pilar utama: keteladanan, kepedulian sosial, dan komunikasi yang menghargai anak. Nabi Ibrahim, katanya, adalah sosok ayah yang membangun pendidikan anak sejak dini, bahkan sejak dalam doa. Doanya yang berbunyi “Rabbi habli minas shalihin” (Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku anak yang saleh) menunjukkan bahwa pendidikan dimulai dari harapan dan doa yang tulus kepada Allah.
Baca juga, Seni dalam Pandangan Muhammadiyah: Fitrah, Dakwah, dan Strategi Peradaban
Selain itu, Abduh menyoroti karakter Nabi Ibrahim sebagai seorang pejuang. Menurutnya, orang tua yang ingin anaknya memiliki integritas dan kepedulian sosial harus terlebih dahulu meneladankan nilai-nilai tersebut. Nabi Ibrahim, kata dia, bukanlah pribadi yang pasif. Ia peduli terhadap kondisi masyarakat, menentang penyembahan berhala, dan berani mengkritisi kezaliman.
“Jangan sampai kita berpikir bahwa urusan-urusan besar seperti korupsi, kemiskinan, atau kerusakan lingkungan hanya tugas para pejabat. Meski kita rakyat kecil, kita tetap bisa berbuat sesuatu,” tutur Abduh. Ia menambahkan, nilai perjuangan ini penting ditanamkan kepada anak-anak agar mereka tumbuh menjadi generasi yang peduli dan tidak apatis.
Keteladanan lain yang diajarkan oleh Nabi Ibrahim adalah soal memuliakan tamu. Dalam banyak riwayat, Nabi Ibrahim dikenal sebagai pribadi yang sangat menghormati tamunya, bahkan menyembelih hewan untuk menjamu mereka. Sikap ini, menurut Abduh, merupakan bentuk pendidikan sosial yang efektif. Ketika anak melihat orang tuanya memperlakukan orang lain dengan hormat, maka secara tidak langsung ia belajar tentang adab, keramahan, dan kepekaan sosial.
Hal penting lainnya dalam parenting Nabi Ibrahim adalah kebiasaannya mendoakan anak secara khusus. Abduh menyinggung lagu anak-anak yang syairnya berbunyi “Di doa ibuku kudengar, namaku disebut”, sebagai simbol betapa doa dari orang tua bisa membentuk kepribadian anak. “Seorang anak yang merasa disebut dalam doa akan merasa dihargai, dicintai, dan akan menumbuhkan rasa percaya diri,” kata Abduh.
Dalam interaksinya dengan Ismail, Nabi Ibrahim juga menunjukkan sikap musyawarah dan menghargai pendapat anak. Meski sebagai nabi dan ayah, Ibrahim tidak memaksakan kehendaknya secara sepihak. Ia tetap berdialog, bertanya pendapat Ismail sebelum menjalankan perintah Allah. Abduh menilai hal ini sebagai bentuk penghargaan terhadap intelektualitas anak, yang sangat relevan dalam pendidikan modern.
Terakhir, Abduh mengajak jamaah untuk menjadikan kisah Nabi Ibrahim sebagai refleksi dalam momentum Iduladha. “Mari kita didik anak-anak kita menjadi pribadi yang ikhlas, sabar, cerdas, dan berani berkorban demi kebaikan yang lebih besar. Sebagaimana Nabi Ibrahim mendidik Ismail, kita pun harus mendidik anak-anak kita dengan cinta dan keteladanan,” ujarnya menutup kajian.
Ass Editor : Asma Nadya Safitri; Editor : M Taufiq Ulinuha